Chapter 23 – Inquisition and The Pretenders

804 Words
“Apa yang kalian lakukan pada hari Selasa, 23 Oktober, pukul 4 lewat 37 pagi?” Pertanyaan yang diajukan oleh Easton mendadak saja menguap ke udara begitu aku melihat apa yang kini terpampang di hadapanku. Map tersebut berisi foto dokumentasi dari rekaman kamera pengintai lorong koridor yang menuju ke kamar Nyonya Audrey—tempat di mana aku dan Hilary terlibat dalam perdebatan sengit beberapa minggu lalu. Kamera pengintai itu menangkap keberadaan kami. Kedua mataku nanar saat memerhatikan deretan foto di atas meja. Tampak jelas aku dan Hilary yang tengah beradu argumen—bahasa tubuh kami mengatakan segalanya. Wajahku memberengut. Ketika Hilary menyentuh pundakku aku malah menghempaskannya—semuanya diabadikan dengan jelas oleh kamera pengintai. Tidak perlu mendapat gelar sarjana untuk mengetahui apa yang terjadi di masing-masing foto itu. Kepalaku berputar-putar mencari jawaban dari pertanyaan Easton. Kebohongan apa lagi yang harus kubuat agar aku bisa lari dari ini semua? Kulirik ke arah Hilary. Ketua kelasku itu pun sama-sama tercenungnya denganku. Namun, ia tampak mendapatkan ketenangannya kembali. Keterkejutan di wajahnya mendadak saja sirna. “Wow,” ia menjadi yang pertama untuk bereaksi. “Apakah ini semua adalah gambar yang diambil dari kamera pengawas?” Easton mengangguk. “Jadi, bisa kalian beritahu kami apa yang kalian lakukan pada saat itu?” Hilary menghela napas lesu. “Sebenarnya ini agak memalukan,” katanya. “ Aku betul-betul tidak tahu temanku ini sedang bersandiwara atau tidak. Aku tidak bisa membedakan emosi yang ia tunjukkan—apakah itu palsu atau sebaliknya? Bagaimana dia akan menghadapi situasi tanpa pengharapan ini? Hilary menyambung, “Aku dan Sarah bertengkar hebat pagi itu.” Aku menundukkan kepala. Apa yang barusan dia bilang itu adalah fakta. Will menyambung, “Apa, lebih tepatnya, yang tengah kalian perdebatkan?” “Aku rasa itu tidaklah penting, Tuan,” balas Hilary. “Kami hanya bertengkar mengenai masalah sepele. Aku pikir ini sama sekali tidak layak untuk menjadi bahan obrolan saat ini.” Wade menyanggah, “Kamar kalian dan koridor itu terpaut lumayan jauh. Memangnya hal sepele apa yang bisa membuat kalian repot-repot keluar dari kamar di pagi buta?” “Sarah ingin melaporkan perdebatan kami ke Nyonya Audrey,” jelas Hilary. “Aku melarangnya karena menurutku perbuatannya berlebihan.” Easton menatapku lurus-lurus. “Nona Sarah, bisakah kau beritahu kami apa yang ingin kau laporkan?” “Aku ingin sekali menjawab, Tuan Easton,” kataku, “tetapi, aku tidak yakin apa yang aku perdebatkan dengan Hilary pada saat itu.” Beberapa polisi di depan kami membisu begitu mendengar jawabanku. Aku memutuskan untuk memanfaatkan keadaan dengan kembali bicara, “Aku dan Hilary memang teman dekat, tetapi kami berdua juga sering berbeda pendapat dan malah akhirnya bertengkar. Aku tidak lagi ingat apa yang kami ributkan pada saat itu karena kami sudah terlalu sering melakukannya.” Dalam kulihat sebersit keterkejutan di raut wajah Hilary. Namun, gadis itu segera mendukung pernyataanku, “Itu benar. Aku juga mengalami hal yang sama.” Aku mengangguk khidmat. “Mungkin kita sedang berdebat mengenai guru matematika yang memberiku nilai F? Aku ingat aku ingin memprotes ke Nyonya Audrey tentang masalah itu.” Hilary menggeleng kuat-kuat. “Kau yakin? Seingatku saat itu kau malah ingin bertemu Nyonya Audrey karena kau ingin pindah kelas.” “Hentikan.” Seseorang menginterupsi percakapanku dan Hilary. Kami sontak menoleh cepat ke arah sumber suara. Seorang polisi bernama d**a ‘Scott McCharty’ tiba-tiba saja muncul dari salah satu pintu yang ada di dalam ruangan. Pria dengan wajah garang dan rambut yang mulai berwarna abu-abu itu melangkah ke tengah-tengah ruangan. Tubuhnya menjulang  Tatapannya yang tajam segera menghujamku dan Hilary. “Berdasarkan apa yang kalian katakan,” Scott mulai berbicara, “kalian tidak dapat mengingat percakapan kalian pada malam itu, benar?” Aku dan Hilary saling berpandang-pandangan. “Uh, itu benar,” jawab Hilary. “Ini semua sangatlah kebetulan,” sambung Scott sarkastik. “Karena kami mempunyai seseorang yang mungkin akan membantu memori kalian untuk mengingat apa yang sudah kalian bicarakan.” Aku menyernyitkan dahi. “Apa yang Tuan maksud?” Scott tak menjawab pertanyaanku. Alih-alih menjelaskan apa yang ia bicarakan, pria itu malah seakan bicara pada seseorang lain, “Nona, keluarlah sekarang.” Seorang gadis berambut hitam sebahu perlahan melangkah keluar dari ruangan yang tadi dihuni Scott. Bersamaan dengan kehadiran sosok tersebut di hadapan kami, aku menahan napas. Gadis itu adalah senior tingkat akhir bernama Bella Hopkins. Dia sama sekali belum bicara. Melirik ke arahku dan Hilary pun tidak. Bella hanya berdiri di sana dengan wajahnya yang tidak pernah berubah—dingin, keras, dan tak terbaca. Gadis itu tak bergeming, tetapi kehadirannya saja sudah cukup membuatku percaya bahwa kini semuanya akan bertambah buruk. “Perkenalkan, ini adalah Bella Hopkins,” ujar Scott selagi meraih pundak senior kami. “Dia di sini sebagai saksi yang akan membantu kalian akan apa yang sudah kalian bicarakan pada tanggal 23 Oktober, dini hari.” Bella menganggukan kepala begitu Scott memperkenalkannya kepada kami—yang sejatinya tidak perlu karena gadis itu sudah terkenal dengan reputasinya yang mengerikan. Tiba-tiba saja wajah Bella yang tanpa emosi saat ini sarat dengan ekspresi mencemooh. Ia menatapku dan Hilary seakan kami adalah dua serangga penggangu yang sebaiknya disingkirkan saja. Mendapat perlakuan itu, wajah Hilary berubah dingin. Kulihat ia mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Masih dengan lagaknya yang sok, Bella akhirnya membuka mulut, “Jadi, harus kumulai dari mana ceritaku ini?” *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD