Chapter 29 – The Coercion II

932 Words
Beberapa saat lalu, aku baru saja menyaksikan teman dekatku sendiri di gotong ke dalam mobil polisi. Segala yang terjadi di hadapanku tampak sama sekali tidak nyata. Semua ini mengingatkanku pada adegan film-film aksi yang penuh adegan menegangkan yang didramatisasi. Sulit bagiku untuk mengakui kalau inilah realitaku sekarang. Hilary sudah enyah dari asrama. Para polisi bilang dia bisa saja dijatuhi hukuman pidana atas apa yang telah diperbuatnya. Saat ini tinggallah aku dan Carlotta yang tidak henti-hentinya merinding lantaran kami telah ‘ditahan’ di kantor Nyonya Audrey untuk memberi kesaksian terkait penangkapan teman dekat kami. Carlotta, gadis berhati lembut itu belum-belum sudah menangis begitu Easton membuka mulut untuk menginterogasinya. Bahkan, begitu dia menyadari kalau polisi ingin bicara dengannya tentang apa yang sudah terjadi pada Hilary, dia nyaris terkena serangan panik. Keadaannya kini sejatinya tidak jauh berbeda. Ia tidak henti-hentinya tersedu sedan dengan menyedihkan. Pundaknya berguncang tidak peduli seberapa keras dia mencoba untuk menenangkan diri. Secengeng-cengengnya Carlotta, aku bersumpah kalau aku belum pernah melihatnya seperti ini. Dia tampak begitu terguncang. Aku tidak menyangka dia akan bereaksi seperti sedemikian hebatnya. Sekalipun hanya ada dua orang polisi di ruangan ini—Easton dan Will—Carlotta bertingkah seolah-olah dia baru saja dijatuhi hukuman mati. Membutuhkan waktu satu jam bagi Carlotta untuk menjawab enam pertanyaan sederhana. Durasi isak tangisnya jauh lebih panjang daripada jawaban yang dia beri. “Baiklah, Nona Carlotta Alexis,”—Easton memijat pelipisnya sendiri—“terima kasih karena telah bersedia untuk menjawab semua pertanyaan yang kami punya.” Pada akhirnya, dengan bantuan Will, temanku keluar dari ruangan. Carlotta bahkan tidak bisa menopang badannya sendiri—dia membutuhkan bantuan untuk bisa berjalan. Sekujur tubuh gadis itu gemetar hebat. Kedua kakinya terkadang tidak tegas memijak tanah hingga membuatnya beberapa kali nyaris terjungkal ke depan. Aku harap dia baik-baik saja. “Sekarang...,” lanjut Easton. Aku seketika menoleh ke arahnya. “Ini giliranku, kan?” kataku. “Oke. Jadi, pertanyaan pertama Tuan tadi adalah—” “Oh, tidak,” sela Easton. “Aku tidak akan menanyaimu apa pun.” Aku menyernyitkan dahi. “Maaf...?” “Terima kasih karena sudah mau menemui kami lagi, Nona Sarah.” Sebuah suara yang tidak asing terdengar dari balik punggungku. Aku pun memutar kepala dan menemukan Ben yang tengah melenggang santai dari salah satu ruangan di kantor Nyonya Audrey. Pria itu membawa sebuah map cokelat di tangannya. Kali ini ia hanya memakai jaket hitam sederhana dan celana jins. Dia terlihat terlampau santai untuk seukuran detektif. Namun, tidak ada satu pun dari kami yang mengomentari penampilannya tersebut. Ben menghenyakkan tubuh di samping Easton yang masih sibuk meneliti jawaban yang tadi Carlotta beri. Ben pun melakukan hal yang sama dengan dokumen yang ada di genggamannya. Dia membuka map tersebut dan menyerahkan beberapa lembar kertas kepadaku. Aku menerimanya dengan tatapan tidak mengerti. “Bacalah,” ujar Ben membaca pikiranku. Aku mematuhi apa yang dia minta. Di saat itulah kedua mataku ingin meloncat keluar. Ini adalah profil pribadi Ben! Menyadari apa yang kini sudah ada di dalam genggamanku, tanpa sadar bibirku terbuka separuh. Ini semua semakin terasa tidak nyata bagiku. Maksudku, aku tengah melihat data seseorang yang hanya boleh diakses oleh negara! Apa yang membuat Ben melakukan ini? “Dari raut wajahmu aku tahu kalau itulah apa yang memang kau butuhkan saat ini,” ujar Ben. Aku mengulum lidah—tidak ingin Ben mengetahui kalau sejatinya aku merasa takjub dengan apa yang dia berikan padaku. Namun, aku sadar jika aku harus tetap objektif di sini. Hilary sudah pergi. Carlotta sedang tidak stabil. Ashley pun tampaknya tidak ingin terlibat lebih jauh dengan polisi. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar sendirian. Kuletakkan dokumen tersebut ke atas meja sekalipun aku belum sepenuhnya membaca apa yang tertulis di sana. Aku langsung menatap Ben lurus-lurus. “Mengapa Tuan memberikan ini kepadaku?” “Ada beberapa riwayat pencarian menarik yang belakangan dideteksi oleh sistem kami,” jawab Ben. Tubuhku menegang. Jangan bilang jika...?! “Tampaknya ada seseorang yang sedang mencoba untuk mencari tahu mengenai hal-hal yang seharusnya tidak dia ketahui,” sahut Easton datar, tanpa menoleh dari kertas di tangannya. Jawaban kedua pria di hadapanku telah dengan telak menampar egoku. Aku mengeraskan wajah dan membuang muka. Aku dapat merasakan tatapan Ben masih terpaku padaku. Namun, aku tidak memiliki keberanian untuk memandangnya balik. Sorot mata Ben yang intens itu menyedot seluruh daya yang kumiliki. Aku malu setengah mati. “Akan kuserahkan data ini ke kantor pusat,” Easton memecah hening. “Kerja bagus, Ben. Apa kau yakin kalau kau bukan cenayang atau semacamnya?” Yang diajak bicara terkekeh. “Tentu saja bukan.” “Yah, siapa juga yang akan tahu kalau gadis itu menyembunyikan sesuatu di dalam lemarinya.” Perkataan terakhir Easton membuatku melipat dahi. Sebelum aku sempat bertanya lebih lanjut, polisi itu sudah keluar dari ruangan. Lagi-lagi, hanya ada kau dan Ben yang tersisa di ruangan itu. Suasana ini terasa tidak asing. Namun, rasa sesaknya masih sama. Aku merasa kalau aku sedang telanjang bulat di depan Ben. “Bagaimana kau tahu kalau Hilary menyimpan benda seperti itu?” tanyaku pada akhirnya. “Temanmu yang satu itu memiliki beberapa riwayat terduga pencurian data kepolisian,” jawab Ben selagi membenamkan punggung ke sandaran sofa. “Dia bahkan mendapat surat peringatan untuk tidak mengacau kinerja polisi saat dia baru berusia 14 tahun. Bukanlah hal yang sulit untuk menebak rahasia kecil miliknya.” Satu fakta mengejutkan tersebut mutlak membuatku kehabisan kata-kata. Hilary jelas tidak berbohong saat dia bilang dia nekat mencuri data kepolisian. Aku tidak pernah menyangka kalau dia akan bertindak sejauh itu. Aku selalu beranggapan kalau dia hanya membual. Nyatanya, karena tindakannya yang sembrono, sekarang dia malah terancam untuk mendekam di bui. “Jika kau tidak ingin berakhiran sama dengan temanmu,” lanjut Ben, “sebaiknya kau mulai bicara.” “Ini masalah apa yang kau temukan di dalam lemari Hilary, kan?” kataku. “Dengar, aku—” “Aku tidak memintamu ke sini untuk membicarakan tentang itu,” potong Ben. Aku hanya sanggup membisu begitu mendengar perkataannya. “Aku hanya ingin bertanya,” katanya, “kapan kau akan menyerah?” Apa? *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD