Chapter 11 – The Word on the Street

921 Words
Setelah perdebatanku dan Hilary, pada akhirnya aku memutuskan untuk tutup mulut mengenai apa yang sudah terjadi. Jika dipikir-pikir, apa yang dia ucapkan kurasa ada benarnya juga. Aku sama sekali tidak bisa memercayai siapa pun sekarang—Hilary dan Carlotta tentu saja menjadi pengecualian. Aku tidak bisa mengabaikan kemungkinan apabila pelaku itu memang merupakan bagian dari asrama ini dan sekarang tengah mengintai pergerakan target berikutnya—menunggu kesempatan untuk menyerang. Namun, bagaimana jika sasaran mereka adalah aku? Bagaimana jika omongan Sheila itu adalah kebenaran yang mutlak dan bukan hanya sekadar omong kosong belaka? Karena kalau memang begitu adanya, maka aku betul-betul tidak ingin memperburuk keadaan dengan cara sok-sokan menjadi pahlawan. Aku tidak ingin berkutik. Aku tidak ingin terlibat. Aku tidak ingin mati. “Jadi,” dengan lagak ngeri Carlotta berbisik, “rumor yang beredar sejak pagi tadi memang benar adanya? Ada mayat seorang pria di halaman asrama?” Aku dan Hilary saling bertukar pandang. Tatapan ketua kelasku pun kembali ke mangkuk sup yang ada di hadapannya. Ia mengaduk-aduk makan siangnya tanpa selera. Namun, baik aku ataupun Hilary sama sekali tidak ada yang berminat untuk menjawab pertanyaan Carlotta. Aku turut berpaling ke makanan penutupku. Sejauh ini, hanya bisik-bisik para murid yang mengisi kesenyapan kantin. Semua rumor yang beredar itu menceritakan tentang seorang pria yang mati tepat di halaman asrama yang tak lain adalah temuanku dan Hilary pagi tadi. Dari kabar yang sejauh ini aku dengar, seorang petugas asrama ternyata menemukan jasad itu tak lama setelah kami berdua memutuskan untuk kembali ke kamar. Petugas itu melapor ke kepala asrama, dan, secepat kilat, jasad itu tiba-tiba saja sudah hilang dari halaman saat terakhir kali aku menjengukkan kepala dari lantai lima. Tak lama kemudian, rombongan pun polisi datang. Sebagian murid asrama memang tidak terlalu memerhatikan kasus ini. Gosip ini memang langsung menjadi topik hangat di meja makan siang, tetapi sepertinya mereka semua menganggap kalau ini hanyalah sensasi yang dibuat-buat agar mereka semua semakin ketakutan. Mereka tidak tahu bahwa apa yang sudah mereka dengar itu bukanlah omong kosong. “Halo, apa kalian di sana?” Carlotta melambaikan tangannya ke depan wajahku dan Hilary yang sedari tadi hanya sanggup mematung. Pada akhirnya, aku membuang napas lelah dan menjawab, “Itu benar. Ucapanmu barusan memang benar.” Gadis di depanku langsung terdiam. Separuh mulutnya terbuka, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar darinya. Ia seakan sedang berusaha keras memproses segala informasi yang terdengar ngawur ini. “Oke, jadi…,”—Carlotta terlihat seperti mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat—“kalian menemukan jasadnya, tetapi memutuskan untuk diam saja dan tidak melapor?” Samar, aku mengangguk. “Dan… siapa saja yang sudah tahu tentang hal ini?” Aku menjawab, “Sejauh ini, hanya kita bertiga.” “Kalian tidak memberitahu Janet ataupun Ashley?” tanya Carlotta selagi berpaling pada Hilary. “Maksudku, kau dan dua anak itu selalu menjadi yang pertama kalau sudah menyangkut hal-hal seperti ini.” Hilary mendesah resah. “Aku tidak ingin mengambil risiko. Kau tahu seperti apa Janet, kan? Dia tidak bisa menyimpan rahasia. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku memberitahunya.” “Dan Ashley?” “Aku tak yakin,” jawab Hilary lesu. “Mungkin jika saatnya tepat.” Ada hening yang panjang setelah Hilary melontarkan kalimat terakhirnya. Carlotta hingga kini masih tampak terkaget-kaget dengan berbagai jawaban yang telah kami berdua beri. Dia seakan tidak menyangka bahwa ini semua benar-benar terjadi. Percayalah, aku pun tidak. “Aku tahu ini memang terdengar tidak berperikemanusiaan,” ujar Hilary tiba-tiba, “tetapi, seperti yang aku bilang tadi, aku dan Sarah tidak punya pilihan lain. Kami berdua sama sekali tidak ingin muncul ke permukaan dan terlibat secara langsung—ini semua terlalu berbahaya.” Aku mengangguk pertanda setuju. “Lagipula,” Hilary menyambung, “aku ingin kita sama sekali tidak ikut campur sampai kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.” “Bagaimana tepatnya kita melakukan hal itu?” tanya Carlotta. “Bagaimana cara kita bisa membedakan mana yang fiksi dan mana yang nyata di saat tidak ada garis jelas yang memisahkan keduanya?” Hilary menatap lurus-lurus ke depan. Ia berujar lirih, “Dengan memanfaatkan segala sumber daya yang kita punya.” Aku mengikuti ke mana pandangannya itu pergi. Aku pun menemukan Janet yang kini sedang berlari-lari kecil ke arah meja kami. Sesaat setelahnya, gadis itu sudah duduk di sampingku dengan napas naik-turun. Wajahnya semburat dengan warna kemerahan, pertanda bahwa saat ini dia sangatlah bersemangat. Sorot matanya itu memancarkan rasa ingin tahu yang luar biasa besarnya hingga mau tak mau aku pun turut tersedot ke dalam antusiasmenya. Jika sudah begini, aku tahu setelah ini Janet akan membeberkan rumor-rumor terhangat yang berhasil ia kumpulkan dari semua penjuru asrama. Carlotta menjadi yang pertama untuk mengonfrontasi, “Kau pasti punya kabar-kabar baru, kan?! Beritahu kami!” Janet terlihat mengatur napas sejenak. Lantas ia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri keheranan, seakan ia pun terkejut dengan apa yang akan dia katakan. “Kalian tidak akan percaya ini,” ucapnya kemudian. “Apa yang kau punya, Janet?” tanyaku tak sabaran. “Rumor yang kalian dengar sejak pagi—tentang mayat pria di halaman—itu ternyata benar adanya.” Aku, Hilary, dan Carlotta berpandang-pandangan. Ini bukan hal baru bagi kami. Namun, kurasa kami harus bertingkah sebaliknya kali ini. “Tunggu, apa yang membuatmu yakin kalau itu bukan sekadar gosip?” Hilary akhirnya angkat bicara. “Maksudku, berdasarkan apa yang aku dengar, sama sekali tidak ada yang melihat keberadaan mayat itu selain petugas asrama.” “Itu memang benar, tidak ada murid yang menjadi saksi mata selain petugas wanita itu,” jawab Janet. “Akan tetapi, mungkin asrama memang menyengajakan hal ini, kau tahu? Belakangan sudah banyak murid-murid yang meminta izin untuk pulang karena tidak tahan lagi dengan keadaan asrama. Bisa saja ini adalah trik yang St. Christoper gunakan agar tidak ada lagi yang memulangkan diri dan menyebarkan kabar buruk ini ke pihak luar.” “Itu masuk akal,” kata Hilary selagi tersenyum kecut. “Mereka tidak ingin mencoreng reputasi baik mereka di kalangan asrama-asrama elit kota bagian.” “Aku juga berpikir demikian,” sahut Janet menggebu-gebu. “Itulah mengapa mereka sudah mengevakuasi mayat itu sebelum ada satu pun murid asrama yang melihatnya.” “Jika memang benar begitu…,” akhirnya aku bersuara, “ke mana mereka membawa mayat itu?” Mendengar pertanyaanku, kedua mata Janet berbinar-binar. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD