Chapter 25 – Covenant

961 Words
Seisi ruangan mendadak saja senyap. Hilary dan Bella Hopkins—yang masih saling menindih satu sama lain—sontak tak berkutik begitu menyadari apa yang sedang terjadi. Moncong sebuah senjata api kini tengah ditujukan kepada mereka. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mengenali siapa sosok yang kini ada di ambang pintu itu. Dia adalah pria yang muncul di salah satu bilik kamar mandi tempat kami menemukan jasad tanpa kepala. Namanya adalah Ben. Saat ini pria itu mengacungkan pistolnya ke arah Hilary dan Bella. Rahangnya terkatup rapat. Kedua matanya yang berwarna biru cerah menghujam kedua gadis itu tajam-tajam. Bukan hal yang sulit untuk mengetahui kalau Ben sedang naik pitam. Untuk beberapa detik, tidak ada satu pun orang di dalam kantor Nyonya Audrey yang berani bergeming. Ben akhirnya membuka mulut, “Kalian berdua, kumohon bangkit.” Dengan gerakkan kaku, Hilary dan Bella mematuhi apa yang pria tersebut minta. Tanpa kuduga, Scott malah berjalan mendekati pria itu dan merangkul pundaknya. Sekalipun tampak tidak nyaman dengan perlakukan yang Scott beri, Ben tidak melawan. Dia malah meletakkan kembali senjata api yang ia bawa ke kokangnya. “Woah, tenanglah, Ben!” seru Scott selagi mengguncang lembut pundak Ben. Aaron menggelengkan kepalanya heran. “Kau hampir membuat semua orang di ruangan ini terkena serangan jantung.” “Maaf, aku hanya kehilangan kesabaran. Kita benar-benar tidak punya waktu untuk ini,” dalih Ben. “Interogasi ini tidak berjalan dengan baik, bukan begitu?” Dengan wajah kemerahan, Bella tiba-tiba saja memekik, “Tentu saja! Anak kelas satu sialan ini sudah membuat wajahku babak belur!” Hilary—yang tampaknya kini sudah kembali mendapatkan ketenangannya kembali—lebih memilih untuk diam. Yang lebih mengejutkan, dia malah melempar senyum kepada Ben. “Maafkan aku, Tuan. Belakangan ini aku sangat tertekan dan jadi lebih mudah marah,” ujarnya kalem. Bella mendengus mendengar perkataan ketua kelasku. “Oh, Tuhan, siapa, sih, yang berusaha kau bohongi? Semua orang sudah tahu kalau kau menyembunyikan sesuatu dari polisi!” “Aku ingin bicara dengan Nona Sarah Johnson,” ujar Ben tiba-tiba. Aku nyaris tersedak ludahku sendiri ketika pria itu menyebut namaku. Ben bahkan sama sekali tidak menatapku ketika ia mengatakan hal tersebut. Pandangannya masih tertuju lurus-lurus pada Bella dan Hilary. “Kalian berdua,” kata Ben pada keduanya, “bisa meninggalkan ruangan ini sekarang juga.” Apa?! “Tunggu!” seruku. Tatapan Ben pada akhirnya jatuh padaku. “Ya?” “Apa maksud semua ini?” kataku tak terima. “Maksudku, mengapa hanya mereka yang dibolehkan pergi?” “Bukankah sudah kubilang?” jawab Ben tanpa dosa. “Aku ingin berbicara denganmu.” Aku berdecak keras-keras. “Bukan itu yang—” “Kalian bisa keluar dari ruangan ini sekarang juga,” ulang Ben kepada Hilary dan Bella. Dia sama sekali tidak mempedulikan apa yang harus kukatakan! Aku berusaha memanggilnya, “Tuan, aku—” “Nona, jika sudah berbicara dengan Ben,” sela Will, “kau tidak akan punya pilihan lain.” Easton yang duduk di samping Will pun tersenyum kecut. “Pria itu memang separuh sinting,” gumamnya. “Menodongkan senjata kepada saksi kunci? Aku tidak mengerti mengapa kepolisian pusat menggabungkannya ke dalam tim.” Ucapan kedua polisi di depanku semakin membuatku tidak mengerti. Sebelum aku bisa memahami apa yang menimpaku, kulihat Hilary dan Bella sudah digiring oleh Wade dan Aaron untuk keluar ruangan. Aku bahkan tak sempat berkata-kata, tetapi tak lama setelahnya Ben sudah menggantikan posisi Will di tempat duduknya. Ben dengan santainya menyandarkan punggung ke belakang. Ia menyilangkan kaki kanannya di atas kaki yang lain. Pria itu tak jemu-jemunya memandangiku. Hal itu membuatku mati gaya. Bolak-balik aku membetulkan posisi dudukku—sebuah pertanda kalau aku merasa tidak nyaman. Namun, kurasa yakin Ben sama sekali tidak menangkap bahasa tubuhku. Dia tidak mau berhenti menatapku! “Berapa lama kau akan memerhatikan Nona Sarah seperti itu, Ben?” ujar Scott selagi menutup pintu sepeninggalan Hilary dan Bella. Untuk sebuah alasan yang tidak kumengerti, tiba-tiba saja Ben memejamkan kedua mata dan menarik napas dalam-dalam. Pria itu mengusap wajahnya kasar. “Bisa aku minta waktu untuk bicara empat mata dengan Nona Sarah?” ujarnya kemudian. Aku kembali terperanjat. Tidak hanya harus diinterogasi secara paksa, kini dia akan membuat orang-orang di dalam ruangan ini meninggalkanku bersamanya?! “Tuan, dengan segala hormat,” ujarku menahan amarah, “mengapa kau bersikap seenakmu sendiri?” Ben tampak terkejut mendengar ucapanku. Sementara Scott, polisi itu sudah tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. “Wah, akhirnya ada seseorang yang berani mengatakan kebenaran,” katanya. “Kebenaran telah dikatakan. Haleluya,” gurau Wade sambil membuka pintu. Tak butuh waktu lama bagi orang-orang untuk segera mengosongkan ruangan ini. Sekarang hanya ada aku dan Ben yang duduk saling berhadap-hadapan. Jika beberapa saat lalu dia mengotot ingin bicara denganku, saat ini aku malah menyaksikannya membolak-balik dokumentasi kamera pengawas yang ada di atas meja. Aku dibuat tidak paham dengan segala perbuatan pria di depanku. Berbeda dengan semua polisi yang berseragam rapi, dia hanya mengenakan mantel berwarna cokelat muda yang dipadukan dengan kemeja biru lusuh dan celana kain hitam. Wajahnya yang tadi dingin kini berganti dengan raut penuh penasaran. Hingga kini dia masih tidak lelah meneliti dokumen di hadapannya. Hal itu membuatku mendecakkan lidah. “Bisa langsung ke intinya saja? Aku ingin segera kembali ke kamarku,” kataku kemudian. Ben melirikku sejenak kemudian mengangkat kedua alis. “Oh, aku kira aku sedang memberimu waktu sejenak untuk menenangkan diri,” ujarnya. Satu-satunya yang membuatku tidak tenang adalah dia. Jika dia ingin aku tenang, seharusnya dialah yang enyah dari muka bumi. “Mengapa?” tanya Ben tiba-tiba. Ia meletakkan seluruh kertas di tangannya kembali. Sekarang perhatiannya telah sepenuhnya kembali kepadaku. “Maaf...?” aku bersuara, tidak sepenuhnya mengerti apa yang dia tanyakan. “Kau bilang kau ingin segera kembali ke kamar,” kata Ben. “Kau merasa tidak nyaman saat tidak bersama dengan Hilary Robins, bukan begitu?” Aku melipat dahi, semakin tidak memahami ke mana percakapan ini akan menuju. “Dari foto-foto yang ada di sini,”—Ben menunjuk deret foto di atas meja—“jelas kalau Hilary Robins berhasil mengubah keputusanmu terhadap sesuatu.” “Jangan sok tahu,” jawabku difensif. “Tuan tidak tahu apa yang terjadi.” “Oh, begitukah?” Ia mengangkat kedua alis. Ben menatapku dan melempar senyum kecil. Aku bersumpah kalau ini pertama kalinya bagiku untuk melihatnya membuat raut wajah seperti itu. “Bagaimana jika aku memberitahumu,” katanya, “jika aku sudah mengetahui segalanya?” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD