Chapter 8 – Senseless Hideout

426 Words
“Mereka mengincarmu, Sarah.” Aku terenyak. “Apa yang kau—” Sebelum sempat aku meneruskan perkataanku, Sheila sudah berlari-lari kecil keluar dari kamar. Untuk sesaat aku hanya berdiri di sana tanpa tahu apa yang harus kuperbuat. Isi kepalaku yang awalnya sudah carut marut kini tanpa izin mempertontonkan potongan-potongan gambar mengerikan yang sudah kusaksikan. Darah. Potongan jari. Kepala manusia yang terbelah dua. Wajah Josh. Bubuk Lavender. Hilary meraih kedua pundakku, “Sarah, lihat aku. Jangan dengarkan apa yang baru saja—” “Aku harus menemukan Sheila,” selaku, nyaris tanpa sadar. “Aku harus menemukan Sheila!!” Kudorong tubuh Hilary dan segera berlari menuju pintu kamar. Carlotta segera meraih lenganku. “Sarah, tunggu!” “Lepaskan aku!!” Kutepis tangan Carlotta dan segera membuka pintu lebar-lebar. Aku melesat melewati lorong asrama yang remang-remang selagi memanggil-manggil nama Sheila, tetapi hanya gema suaraku sendiri yang menjadi jawaban. “Sheila, kumohon jangan pergi!” jeritku putus asa. “Kumohon jelaskan padaku apa yang sedang terjadi!!” Sebuah tangan menarik tubuhku ke belakang. Lantas, cengkeraman erat kurasakan di salah satu lenganku—Hilary dan Carlotta berusaha untuk menghentikanku. Aku tetap meronta-ronta, tetapi usahaku tak membuahkan hasil. Tubuhku yang gemetar kian lama kian melemah. Pada akhirnya aku pun tumbang ke atas tanah. Tangisku pecah saat Carlotta membenamkan wajahku ke pelukannya. Kutemukan diriku sendiri menjerit-jerit untuk suatu alasan yang sejatinya sama sekali tak kumengerti. * Sewaktu kecil, aku sangat tidak menyukai hujan karena hujan identik dengan petir—aku tak suka petir. Kilat-kilat dari langit itu selalu berhasil membuatku menangis histeris lalu pergi ke pelukan Ibuku. Ibu pun selalu memelukku erat dan membalut tubuh kami berdua dengan selimut tebal. Tepat di atas ranjangku, di sampingku, di bawah selimut borcorak bunga-bunga itu, Ibu selalu berkata bahwa petir tak akan menemukan kita berdua saat kita bersembunyi di balik selimut. Petir pun tak akan berbuat jahat pada gadis kecil yang baik dan manis. Begitulah cara Ibu membuatku tertidur di saat hujan lebat dan petir tengah bertalu-talu dahsyat di luar sana. Namun, saat ini, saat merasakan ketakutanku yang paling hebat—mengalahkan ketakutanku pada petir—tampaknya memilih untuk berbaring di atas ranjang kemudian menyelimuti tubuh dan berharap orang-orang jahat itu tak menemukanku adalah ide yang konyol. Para penjahat tak akan melihat daftar kebaikan apa saja yang telah kulakukan untuk mempertimbangkan diri apakah aku layak untuk hidup atau mati. Karena memang hanya itu pilihan yang ada: hidup atau mati. Mereka mungkin memutilasiku, mengulitiku hidup-hidup lalu menaburi tubuhku yang hanya berlapis daging dengan garam. Atau mungkin mereka akan mencongkel mataku keluar menggunakan sendok panas dan membiarkanku buta untuk dijadikan b***k kejahatan mereka. Bahkan, yang lebih buruk adalah segala yang tak dapat kubayangkan dengan logikaku. Mereka bisa saja meletakkan petasan di mulutku, memasukkan benda-benda tajam ke kemaluanku, atau lebih kejam daripada itu. Aku pun sadar. Mereka tak akan bisa dihindari hanya dengan bersembunyi di balik selimut. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD