Chapter One

1057 Words
“Bentar deh,” ucap seorang perempuan sembari mengamati setiap inci kulit dari teman semasa kecilnya. “Kulit kamu sekarang kok dekil banget si.” Sang empu ikut memperhatikan kondisinya, menatap nanar punggung tangan yang dulu cerah kini berganti kusam tak terawat. “Ya mau gimana lagi? Aku nggak punya waktu buat ngerawat diri.” Kekehan ringan datang dari bibir tebal Sabrina, janda muda yang ditinggal mati oleh sang suami satu tahun lalu. Kecelakaan sebuah mobil dengan truk harus meregang nyawa sang suami dalam perjalanan pulang kerja. “Badan kamu juga gemuk banget si, emang nggak takut suami kamu ngelirik perempuan lain?” Clarisa Steffani sebelumnya tak pernah terpikir akan kemungkinan buruk ketidak nyamanan Adit pada perubahan drastis fisiknya. Setelah hamil dia memang menjadi malas merawat diri, belum lagi pekerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa jasa asisten rumah tangga cukup melelahkan. Jemarinya menggeser layar ponsel mencari tangkapan foto saat dirinya masih gadis dulu. Putih, bersih, dan langsing. Berbeda dengan dirinya yang sekarang. Walaupun alasan berat badannya naik karena memang sedang mengandung, namun entah mengapa Sabrina berkata seolah tak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk tetap tampil cantik. “Suami aku nggak pernah protes soal hal ini, ya menurut aku baik-baik aja.” Matanya menatap Sabrina mencari pembelaan. “Baik-baik aja kamu bilang?” tanya Sabrina dengan tangan kanan yang menepuk lengan empuk Clarisa. “Laki-kaki nggak pernah jujur kalau kita itu jelek. Tapi, mereka diam-diam nyari yang lebih cantik.” “Ah nggak mungkin Adit kaya gitu,” cerca Clarisa cepat, bibirnya tersenyum yakin. “Aku yang lebih kenal dia.” “Kalau saran aku sih kamu mending waspada,” ucap Sabrina sambil meraih tasnya di kursi sebelah. Kedatangan Sabrina yang pindah rumah di sebelahnya tiga bulan lalu memang memberikan suasana baru untuk Clarisa yang selama ini jenuh hanya berdiam diri di rumah. Pasalnya Adit Pratama adalah tipe suami yang gila kerja, hanya di hari-hari libur bisa sepenuhnya berada di dalam rumah. Itu juga terkadang masih ada alasan lembur. Dan mungkin saja Sabrina sedikit membuka wawasannya tentang kehidupan seorang istri. “Makasih lo kritikannya tadi. Tapi, emang kayanya aku butuh ngemanjain diri.” “Nah betul, sama jangan terlalu fokus ngurus rumah. Kerjaan masih berantakan ya santai aja, kalau kamu nggak mau tangan mulusnya jadi kasar.” Sabrina memberikan kecupan singkat di pipi chubby Clarisa, kebiasaan baru ketika dirinya akan pulang. Clarisa mengangguk saja, walau sebenarnya saran sang sahabat yang terahir tidak terlalu dia setujui. Ibu mertuanya rajin berkunjung satu minggu sekali, dan yang dia lakukan hanyalah menilai setiap hasil dari pekerjaan rumah Clarisa. Meskipun sebenarnya itu sudah menjadi tugasnya sebagai seorang istri. “Makasih sudah datang main hari ini.” Tangan kanan Clarisa melambai sesaat setelah Sabrina menginjak halaman rumah itu. Dia bisa saja tak menggubris ucapan Sabrina yang entah mengapa seolah tenggelam di dalam otaknya hingga tak bisa keluar. Jujur Clarisa mulai merasakan gundah seperti istri-istri lain yang tak ingin suaminya kepincut perempuan lain. Meski pada dasarnya istri sah tak pernah salah, namun di kalangan masyarakat seolah buta akan hal itu. Apalagi jika keadaan istri sah jauh lebih buruk dari si pelakor. “Jelas saja suaminya selingkuh, orang istrinya jelek!” Kalimat menyakitkan seperti itu seolah lebih dibenarkan ketimbang menilik fakta bahwa seorang penggoda tetaplah bersalah, mau dia secantik apapun itu. Kakinya melangkah menuju kamar tempat di mana dirinya, dan sang suami beristirahat. Tempat favorite Adit ketika ingin bermesraan dengan dirinya. Yang kini menjadi tempat untuk Clarisa merenungi nasib. “Ah bener kata Sabrina, muka aku jauh dari kata cantik. Lebar, dekil,” eluhnya tak lepas memandangi diri dari pantulan kaca rias. Matanya melirik ke tempat di mana beberapa peralatan make up yang dulu tak pernah libur dia jamah kini berdebu. Entah sejak kapan bibir tipisnya sudah tak pernah terpoles lipstik, serta beberapa jenis foundation yang mungkin sudah kadarluarsa tak tersentuh. “Mau cantik, tapi aku males dandan sekarang.” Huft Helaan nafas pasrah membawa tubuhnya merangkak ke atas ranjang. Di jam-jam lepas sarapan mulutnya seolah gemas ingin menyantap sesuatu lagi. Sangat bukan Clarisa yang dulu. Menjaga porsi makan sudah menjadi gaya hidupnya sebelum menikah sampai dokter menyatakan ada nyawa di dalam perutnya enam bulan lalu. “Makan sup buntut enak kali ya?” Entah dalam keadaan sadar atau tidak, jenis makanan yang baru saja dia idamkan mungkin saja akan membuat Sabrina meledek habis-habisan. Tapi, nafsu makan liar ibu hamil memang tak bisa dibantah, harus melahap sekarang, dan puas. Hidup di zaman yang serba praktis tak membuat kakinya pegal karena harus mendatangi tempat di mana sup buntut itu dijual. Hanya lewat ketikan jarinya sebuah ojek online datang mengantar dalam keadaan sup yang masih hangat. “Makasih ya, Pak.” Begitu katanya dengan ramah sembari sesekali kepalanya melongok ke arah pintu rumah Sabrina. Bukan apa-apa, dia hanya merasa gengsi karena tubuh, dan gaya hidup Sabrina memang estetik, selalu rapih. Mungkin dia juga tak pernah menyantap sesuatu yang berlemak. Sekedar info saja, dulunya Sabrina adalah remaja gemuk dengan berat badan hampir mencapai seratus kilo, dan tubuh ideal yang Sabrina dapatkan sekarang adalah hasil dari kerja keras olahraga, dan diet yang nyata. Maklum juga karena dari pernikahan Sabrina tiga tahun lalu belum dikaruniai anak. Jelas saja perut itu masih rata, dan kencang. “Aman,” batinnya berkata lega. Namun, itu hanya terjadi beberapa detik karena kini Sabrina datang dari halaman belakang dengan pakaian renang. Kedua mata mereka saling bertubrukan dengan bibir Sabrina yang tertarik tipis. “Bukannya tadi udah sarapan ya?” Anggukan kepala lemah Clarisa menjadikan kepuasan tersendiri bagi Sabrina. Tubuhnya berjalan meliuk dengan anggun mendekati pagar rumah Clarisa. “Kamu nggak mau badan bagus kaya aku? Biar bikin Adit tambah sayang gitu.” “Aku `kan lagi hamil. Nggak akan bisa kaya kamu juga,” jawab Clarisa memelas. “Kalau gitu tiga bulan lagi, setelah kamu lahiran. Gimana?” Mata Sabrina berbinar tentang hal yang aneh. Seolah dia memiliki antusias yang tinggi untuk membuat Clarisa cantik. Tapi, untuk alasan apa? “Gimana ya?” “Nggak usah banyak mikir, jadi cantik di saat kita udah nggak gadis lagi itu menyenangkan loh.” Kalimat rayuan yang Clarisa yakini menjadi pengharapan seluruh istri di luar sana lumayan menyentil keinginannya juga. “Boleh deh.” Clarisa tak pernah sadar kalau ajakan teman semasa kecilnya akan mebawa perubahan yang besar pada rumah tangganya yang semula baik-baik saja itu. Kata cantik seolah terngiang dalam poros hidupnya agar menjadi patokan hidup bahagia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD