Chapter 34 – The Good News

1082 Words
Setelah aku menyaksikan foto-foto mengerikan yang Ben bawa, aku tidak sadarkan diri. Aku tidak mengerti mengapa aku bisa bereaksi sedemikian rupa. Maksudku, aku sudah melihat hal yang jauh lebih mengerikan daripada itu. Aku bahkan telah menjumpai apa yang ada di foto tersebut di kehidupan nyata. Mayat, darah, kematian yang tragis—aku sudah melihat itu semua dengan kedua mataku sendiri. Lantas, mengapa aku sampai pingsan segala? Mungkin, aku jadi begini karena aku lumayan dekat dengan Nyonya Whitney. Beliau memiliki kepribadian yang bersahaja dan begitu anggun. Tidak pernah sekali pun aku mendengarnya meninggikan suara. Beliau termasuk salah satu guru favoritku di asrama. Mau tak mau pun aku jadi memikirkan satu hal: monster macam apa yang tega menghabisi nyawa orang seperti Nyonya Whitney? Aku tidak sepenuhnya menyadari apa yang sedang terjadi. Hal terakhir yang kuingat adalah ketika Ben mengguncang tubuhku yang sudah terkapar di lantai koridor. Setelahnya, gelap. Tak heran jika kini aku bertanya-tanya sejak kapan aku sudah ada di ruang kesehatan asrama dan—yang paling penting—untuk apa Ben duduk di kursi dekat ranjangku. Wajahnya tidak berubah ketika aku mengerjapkan kedua mataku—berusaha memastikan kalau aku tidak sedang berhalusinasi. “Jadi kau siuman,” ujar Ben datar. Aku menggigit bibirku sendiri, mati gaya. “Uh, sudah berapa lama kau ada di sana?” “Baru saja,” balas Ben. Melihat sifat pria itu yang mendadak saja jadi begitu formal, aku merasa berkewajiban untuk duduk di atas ranjangku. Setelahnya, aku kembali menghadap Ben dengan raut wajah penuh tekad. Aku tahu kalau aku sudah kehilangan salah satu guru kesukaanku, tetapi aku tidak akan takut untuk terus maju—apa pun konsekuensinya. Aku masih ingin terlibat dalam kasus yang Ben dan timnya tangani. Aku sudah melangkah sejauh ini, sama sekali tidak ada kata mundur sekarang. Kalaupun aku ingin mundur, itu sudah terlambat. Aku tidak punya pilihan lain selain tetap bergerak maju. “Kabar apa yang Tuan punya untukku?” tanyaku, langsung pada intinya. Ben tidak mungkin ada di sini kalau dia tidak memiliki sesuatu yang ingin dia bicarakan. “Aku memiliki kabar baik dan buruk. Yang mana yang ingin kau dengarkan terlebih dahulu?” tanya Ben tanpa dosa. “Kabar buruk,” jawabku, nyaris spontan. Entah mengapa, dalam situasi seperti ini, lebih mudah bagiku untuk melihat sisi buruk dari segala hal. Lagipula, hal baik apa yang bisa terjadi dalam sebuah kasus pembunuhan brutal? Itu terdengar tidak masuk akal. “Kabar buruknya adalah—seperti yang sudah Nona tahu—salah seorang guru asrama putri bernama Whitney Clington tewas beberapa hari lalu,” jelas Ben pada akhrirnya. “Di mana Nyonya Whitney ditemukan?” tanyaku. “Sejauh yang kulihat di foto itu, jasadnya ada di trotoar.” “Itu benar. Dia ditemukan di gang sepi yang berada di samping asrama putra.” Bulu romaku langsung meremang begitu Ben menyebut satu tempat itu. Gang tersebut jelas merupakan tempat yang sama yang aku dan teman-temanku lalui untuk menuntaskan misi terlarang kami. Siapa yang mampu menyangka jika ternyata pembunuh bisa berkeliaran di tempat yang begitu dekat dengan asrama? “Apa yang Nyonya Whitney lakukan di luar asrama?” tanyaku ngeri. “Kemungkinan besar dia hendak memenuhi janjinya dengan pihak kepolisian,” balas Ben. “Namun, pertemuan itu tidak pernah terjadi. Beliau sudah tewas sebelum bisa menghadiri janji tersebut.” Selagi berusaha keras untuk membasahi tenggorokanku sendiri yang mendadak jadi kering, aku berkata lirih, “Jadi... Nyonya Whitney terbunuh saat hendak pergi menemui kalian?” Walaupun terlihat berat hati, Ben mengangguk. “Apa kalian berhasil mengetahui siapa yang menjadi pelakunya?” tanyaku. “Adakah dokumentasi kamera pengintai yang bisa membantu?” Ben tersenyum masam. “Sayangnya, tidak. Beberapa murid berandalan asrama putra sudah menyabotase kamera pengintai sedemikian rupa sampai kami tidak mendapat informasi apa-apa dari kamera yang ada di sekitar tempat kejadian perkara.” Pikiranku langsung melayang pada Ashley dan Sam. Aku dengar kakak-beradik itu memang kerap kali membuat onar dalam beberapa semester belakangan. Sekalipun Ashley sudah sedikit mengikuti peraturan sekarang, hal tersebut tidak akan menghapus sejarah pelanggaran panjang yang dia dan Sam punya. Meskipun demikian, aku paham betul kalau mereka berdua tidak bermaksud untuk menghambat proses investigasi polisi. Ashley dan Sam hanya menginginkan kebebasan. “Namun, ini berhubungan dengan kabar baik yang aku punya,” kata Ben, memecah lamunanku. “Apa itu?” tanyaku segera. “Kami memiliki saksi kunci yang berpeluang untuk memecahkan kasus ini,” kata Ben. “Sayangnya, dia sedang mengalami cedera serius dan harus dirawat di rumah sakit.” Aku mengulum lidah. “Kabar baik yang Tuan punya ternyata tidak sepenuhnya baik, ya?” Ben buru-buru menjelaskan, “Sekalipun mengalami cedera, luka yang dialami saksi mata tidak telalu serius. Aku mendapat laporan kalau dia sudah bisa bicara dan memberi kesaksian.” Aku mendesah resah. “Sebenarnya bagaimana kontribusi saksi ini bisa membantu kasus kematian Nyonya Whitney?” “Aku yakin dia bisa kontribusi yang signifikan,” jawab Ben. Aku bisa mendengar tekad yang membara di dalam suaranya yang berat dan selalu terdengar serak. “Apa yang membuat Tuan begitu yakin?” tanyaku, pesimistik. “Dia melihat siapa pelaku pembunuhan Whitney Clington,” jawab Ben. “Dia mengalami cedera karena dia sempat adu fisik dengan si pelaku.” Aku seketika terbelalak mendengar penuturan Ben. Ini semua masih terdengar tidak nyata bagiku. Namun, sebelum aku dapat mengatakan apa-apa, Ben tiba-tiba saja sudah bangkit dari tempatnya duduk dan menuju ke pintu. Aku memanggil, “Tuan, tunggu! Kau harus—” Ben membalikan tubuh dan segera memotong, “Ada kabar baik lain yang ingin aku beritahukan.” Sontak, aku terdiam. “Apa itu...?” Alih-alih memberiku jawaban, Ben malah kembali menghadap ke pintu dan menariknya hingga terbuka. Sebelum ia betul-betul menghilang, pria itu sempat menoleh dan berucap datar, “Tunggu saja.” Seperti yang biasa dia lakukan, lagi-lagi Ben meninggalkanku dengan segala ketidaktahuanku tentang perilakunya. Begitu pintu ruang kesehatan tertutup, aku hanya sanggup menerka-nerka apa yang sejatinya pria itu maksud. Apa kabar baik selanjutnya yang menantiku? Apa sebuah ‘kabar baik’ masih ada dalam situasi seperti ini? Aku meragukannya. Hingga suara seseorang yang kukenal tiba-tiba saja berkumandang dengan lantang melalui pengeras suara asrama. Itu suara Nyonya Audrey! “Seluruh murid asrama putri St. Christoper,” beliau berkata, “harap segera berkumpul di aula asrama sekarang juga. Akan diadakan pemberitahuan lebih lanjut mengenai penutupan dan peliburan sementara asrama. Kuulangi, harap segera berkumpul di....” Suara Nyonya Audrey menguap ke udara. Kata-kata itu menggema di dalam kepalaku: penutupan  dan peliburan sementara asrama. Oh, Tuhan. Aku bahkan tidak ingat, kata-kata apa yang lebih indah daripada sederet kalimat itu? *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD