Chapter 39 – A Phone Call

1658 Words
Setelah Sam sudah diperbolehkan pulang oleh rumah sakit, alih-alih langsung kembali ke rumah, pihak kepolisian memberitahu kami berdua suatu hal menarik. Mereka bilang kalau kami tidak akan dipulangkan kepada orang tua untuk sementara waktu. Scott bilang kalau dia akan menghubungi orang tua kami sehubungan kasus ini—tanpa memberikan detail yang terlalu jelas, tentu saja. Sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut, akhirnya aku dan Sam sekarang ditempatkan di salah satu hotel tengah kota. Ruangan kami berdua dijaga ketat oleh beberapa orang polisi yang dikirim dari pusat. Ada dua petugas yang berada di luar pintu dan satu orang di dalam. Sebenarnya aku tidak tahu apakah ini semua memang perlu dilakukan. Namun, yang aku tahu pasti adalah saking ketatnya penjagaan yang kami dapat, akan ada seorang polisi yang mengecek toilet setiap habis kami gunakan. Tidak hanya itu, baik aku maupun Sam sudah tidak melihat polisi dari tim khusus—kecuali Ben—sejak kami ditempatkan di sini. Aku dan Sam hanya diberi sebuah tablet canggih yang memang didesign untuk bertukar informasi secara pribadi dengan anggota tim khusus. Easton pernah menjelaskan dalam sebuah panggilan video bahwa data dalam tablet itu dilindungi oleh semacam enskripsi yang tidak bisa diretas. Dia mempercayakan salah satu aset kepolisian ini kepada kami dan berharap kalau aku dan Sam tidak akan menyalahgunakannya. Aku bertanya mengapa susah-susah bertukar panggilan melalui perangkat yang terlampau canggih untuk bicara. Easton bilang kalau mereka mengunjungiku dan Sam dengan terlalu sering, hal itu akan membuat pihak yang tidak diinginkan mengetahui keberadaan kami. Easton mengklaim kalau kami tidak ingin hal itu terjadi dan tablet ini haruslah menjadi pengganti interaksi tatap muka kami. Selain tablet canggih tersebut, kepolisian telah memberiku beberapa hal untuk membunuh waktu selama aku sedang berada dalam masa ‘karantina.’ Mereka menyediakanku bertumpuk-tumpuk novel dan gawai milikku sendiri. Sekalipun aku tahu segala aktivitasku—baik dalam dunia nyata atau digital—akan terus dipantau oleh para polisi, aku bersyukur karena masih memiliki aktivitas untuk dilakukan. Berbeda halnya dengan Sam. Lelaki itu suka sekali melakukan kegiatan di luar. Dia bercerita padaku kalau setiap pagi sebelum pelajaran dimulai dia akan melakukan olahraga di lapangan asrama. Tak jarang dia akan memimpin banyak pertemuan organisasi penting di asrama putra. Dia punya kehidupan sosial yang aktif—atau hiperaktif, setidaknya dari sudut pandangku. Tak heran jika Sam sudah mirip cacing kepanasan setiap kali dia disuruh duduk diam. Walaupun dia baru saja dinyatakan sembuh—secara teknis masih dalam pengawasan dokter—Sam malah sudah ingin pergi ke tempat kebugaran terdekat dan melatih tubuhnya yang dia klaim sudah lama ‘tidak digunakan.’ Aku paham betul mengapa Sam sampai bisa merasa demikian. Beberapa hari terakhir kegiatan kami hanya menemui beberapa jurnalis dari koran-koran tersohor. Pertanyaan mereka selalu mirip dari satu sama lain. ‘Bagaimana kalian bisa menjadi saksi kunci untuk kasus ini?’; ‘Apa yang sudah kalian saksikan di asrama?’; atau bahkan ‘Apa kalian kira polisi sudah menuntaskan tugasnya dengan baik?’ Yang paling menyebalkan adalah, aku dan Sam tidak diperbolehkan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sesuka hati. Dengan bahasa tubuh, Ben mengingatkan kami berdua kapan untuk bercerita dan kapan untuk berpura-pura lupa. Saat kutanya mengapa, Ben hanya berdalih, “Kami memang tidak pernah secara penuh memberi kebenaran kepada publik.” Bukankah itu berarti apa yang dimuat di koran-koran yang selama ini aku baca hanyalah potongan dari keseluruhan fakta yang ada? Aku tidak sempat mencari jawaban dari pertanyaanku sendiri sebab tablet yang ada di atas nakasku berbunyi. Tanpa perlu dikomando, aku langsung melangkahkan kaki dan menyambar gawai tersebut lantas menekan tombol hijau. Wajah Easton menjadi hal pertama yang muncul di layar. “Nona Sarah,” panggilnya. Sam, yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku, langsung menatap layar di depan kami dengan lagak menggebu-gebu. Dia memang selalu menunggu kabar-kabar terkini yang para polisi dapatkan. “Apa yang Tuan temukan?” tanya Sam tanpa tedeng aling-aling. “Agaknya pagi ini kepolisian menerima telepon yang menarik perhatian tim kami,” jawab Easton. Aku melipat dahi. “Telepon apa yang Tuan maksud?” tanyaku. “Telepon dari siapa?” “Penelepon berasal dari Carlotta Alexis,” jawab Easton, “murid kelas satu asrama St. Christoper—berdasarkan data yang kami dapatkan.” Aku nyaris saja menjatuhkan tablet di genggamanku begitu satu nama itu disebut. Aku dan Sam langsung berpandang-pandangan dengan raut wajah penuh tanda tanya. Dia tahu siapa yang Easton bicarakan. Namun, yang tidak kami pahami adalah: apa-apaan yang Carlotta lakukan?! “Carlotta Alexis juga merupakan teman sekamar dan sekelasmu, bukan?” Easton menatapku. Aku menjawab dengan anggukan mantap. “Namun, untuk apa dia menelepon polisi?” “Dia memberi kesaksian bahwa sebenarnya dia telah menyimpan sebuah detail penting yang berhubungan dengan kasus yang sedang kami tangani—kasus yang juga melibatkan kalian berdua.” “Kesaksian apa yang dia beri?” “Carlotta Alexis mengatakan kalau dia memiliki sebuah informasi penting yang belum sempat dia sampaikan kepada kepolisian,” papar Easton. “Apa hal ini terdengar familiar bagimu, Nona Sarah?” Aku menggeleng dengan dahi tertekuk. “Aku sama sekali tidak tahu itu,” jawabku apa adanya. “Bisakah aku mendengar percakapan kalian? Barangkali aku bisa mendapatkan sesuatu.” “Dimengerti.” Easton terdengar mengeklik beberapa tombol di komputernya. Sepersekian detik kemudian, wajah polisi tersebut menghilang dan diganti dengan sebuah tombol ‘mulai.’ Aku dan Sam berpandang-pandangan. “Tekanlah tombol yang sekarang ada di layar kalian,” perintah Easton. Aku pun melakukan apa yang dia minta. Begitu tombol itu kusentuh, sebuah suara yang sedikit serak menguar dari pengeras suara tablet. “Departemen Kepolisian, ada yang bisa kami bantu?” suara pria asing mengawali rekaman tersebut. “Um, sebenarnya aku bisa sedikit menerima bantuan.” Itu suara Carlotta. Seperti yang bisa aku duga: suara gadis itu kecil dan dia jelas terdengar ragu-ragu dengan apa yang hendak ia katakan. Sekalipun Carlotta bukan tipe anak yang pemalu, jika sudah dihadapkan dengan kondisi seperti ini, sisi sensitifnya pasti akan muncul ke permukaan. “Bisa aku tahu dengan siapa aku sedang bicara?” penerima telepon bicara. “Oh, uh, aku Carlotta,” jawab gadis itu, “Carlotta Alexis.” “Baik, Nona Carlotta Alexis, apa yang bisa kami bantu?” “Aku... uh, pasti ada... sebuah misi yang sedang ditangani oleh seorang detektif bernama Ben, bukan...?” “Maaf, Nona, tetapi informasi tersebut—” “Tunggu, dengarkan aku!” seru Carlotta. “Aku... uh, secara tidak langsung terlibat dalam kasus yang belakangan ini ada di media... kasus tentang asrama St. Christoper. Aku menelepon karena aku memiliki sebuah informasi penting yang ingin aku sampaikan.” “Bisa Anda ulangi nama Anda? Carlotta Alexis, bukan begitu?” “Ya. C-A-R-L-O-T-T-A  A-L-E-X-I-S—itu cara mengejanya.” “Beri kami waktu sebentar untuk memastikan data Anda.” Kemudian, hening. Hanya ada kesenyapan saluran telepon setelah kalimat terakhir dari polisi tersebut terlontar dari mulutnya. Dua atau tiga menit setelahnya, pengeras suara kembali berbunyi. Namun, satu suara itu membuatku terperanjat. “Nona Carlotta, Anda di sana?” Itu adalah Scott! “Ya! Aku di sini!” ujar Carlotta, sedikit terdengar panik. “Aku takut jika kita tidak bisa membicarakan ini melalui telepon,” ujar Scott. “Tim kami akan menyusul Nona secepat mungkin. Aku harap Nona mempersiapkan diri.” “Oh! Akan tetapi, siang ini aku ada les piano dan—” “Nona Alexis,” potong Scott, “percayalah, kami melakukan ini untuk keselamatan Nona sendiri. Lakukan apa yang aku minta, jadi dengarkan aku baik-baik, oke?” “Oke....” “Jangan beritahu siapa pun mengenai informasi yang kau ketahui. Tidak pada temanmu, pacarmu, atau orang tuamu—siapa pun itu, jangan buka mulut,” ucap Scott, tegas. “Aku sudah mengirim beberapa mobil polisi untuk mengawalmu. Mereka akan tiba dalam 15 menit dan membawamu menemuiku.” “Apa yang harus aku beritahukan kepada orang tuaku...?” Carlotta terdengar panik. “Mereka jelas tidak akan membiarkan rombongan polisi datang dan membawaku pergi begitu saja!” “Mereka tidak akan tahu,” balas Scott. “Izinlah untuk pergi sebentar dan temui kami di titik yang muncul di layar ponselmu.” “Titik apa yang... oh, Tuhan, Tuan meretas ponselku?!” gadis itu memekik ngeri. “Apa ini?! Apa yang sekarang ada di layar ponselku?!” “Itu adalah peta titik temu Nona dan aparat kepolisian. Tidak terlalu jauh dengan rumah Nona yang ada di persimpangan jalan.” “Tunggu, bagaimana Tuan tahu rumah—” “Pergilah ke sana dan temui seseorang dengan jaket bercorak biru dan merah. Dia Polisi Wade dan dia akan mengantarmu ke sini dengan beberapa anggota lain,” sela Scott untuk kedua kali. “Bersiaplah dengan segera. Timku sudah dekat.” “Sebenarnya aku mau dibawa ke mana...?” “Ke tempat yang aman untuk menindak lanjuti kasus ini,” jawab Scott singkat. “Aku akan mengakhiri telepon ini—kita tidak tahu siapa saja yang bisa mendengarkan.” Ucapan Scott tersebut menutup percakapan menegangkan itu. Aku dan Sam kembali saling berpandangan—sama-sama tidak tahu harus bereaksi apa. Sam tampaknya ingin mengucapkan sesuatu—bibirnya terbuka separuh. Namun, pada akhirnya dia lebih memilih untuk diam. Aku pun juga melakukan hal yang sama. Apa-apaan yang sedang terjadi? Wajah Easton kembali muncul di layar tablet. Melihat raut wajah kami yang masih tampak terkejut, aku mendengar pria itu menghela napas lelah. “Jadi, apa rekaman itu membawa kalian ke suatu memori tertentu di masa lalu?” Aku dan Sam serentak menggelengkan kepala. Easton memijat pelipisnya sendiri. “Aku tahu ini membingungkan. Namun, kalau benar jika Carlotta Alexis adalah saksi kunci selanjutnya, aku ingin kalian berdua memberi ruang baginya di hotel tempat kalian sekarang tinggal,” jelas Easton. Kalimat Easton membuat pertanyaan baru mencuat dalam benakku. “Tunggu, jadi Carlotta akan tinggal bersamaku dan Sam?” “Itu benar,” kata Easton. “Kalian tidak akan menunggu lama untuk segera bertemu dengan teman lama kalian.” Sam menyernyit. “Apa maksudmu?” “Carlotta Alexis,” balas Easton, “tengah berada dalam perjalanan ke sana dengan dikawal oleh sejumlah aparat negara.” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD