Chapter 22 – The Coercion

931 Words
Dengan suara serak yang aku tahu dia paksakan, kudengar Hilary berkata, “Maaf, Tuan-Tuan. Apa kalian tidak tahu jam berapa ini?” “Kami minta maaf karena sudah menganggu,” salah seorang polisi menyahut. Hilary menggeleng kecil. “Memangnya ada keperluan apa?” tanyanya. “Maaf, Tuan, tetapi besok kami harus bangun pagi. Aku tidak bisa berlama-lama.” Tanpa mempedulikan ucapan Hilary, polisi tersebut kembali berkata, “Kami memiliki keperluan dengan murid yang bernama Hilary Robins dan Sarah Johnson.” Bulu kudukku meremang saat namaku terlontar dari mulut salah satu polisi. Sontak jantungku sudah mulai bermaraton tanpa izin. Kutatap pintu kamar kami dengan sorot mata penuh tanda tanya. Berbagai pertanyaan tiba-tiba saja mulai mencuat dalam benakku. Apa mereka mengetahui misi terlarang yang kami jalankan beberapa hari lalu? Namun, jika memang begitu keadaannya, mengapa mereka hanya mencariku dan Hilary? “Boleh saya tahu apa urusan Tuan-Tuan?” tanya Hilary kemudian. Tidak menjawab, polisi itu malah membuka paksa pintu kamar kami. Kedua polisi bertubuh kekar tersebut mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Tatapannya mendarat tepat di wajahku. “Kau Sarah Johnson, bukan?” Seorang polisi berkumis yang bernama Wade menunjuk hidungku. “Tuan benar,” jawabku lirih. “Dan,”—ia beralih ke Hilary—“kau pastinya adalah Hilary Robins.” “Ya,” jawab Hilary tegas. “Bisa saya tahu keperluan apa yang sebenarnya Tuan-Tuan punya?” “Kalian berdua diminta untuk menemui kepala tim investigasi,” jawab yang lain. “Kumohon ikut kami segera.” Carlotta menyalak, “Mengapa kalian tiba-tiba datang dan seenaknya ingin membawa teman-temanku pergi? Besok kami ulangan harian dan harus mendapat istirahat yang cukup!” Seorang polisi dengan nama d**a Aaron membalas, “Kami hanya—” Carlotta kembali berteriak, “Kami—” “Carlotta, kumohon hentikan,” sela Hilary. Hilary melempar senyum kecil kepada Carlotta. “Kami akan baik-baik saja.” Lantas ketua kelas kami kembali berpaling ke hadapan dua polisi di depannya. Senyumnya yang bersahaja dan tenang tak lekang dari bibirnya. Diam-diam pun aku semakin mengerti cara ekspresi Hilary bekerja. Dia hanya akan menunjukkan raut wajah itu saat dia merasa terancam. “Kira-kira, berapa lama kami harus keluar dari kamar?” Intonasi suara gadis itu melunak. “Apa yang teman kami bilang itu benar adanya. Besok pagi kami akan melaksanakan ulangan harian. Kami takut kalau kami tidak bisa berlama-lama.” “Tidak akan lama,” jawab Wade tak sabaran. “Baiklah kalau begitu,” kata Hilary selagi mengangguk patuh. Gadis itu kemudian menoleh ke arahku dan mengisyaratkanku untuk bangkit dari kasur. Seperti anjing yang patuh kepada tuannya, aku pun menurut. Aku dan Hilary mengenakan mantel asrama kami dengan tergesa-gesa dan segera keluar dari kamar. Polisi Wade dan Polisi Aaron masing-masing berjalan di belakang kami. Sekilas aku dan Hilary tampak seperti tahanan yang hendak pindah sel. Beruntung ini sudah larut malam sehingga sama sekali tidak ada satu pun murid yang menyaksikan adegan dramatis ini. Aku menggigiti bibir bawahku sendiri pertanda resah. Beda halnya dengan Hilary. Dia malah tampak tenang dan sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang sedang terjadi. Aku pun mendadak ingat dengan ucapannya tadi: apapun yang terjadi, bersikaplah biasa saja. Hal itu langsung membuatku berusaha untuk mengendalikan napasku yang tidak beraturan. Hanya ada satu pertanyaan yang menghantui benakku: apa riwayatku di St. Christoper benar-benar berada di ujung tanduk? * Begitu aku dan Hilary sudah sampai di tempat tujuan kami yang ternyata adalah kantor Nyonya Audrey, untuk beberapa alasan yang sulit kujelaskan aku malah merasa semakin tenang. Agaknya aku mulai mengembangkan pengendalian atas diriku sendiri. Semua kejadian ini menuntutku untuk mau tak mau mulai membiasakan diri dengan segala tekanan yang ada. Oleh karena itu, ketika kami berdua sudah berada di depan pintu kantor Nyonya Audrey, aku malah siap menyapa siapapun yang ada di dalam sana dengan seukir senyuman manis—persis seperti apa yang dilakukan Hilary saat ini. Wade mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Nyonya Audrey—yang hanya berbalut gaun tidur dan mantel—menyambut kami dengan senyuman tipis yang tampak sekali ia paksakan. Dia yang biasanya selalu terlihat tenang dan tegas saat ini tampak tertekan. Wajahnya pucat. Kantung matanya hitam. Rambut pirangnya pun hanya dia ikat seadanya dengan seutas pita hitam. “Oh, Hilary Robins dan Sarah Johnson, bukan begitu?” sapa Nyonya Audrey, masih memamerkan senyuman palsu terbaiknya. Aku melempar senyum sebagai jawaban. Hilary pun juga melakukan hal yang sama. Kami segera dipersilakan duduk di sofa yang ada. Sebagai pendatang baru, ini pertama kalinya bagiku untuk menjejakkan kaki di ruang kepala asrama. Aku memutuskan untuk mengedarkan pandangan. Ruangan ini luas dan dipenuhi oleh rak buku yang sudah penuh. Jendela mati yang ada dibalut oleh tirai tebal berwarna merah marun, senada dengan warna cat dinding ruangan. Ruang kerja Nyonya Audrey terlihat begitu mewah dan elegan—rasanya seperti mengunjungi museum abad pertengahan. Namun, bukan itu yang menjadi pusat perhatianku sekarang. Kedua mataku tak lepas dari dua orang polisi yang saat ini tengah duduk di hadapanku dan Hilary. Dari wajahnya aku bisa langsung mengenali mereka. Kedua polisi ini adalah Will dan Easton—dua polisi yang beberapa hari lalu nyaris memergoki kami di toilet jalur rahasia. Polisi yang mengantar kami lebih memilih untuk tidak mendaratkan diri di sofa. Wade menyandarkan punggung ke dinding di sampaing Nyonya Audrey sementara Aaron berada di dekat jendela, sibuk mempelajari dokumen yang baru saja diberikan oleh Easton kepadanya. Aku duduk manis di sana. Berusaha sekuat tenaga untuk memalsukan ketenanganku yang kurasa sebentar lagi akan luruh. “Jadi, kalian pasti Hilary Robins dan Sarah Johnson,” Will bersuara. Polisi berambut hitam itu menjengukkan kepala ke arah kami berdua. Masih dengan senyumnya yang anggun, Hilary membalas, “Itu benar, Tuan.” Demi menyukseskan misi bersikaplah-biasa-saja ini, aku pun turut membuka mulut, “Apa ada sesuatu yang Tuan-Tuan butuhkan dari kami?” “Itu benar, kami memiliki beberapa pertanyaan untuk kalian,” jawab Will. Pertanyaan? “Yang ingin kami tanyakan kepada kalian adalah,”—Easton membuka sebuah map cokelat yang ada di atas meja—“apa yang kalian lakukan pada hari Selasa, 23 Oktober, pukul 4 lewat 37 pagi?” Menyaksikan isi map tersebut, jantungku mencelus. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD