Chapter 41 – Jaw-Dropping Barricade

1191 Words
Aku, Sam, dan Carlotta belum-belum sudah digiring oleh Scott dan Wade ke dalam mobil polisi. Kami bertiga menduduki kursi paling belakang dengan aku yang berada di tengah. Sepanjang perjalanan, kami hanya diam. Atmosfer udara yang ada di sini terasa tidak menyenangkan—penuh ketegangan dan itu membuatku resah. Namun, satu fakta lain yang membuatku tak henti-hentinya menggigiti bibirku adalah kenyataan kalau kami sedang menuju fasilitas rehabilitasi kepolisian—tempat di mana Hilary sekarang tinggal. Aku tidak tahu mengapa Scott membawa kami ke sana. Aku kira aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan Hilary. Akan tetapi, untuk beberapa alasan yang masih belum dia jelaskan, Scott bersikeras mempertemukan kami bertiga dengan gadis berambut pirang itu. Sebenarnya hal ini membuatku mempertanyakan beberapa perkara lain. Jika Carlotta sudah lama mengetahui tentang percakapan antara Hilary dan Sheila, mengapa dia baru muncul sekarang? Jujur saja, jika aku adalah dia, aku tidak akan ikut campur. Aku akan kembali ke kehidupan normalku dan menganggap ini semua tidak pernah terjadi. Mengapa Carlotta memilih untuk kembali? “Pasti menakutkan rasanya dikurung di hotel itu selama berhari-hari,” lirih Carlotta. Aku meliriknya dan melempar senyum kecil. “Tidak terlalu buruk kalau kau sudah terbiasa.” “Maafkan aku,” ujarnya, tercekat. “Aku seharusnya datang lebih awal.... Aku hanya takut kalau sesuatu yang buruk akan terjadi padaku kalau aku memutuskan untuk bersaksi.” Gadis itu menunduk penuh penyesalan. Matanya kembali berkaca-kaca. Aku meraih tangannya lantas tersenyum lembut. “Hey, yang terpenting kau sudah ada di sini, kan?” Ia membalasku dengan senyuman lemah. “Aku masih takut.” Aku mengangguk pertanda mengerti. “Aku juga.” Sam, yang memang tidak tahan dengan percakapan sentimental, langsung berseru nyaring, “Ya Tuhan, bagaimana bisa Tuan-Tuan melalui McDonalds tanpa berhenti? Maksudku, kumohon! Makanan hotel membuatku muak!” Wade yang ada di bangku kemudi tertawa lepas mendengar celetukan asal dari Sam.  Scott hanya sanggup menggeleng-gelengkan kepala dan mendengus geli. Aku tersenyum lebar melihat pemandangan itu. Wajah Carlotta pun perlahan-lahan mulai terlihat ceria. Sifat blakblakan Sam itu ternyata tidak selamanya merugikan. Tidak lama setelahnya, mobil polisi ini mulai memasuki kawasan pinggir kota dan berbelok ke sebuah gedung putih berpagar tinggi. Gedung tersebut dikelilingi oleh tembok beton dengan kawat di ujungnya. Rupanya ada beberapa gedung pula di sekitar bangunan utama. Semua temboknya bercat putih. Anehnya, gedung tersebut sangat minim jendela. Apakah itu benar tempat Hilary tinggal? Mobil kami memasuki area pos keamanan. Palang melintang di depan mobil lantas seorang petugas berseragam lengkap keluar dari salah satu pos yang ada. Dia berperawakan tegap, tetapi bongsor. Kumisnya tebal dan kedua matanya yang biru terlihat lelah. Wajah pria itu langsung cerah begitu melihat Scott yang ada di bangku penumpang—tepat di samping Wade. Dia buru-buru menjorokkan kepala melalui kaca mobil yang sudah Wade buka. “Selamat sore, Tuan Scott,” sapa petugas tersebut. Scott membalasnya dengan senyuman kecil. “Jack,” katanya. Tatapan pria bernama Jack itu jatuh pada Sam, Carlotta, dan aku yang ada di kursi belakang. Setelah memerhatikan kami sejenak, perhatian Jack kembali lagi kepada Scott. “Pusat sudah memberitahuku kalau Tuan memiliki agenda hari ini. Akan segera kubuka portalnya.” Jack melakukan tugasnya dengan baik. Mobil kami meluncur mulus melalui pos keamanan ke area parkiran gedung yang ada di halaman. Aku langsung memerhatikan satu hal yang tidak biasa. Ada beberapa anggota pasukan agresi negara yang sudah bersiap siaga di tempat-tempat tertentu di halaman. Ada pula beberapa yang sedang berbicara melalui radio dua arah. Raut wajah mereka semua terlihat begitu serius. Dan, yang paling membuatku ngeri adalah mereka semua dilengkapi dengan senjata api berwarna hitam dan bermoncong panjang. Perutku tiba-tiba melilit menyaksikan pemandangan aneh tersebut. Aku yakin Sam dan Carlotta tengah mengamati hal yang sama. Namun, tidak ada satu pun dari kami yang berbicara. Kami bertiga masih terpaku dengan apa yang terjadi di luar mobil. Seakan-akan dunia di luar sana bukanlah dunia kami dan kami tidak seharunya berada di sini. Mesin mobil kami akhirnya berhenti. Wade langsung membuka pintu dan keluar—begitu otomatis, seakan dia sudah melakukan hal ini untuk kesekian kalinya. “Apa yang dia lakukan?” tanya Sam selagi memerhatikan Wade yang sudah berjalan menjauh. “Kalian adalah saksi kunci dari kasus pembunuhan komplotan paling mematikan negara bagian,” balas Scott, tidak menjawab pertanyaan Sam. Sam menatap Scott dengan raut wajah terheran-heran. “Dan... itu artinya?” “Kami berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membiarkan siapa pun menyakiti kalian,” katanya. “Itu termasuk menyiagakan keamanan tingkat satu ke mana pun kalian pergi.” Aku menyanggah, “Apa keamanan tingkat satu itu berarti naik mobil polisi dan berpeluang dibajak hidup-hidup dalam perjalanan?” Scott tertawa lepas. “Kalian mungkin tidak menyadari, tetapi sudah ada beberapa polisi yang menyamar sebagai warga biasa yang memastikan kalau perjalanan kita barusan terlaksana dengan lancar.” Aku dan Carlotta berpandang-pandangan. Tatapan kami berdua seakan berkata, “Itu tidak mungkin!” Lagipula, bagaimana hal itu bisa terjadi? Selama perjalanan ini, aku sama sekali tidak menemukan hal yang aneh. Namun, beda halnya dengan Sam, lelaki itu malah menyeringai lebar begitu mendengar perkataan Scott. “Tepat seperti dugaanku,” katanya. “Aku mungkin tidak tahu pasti siapa mereka, tetapi aku dapat merasakan beberapa pasang mata sedang memerhatikan mobil ini sepanjang perjalanan.” Scott melirik Sam dari kaca rear view mobil lantas melempar senyum. “Anak yang cerdas.” Sam masih tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya. “Lalu, keamanan macam apa yang akan Tuan terapkan di kunjungan ini?” Kini giliran Scott yang menyeringai. “Kau akan segera melihatnya.” Belum sempat Sam membuka mulut untuk memprotes, tiba-tiba saja pintu utama gedung itu terbuka lebar. Wade keluar dari dalam sana dan dia disusul oleh pasukan agresi berseragam lengkap! Hal yang lebih mengejutkan lagi, mereka secara otomatis membuat barisan di depan pintu masuk—seakan mereka tengah mempersiapkan diri untuk menyambutku dan teman-temanku. Wade berjalan mendekati mobil kami dengan diikuti oleh beberapa petugas agresi di balik punggungnya. Bersamaan dengan itu, Scott melonjak turun dari mobil dan segera melangkah ke sebelah Wade. Scott segera membuka pintu dan mengisyaratkan agar kami bergegas keluar. Kami pun tidak punya pilihan lain dan mematuhi segala kehendaknya. Adegan yang tengah terjadi nyaris terasa seperti peristiwa dari sebuah film laga. Aku, Sam, dan Carlotta digiring ke dalam gedung dengan aparat keamanan mengelilingi kami. Mereka memerhatikan setiap langkah yang kami ambil dan bahkan tidak berhenti memasang raut wajah waspada padahal sama sekali tidak ada apa pun yang terjadi. Namun, kedua mataku segera menangkap suatu hal janggal. Ada seseorang di atas atap gedung. Aku menyernyitkan dahi dan mengedarkan pandanganku ke seluruh atap. Rupanya, ada beberapa orang yang memantau keadaan dari atas. Akan tetapi, setelah aku memincingkan mata, aku langsung terperanjat. Orang-orang itu dibekali senjata laras panjang! “Tenang saja,” ujar Sam, seakan membaca raut wajahku, “mereka itu adalah penembak jitu.” “Penembak jitu?” ulangku. Lelaki itu mengangguk. “Jika ada suatu hal yang tidak diinginkan terjadi,” jelasnya, “mereka akan langsung membunuh siapa pun yang perlu dibunuh untuk mengakhiri semuanya.” “Apa lebih tepatnya yang kau maksud dengan ‘hal yang tidak diinginkan’?” Carlotta menginterupsi pembicaraan kami. Sam membuang napas kemudian mengidikkan bahu. “Kalau sudah menyangkut TED,” katanya, “siapa yang tahu?” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD