Chapter 33 – Horrifying Founding

1391 Words
Setelah telepon singkat di kantor Scott itu, untuk beberapa hari aku sama sekali tidak menemui satu pun anggota tim khusus. Aku sempat beberapa kali bertegur sapa dengan mereka di koridor-koridor asrama dan mereka bilang jika kondisi sedang sedikit sibuk sehingga mereka tidak bisa memberitahuku informasi secara menyeluruh. Mereka mengaku kalau mereka berhasil menemukan sebuah petunjuk yang mungkin saja bisa membawa titik terang pada kasus ini.Aku penasaran setengah mati. Namun, tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain menunggu. Lantaran belakangan ini aku sudah tidak melakukan kontak apa pun dengan pihak kepolisian, aku terpaksa meneruskan kehidupanku yang membosankan. Banyak polisi yang masih berjaga. Akses keluar-masuk asrama juga dibatasi. Akan tetapi, kurang lebih pelajaran berjalan seperti semula. Banyak anak yang bertanya-tanya ke mana perginya Hilary. Namun, agaknya para guru sudah bersekongkol untuk memberikan jawaban yang pada intinya selalu senada: “Keluarganya membutuhkannya”; “Ibunya meminta Hilary untuk pulang—beliau tidak menjelaskan mengapa”; “Mungkin keluarganya sedang kesusahan.” Itu tidak sepenuhnya salah. Aku yakin keluarga Hilary pastilah mengalami kesulitan sekarang. Bayangkan saja, mendapat kabar kalau anak tertua kalian tengah berhadapan dengan polisi dan terancam masuk bui—mungkin aku akan kena serangan jantung kalau aku adalah orang tua Hilary. Posisi Hilary sebagai ketua kelas kini diemban oleh Olivia, wakil ketua kelas kami. Sekalipun aku mengetahui berita terkini mengenai Hilary, aku memilih untuk diam dan tidak mengatakan apa pun—termasuk Carlotta. Setelah gadis itu menderita demam yang disebabkan oleh syok berat beberapa saat lalu, dia jadi lebih pendiam. Seolah tertangkapnya Hilary telah memadamkan semangat dalam dirinya yang selama ini tidak pernah padam. Dia memang masih tersenyum dan tertawa pada hal-hal kecil, tetapi kedua matanya selalu tampak sedih. Gadis itu tidak bisa menyembunyikan rasa kalut yang dia sembunyikan. Terkadang senyuman tidak selalu bisa menutupi segalanya ketika kedua mata memilih untuk bicara. “Ini membosankan. Mengapa belakangan kita tidak mendapat pelajaran seni dan musik? Mengapa sains melulu?” gerutu Ashley selagi memutar tubuhnya untuk menghadap ke arahku. “Apa ini karena Nyonya Whitney masih disibukkan dengan kematian suaminya?” Aku, yang duduk di belakangnya, hanya bisa mengulum lidah dan menggelengkan kepala. Mendadak saja ingatanku kembali terdampar di malam ketika kami menjalankan misi terlarang kami itu. Ben jelas-jelas berkata kalau mayat tanpa kepala—yang sudah aku dan Hilary temukan—ternyata adalah suami Nyonya Whitney. Guru kami itu tampak dilanda syok berat. Ketika kupikir beliau akan langsung hilang dari asrama untuk mengurus kematian suaminya, Nyonya Whitney malah masih aktif mengajar setelah insiden itu terjadi. Akan tetapi, beliau jelas terlihat tertekan dan tidak fokus. Pernah di satu pertemuan, dia meminta seorang anak untuk memainkan satu baris not balok di piano berulang kali—dia lupa kalau dia sudah menyuruh muridnya melakukan hal yang sama beberapa saat lalu. Untuk Nyonya Whitney yang selalu serba sempurna dan teliti, membuat kesalahan yang sedemikian rupa jelas membuat kami, para murid, khawatir dengan kondisinya. Sekalipun tidak ada yang tahu apa yang telah terjadi pada Nyonya Whitney, teman-temanku bisa merasakan jika ada sesuatu yang salah dengannya. Andai mereka mengetahui apa yang aku ketahui. “Sekalipun guru itu terlihat lemah lembut, kurasa secara mental dia sangatlah kuat,” komentar Ashley selagi mengelus dagu. “Maksudku, guru macam apa yang masih aktif mengajar di saat suaminya baru saja mati dengan cara yang tragis seperti itu?” Aku dan Carlotta memangut-mangutkan kepala pertanda setuju. “Omong-omong,” kata Ashley, “belakangan aku melakukan riset tentang tato yang pernah kau bilang.” Aku mengangkat kedua alis. Beberapa minggu yang lalu Ashley memang memintaku dan Carlotta untuk mendeskripsikan bagaimana bentuk tato yang ada di balik punggung mayat suami Nyonya Whitney. Ashley—yang pandai menggambar sketsa—langsung bisa membuat cetak biru tato yang sudah kami lihat di atas secarik kertas. “Apa yang kau temukan?” kataku menggebu. Ashley melihat sekeliling—semastikan kalau tidak ada orang yang mendengar apa yang akan dia katakan. Beruntung saat ini sedang istirahat makan siang. Hanya ada beberapa gadis saja yang masih tinggal di kelas. Beruntung mereka jauh di belakang—kami bertiga duduk di deret depan. Tiba-tiba saja Ashley mengeluarkan secarik kertas kumpal dari kantung seragamnya. Dari apa yang bisa kulihat, kertas itu sudah dilipat berulang kali dan diremas sedemikian rupa supaya tidak menarik perhatian saat disimpan di dalam kantung. Dengan hati-hati Ashley meletakkan kertas itu ke atas mejaku. Ketika dia membuka lipatan kertas tersebut, aku hampir terlompat kaget dari kursiku. Ini adalah gambar tato yang sama persis seperti apa yang sudah aku dan Carlotta lihat. “Berdasarkan apa yang aku tahu sejauh ini,” Ashley menjelaskan, “tato ini adalah tato yang menjadi ciri khas sebuah geng kriminal yang beberapa tahun lalu menjadi dalang beberapa kasus bentrok di kota ini.” “Apa mereka adalah The Evil Dust?” tanya Carlotta, spontan. Ashley tampak terkejut. “Bagaimana kau tahu nama itu?” Carlotta langsung terlihat gelagapan. “Uhm, sebenarnya aku juga melakukan risetku sendiri,” jelasnya. “Aku tanpa sengaja menemukan sejarah komplotan itu dan aku mendapat firasat kalau merekalah penyebab semua hal ini. Apa aku benar?” Ashley membuang napas lelah. “Itu tebakan yang sangat akurat,” katanya. “Sekalipun aku berusaha menyembunyikan ini dari anak-anak kelas, kurasa akan ada saatnya semua orang akan tahu yang sebenarnya.” Memang ada beberapa geng kriminal yang beberapa tahun belakangan menjadi momok masyarakat. Aku bisa memahami mengapa Ashley berusaha untuk tidak menyebut nama komplotan mana pun. Dia khawatir kami akan ketakutan. Akan tetapi, semakin lama aku tinggal di asrama, semakin aku menyadari bahwa segala sesuatu yang tidak diketahui sejatinya malah lebih menakutkan daripada apa pun yang berhasil aku pahami. Aku rasa Ashley sama sekali tidak perlu melakukan itu. Menyembunyikan hal apa pun dalam keadaan seperti ini hanya akan membuat semua orang resah. Beruntung aku dan Carlotta sudah mengetahui segalanya dari Hilary. Aku masih ingat betul apa yang sudah gadis itu katakan ketika dia menjelaskan isi kotak rahasianya. Kematian Josh dan jasadnya yang ternodai bubuk Lavender sudah menjadi isyarat bahwa seiisi asrama tidaklah aman lagi. “Jadi, tato ini adalah ‘tanda khusus’ TED?” tanyaku kemudian, berusaha mengklarifikasi. Ashley menggeleng. “Ini adalah tanda khusus dari komplotan geng lain,” jelasnya. “Ini yang membuatku tidak mengerti. Jika suami Nyonya Whitney memiliki tato ini, bukankah itu berarti suaminya merupakan salah satu anggota geng kriminal?” Kami bertiga berpandang-pandangan. Wajah sedih Carlotta kini mau tak mau kembali tampak. Ashley pun hanya bisa mengulum lidah—merasa bersalah karena sudah membuat suasana jadi tidak enak. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu untuk mencairkan ketegangan, tetapi apa? Hingga tiba-tiba saja kedua mataku menangkap sesosok pria yang amat kukenal. Saat ini dia sedang berjalan cepat melewati koridor kelasku. Tanpa pikir panjang, aku pun langsung bangkit dari tempat dudukku dan berlari mengejar sosok itu. “Tuan Ben!” panggilku selagi memacu langkahku. Pria yang kupanggil menoleh. Raut wajahnya masih tak terbaca seperti biasa—datar dan cenderung dingin. Ben sengaja berhenti begitu dia mendengar teriakanku. Aku pun semakin cepat menuju ke arahnya. Ketika aku sudah dekat, aku berusaha untuk tersenyum kecil. Aku membuka pembicaraan, “Apa kau memiliki—” Tanpa aba-aba, seorang gadis berlari dari balik punggungku dan tanpa sengaja menyenggol pundakku hingga aku terjerembab ke depan. Tidak mampu mengendalikan keseimbanganku, tubuhku langsung terjun bebas—mengantarkanku untuk terjatuh ke lantai dengan wajah terlebih dahulu. Namun, sebelum itu semua terjadi, tangan kokoh Ben segera mendekapku ke dalam naungannya. Bersamaan dengan itu, seluruh berkas yang ada di genggamannya jatuh berserakan. “Ya Tuhan!” seruku. Spontan, aku meloloskan diri dari sisi Ben dan segera berlutut untuk mengemasi segala dokumen yang kini sudah tercecer di atas lantai. “Astaga, maafkan aku,” ujarku berulang kali. “Tolong tinggalkan kertas-kertasnya kepadaku,” perintah Ben selagi menyambar semua kertas yang kubawa. “Jangan sentuh apa-apa lagi.” “Aku hanya ingin bertanggung jawab!” seruku. Tanpa mempedulikan omongan Ben, aku terus memunguti setumpuk kertas di depanku. Namun, tangan kananku tiba-tiba saja meraih sesuatu yang mampu membuatku terperanjat. Nyaris seperti reaksi alamiah, kuhempaskan benda itu dari tanganku. Tubuhku langsung jatuh ke belakang—seakan otakku memberitahu badanku sendiri untuk pergi menghindari apa yang baru saja kulihat. Kedua mataku segera beralih ke arah Ben—menuntut penjelasan. Wajah pria itu mengeras. Namun, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Yang kulihat adalah kumpulan foto Nyonya Whitney yang tergeletak di atas trotoar jalan, tidak sadarkan diri, dengan sebilah pisau tertancap di tenggorokannya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD