Chapter ten

1805 Words
Tamara pasti dalam hati tengah mengumpat melihat anaknya begitu telaten menyuapi Clarissa. "Emang sekedar makan sendiri aja nggak bisa?" Clarissa melirik singkat, memang mulut mertuanya itu tak bisa diam, apapun menjadi bahan omongan. "Bisa, aku yang pengen nyuapin." Adit menjawab tegas. Membuat bibir ibunya terkatup, Adit menambah nasi ke dalam piring. "Makan yang banyak, kamu pasti dari kemarin belum makan, kan?" Tamara mendengus. "Kabur kemana kamu? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba pergi dari rumah." "Cari suasana segar, Bu." Clarissa menanggapi di sela-sela suapannya. Merasa kesal karena sejak tadi ucapannya selalu dijawab dengan berani, Tamara berlalu sembari menghentak-hentakkan kaki dengan keras. Clarissa menyentuh telapak tangan kiri suaminya, menatap penuh kelembutan. "Makasih ya? Kamu masih bisa bertahan sama aku sejauh ini." "Aku justru minta maaf, belum bisa ngasih kamu kenyamanan." Clarissa menggelengkan kepala membuat Adit yang hendak menyuapi urung. "Ini bukan salah kamu." "Maaf untuk ibu," imbuh Adit serius. Sementara Sabrina sedang berada di sebuah studio pemotretan. Lima belas menit yang lalu dia baru saja mengambil beberapa foto untuk brand skincare jerawat. Kakinya melangkah mantab menuju sang manager yang tengah mengamati jadwal kerjanya. "Hari ini kemana lagi?" Sinta mendongak demi menatap wajah Sabrina yang jauh lebih tinggi darinya. "Nggak ada, cuma ada dua endorsan aja." Sabrina mengangguk pasrah, memang akhir-akhir ini tak begitu padat jadwal pemotretannya. "Oh iya, kamu masih inget 'kan sama teman aku yang kemarin ketemu di mall?" "Si Clarissa?" "Iya, rencana dua bulan lagi dia mau terjun ke dunia influencer. Untuk sementara tolong kamu urus dulu ya? Sampai dia punya tim sendiri." Sinta tersenyum. "Kamu emang baik, padahal bulan depan pasti ramai banget keluaran produk-produk baru. Nggak mau diambil sendiri aja?" "Aku nggak terlalu buta sama duit," jawab Sabrina terkekeh. Sudah terlanjur menjanjikan pada Clarissa, Sabrina tak mau mengingkari. Biar bagaimanapun semua itu masuk dalam rencana besarnya selama ini. "Nih, cantik banget, kan?" Dia sodorkan sebuah foto ketika Clarissa masih langsing dulu. "Aku yakin kalau dia bisa langsing lagi banyak banget yang mau endors dia." Sinta setuju. "Emang figurnya udah cantik si." Sabrina mengangguk singkat, meski ada sebuncah perasaan tak suka kala orang lain memuji Clarissa. Tapi, mau diapakan lagi? Orang-orang pasti akan menilai kalau Clarissa memang cantik. Yang dibicarakan sedang berbaring santai di atas ranjang, menatap suaminya yang sibuk bersama laptop. "Kamu sengaja nggak kerja cuma buat nyari aku?" Adit menoleh, mengalihkan tatapannya dari pekerjaan yang sempat tertunda pagi tadi. "Buat siapa lagi emang?" Clarissa mendengus pelan. "Pasti ibu marah besar." "Tentu." Kembali terfokus menuju laptop, membiarkan Clarissa larut dalam lamunan. Hingga tak terasa sudah berjalan hampir seperempat jam. Adit meregangkan otot-ototnya sebelum melepas kacamata yang bertengger di hidung. "Kamu kapan mau ngomong sama ibu?" Clarissa bertanya dengan tatapan penuh harap. Adit membawa tubuhnya ambruk di samping tubuh sang istri. "Nanti." "Sekarang! Aku maunya sekarang." Kalau sudah begitu, Adit tak lagi bisa berkutik. Apapun keinginan Clarissa mesti dia penuhi. Mengecup dahi perempuan itu pelan, lantas menyeret kaki keluar kamar. Matanya menyapu ke setiap sudut rumahnya, namun tak menemukan sosok Tamara di sana. "Bu?" serunya keras. Terdengar gemericik air dari arah luar, Adit melangkah pelan ke sana. Ternyata sang ibu sedang menyiram bunga. "Eh, Dit. Cuci mobil sekalian, udah kotor banget," perintah Tamara begitu melihat Adit. Pria itu membuang nafas kasar. "Aku mau bicara sebentar sama Ibu." Tamara menampilkan wajah bingung. "Mau ngomong apa?" Adit menepuk-nepuk kursi di teras mengisyaratkan agar ibunya mendekat. Tamara membuang selang air itu asal setelah lebih dulu mematikan keran. "Ada apa?" Adit melihat kedua bola mata Tamara secara serius, seperti saat dulu meminta restu untuk menikahi Clarissa. "Bu, nanti sore aku antar pulang ya?" "Hah, pulang?" Tamara menjawab kaget. "Kok tiba-tiba ngusir? Pasti disuruh Clarissa. Iya, kan?" Adit sampai terpelongo akan tebakan ibunya yang seratus persen benar. "Nggak gitu, Bu. Sayang aja rumah itu kosong sampai lama." "Aku kenal kamu lebih dari Clarissa dekat sama kamu, Dit. Hati Ibu rasanya sakit lihat kamu kaya gitu," ujar Tamara dengan mata yang berkaca-kaca. "Beraninya kamu ngusir Ibu!" "Aku sama sekali nggak ngusir Ibu," sangkal Adit tegas. "Terus apa?" Hening, Adit tak mampu memberi jawaban. Ditatap ibunya dengan memelas, juga perasaan sakit hati yang ibunya katakan lumayan menggores rasa kasihan di hatinya. "Maaf." "Ya udah, Ibu sadar sekarang kamu udah punya perempuan lain. Makanya kamu lupa sama jerih payah Ibu selama ini." Tamara berdiri, menatap anaknya sekilas, lalu masuk ke dalam. Adit meremas rambutnya sendiri, kesal, sesal yang dia rasakan sekarang mungkin tak sebesar denga kesalah pahaman yang Tamara ketahui barusan, meski sebenarnya memang begitu adanya. Dia baru saja mengusir ibunya sendiri. Tak berselang lama Tamara datang, menggeret koper yang penuh akan baju-baju kotor sejak seminggu yang lalu. "Ibu mau pulang sendiri aja." Adit mencoba meraih koper itu, namun Tamara selalu menggagalkan. "Nggak, Bu. Biar aku yang antar." "Mending urus aja istri kamu yang bisanya cuma bikin susah itu," kata Tamara datar. Melangkah pulang tanpa menciptakan sebuah pelukan perpisahan lebih dulu. Adit terpaku di tempat, perempuan yang selama ini selalu memanjakannya kini bersikap ketus. "Maafin aku, Bu." Clarissa datang dengan lemas, setelah sempat mengintip ibu mertuanya pergi. "Makasih," ucapnya sembari memeluk Adit dari belakang. Suaminya tersenyum getir, di saat istrinya bahagia, Tamara justru dirundung kecewa. Haruskah Adit mencegat ibunya kembali? "Masuk yuk!" ajak Clarissa ceria, seolah tak ada tragedi mengharukan di antara suaminya, dan ibunya. Adit melepas rengkuhan Clarissa pelan. "Kamu masuk aja dulu, aku mau selesaikan nyiram bunga." Clarissa mengikuti arah pandang pria itu, matanya sontak memicing. "Tumben, kamu 'kan nggak pernah nyiram bunga selama ini?" "Cuma nerusin apa yang udah ibu kerjakan tadi." Clarissa biarkan suaminya meraih selang kran, mengamati gerakan kaku dari ruaminya itu. Adit memang jarang membantunya mengurus rumah, bahkan lebih memilih membiarkan dirinya tak mengerjakan apapun ketimbang membantu. Kedatangan Tamara memang sedikit merubah Adit, yang jelas pria itu menjadi lebih rajin dalam segala hal. Dan justru sekarang Clarissa yang malas. Perut besarnya seolah mengganggu langkah geraknya selama hampir tiga bulan ini. Saat sore ditutup jingga yang begitu indah, mobil Sabrina pulang masuk garasi. Clarissa melambai kecil saat wajah sahabatnya terlihat melempar senyum di dalam mobil. "Darimana?" Sabrina turun, menjawab pertanyaan basa-basi Clarissa, "Habis pemotretan." Meski baru saja pulang, namun Sabrina dapat mencium aroma-aroma senang dari wajah Clarissa yang tak berhenti tersenyum. "Satu jam lagi, kamu ke sini ya? Kita ngobrol-ngobrol." "Boleh," jawab Clarissa antusias. Menghiraukan Adit yang sejak tadi melihat interaksi kedua perempuan dewasa itu. Saat Sabrina sudah masuk ke rumahnya, Adit segera menyeret lembut tangan Clarissa ke dalam. "Why?" "Kamu serius nggak sekongkol sama Sabrina tentang rencana kabur kemarin, kan?" Clarissa melotot, kalau dia katakan yang sebenarnya, mungkin saja Adit tak akan mengizinkannya berkawan lagi dengan Sabrina. "Nggak kok." Suaminya menatap penuh selidik, detik berikutnya dia lepas cekalan pada tangan Clarissa. "Masuk kamar dulu, nanti aku nyusul" Clarissa menurut, pergi meninggalkan Adit yang menyalakan korek di atas sebatang rokok. Dia cek layar ponsel barangkali ibunya mengirim pesan, namun sepertinya Tamara tak berkeinginan memberinya kabar kalau dia sudah tiba di rumah, seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya. "Clar?" seru Sabrina membuka pintu ruang tamu. Adit menoleh singkat. "Dia di kamar." Sabrina ber-oh ria sembari mengamati keadaan rumah yang nampak sepi. "Ibu kamu udah pulang?" "Udah," jawab Adit singkat. Sabrina membawa pantatnya duduk di samping Adit. Sedangkan pria itu merasa terganggu hanya duduk berdua di ruang tamu, sementara Clarissa entah sedang apa di dalam kamar. "Kalau ada kepentingan sama Clarissa ke kamar aja," kata Adit mengusulkan. Sabrina menggeleng. "Nanti aja, aku cuma pengen main ke sini." "Eh, Sab. Kok nggak manggil?" Clarissa tiba-tiba muncul membawa segelas s**u hamil. Yang dimaksud tersenyum canggung. "Tadi manggil kok. Ngomong-ngomong ibu mertuamu udah balik ya?" Clarissa mengangguk sembari menaruh gelas tadi di atas meja. "Selang beberapa menit dari kamu kok." "Dilanjut ngobrolnya, aku mau mandi dulu." Adit berpamitan. Meninggalkan dua perempuan yang sudah gemas ingin bercengkrama, Sabrina mengeluarkan sebuah produk minuman untuk diet. Alis Clarissa bertaut. "Apaan, Sab?" "Kamu minum ya?" "Buat?" tanya Clarissa masih dengan alis yang menyatu. Sabrina memutar kedua bola mata jengah. "Ya biar langsing, nanti kalau udah lahiran." Clarissa menatap sahabatnya itu dengan haru. "Perhatian banget si kamu? Segitunya loh." "Kalau bukan aku, ya siapa lagi?" Sabrina memicing. Clarissa membaca setiap komposisi yang terdapat pada minuman herbal rasa cherry itu. Meski dia belum pernah menyentuh minuman semacam itu sebelumnya, namun Clarissa percaya kalau pilihan Sabrina pasti tepat. "Makasih banyak." "Welcome, aku udah nggak sabar deh foto-foto sama kamu. Kita jadi selebgram yang hits," ucap Sabrina penuh binar. Walau Clarissa sendiri tak yakin kalau dirinya bisa menjalani pekerjaan seperti yang Sabrina selalu usulkan. Tapi, kalau teringat ada Tamara yang masih berpanjang umur di dunia ini, Clarissa seketika berkobar semangat untuk menjadi istri yang bisa berdiri di kaki sendiri. "Jangan bahas soal bu Tamara di sini dulu ya? Aku takut Adit dengar," celetuk Clarissa memperingatkan. Sahabatnya itu mengangguk mengerti sebelum menyeruput teh tawar dingin buatan Clarissa. Terjadi keheningan beberapa detik di sana sebelum akhirnya Clarissa mengeluarkan suara. "Aku masih belum belanja keperluan bayi." "Serius?" Mata Sabrina melotot tak percaya. "Ampun deh, Clar. Berapa hari lagi kamu lahiran? Hal sepenting itu nggak kamu pikir dulu?" Mau bagaimana lagi? Clarissa tak berani membicarakan keperluan anaknya selama Tamara di sana. Dan Adit juga sepertinya tak begitu paham persiapan sebagai calon orang tua. "Adit mana? Kita pergi belanja sekarang!" Sabrina menegaskan. Sang pemilik rumah tak enak hati. "Nggak usah, aku cuma lagi ngobrol aja." "Kita nggak bisa prediksi kapan anak itu lahir, jadi sedia payung sebelum hujan itu penting." Seorang Sabrina yang belum menjadi ibu, nampaknya lebih berpengalaman ketimbang Clarissa. "Serius, Sab. Aku bisa belanja sama Adit besok." Matanya menatap sang sahabat teduh. Sabrina mendengus. "Oh, mau sekalian berduaan?" "Bukan juga, ada banyak hal yang perlu aku bahas sama Adit." Sabrina mengelus lutut perempuan hamil itu dengan lembut. "Semoga lancar ya, maaf banget aku nggak bisa bantj banyak." "Duh, Sab. Kamu justru berjasa banget buat hidup aku sekarang." Sabrina tersenyum miring, namun sayang tak tertangkap penglihatan Clarissa. Ibu hamil itu sibuk menyesap s**u hamilnya sampai tandas. "Adit udah selesai mandi tuh, aku pulang dulu ya?" Sabrina mendapati Adit keluar kamar dengan handuk yang melingkar di leher. Clarissa mengangguk sayu seraya membalas cium pipi kanan kiri Sabrina. "Aku masih hutang nraktir kamu," bisiknya tepat di telinga Sabrina. "Aku tunggu." Mengantar Sabrina sampai pintu, kini Clarissa menyusul sang suami yang berada di ruang makan. "Lauk yang ibu masak kemarin masih ada, kan?" Pria itu mencari-cari di mana letak makanan. Clarissa mengedikan bahunya tak peduli. "Udah aku buang, habis basi." "Nggak mungkin masakan ibu gampang basi, dia kalau masak teliti banget." Clarissa termenung, suaminya begitu membanggakan hasil kerja masak Tamara. "Eh maksud aku sayang banget basi 'kan masih banyak?" Clarissa berlalu begitu saja dari ruangan itu, meninggalkan Adit yang menepuk jidatnya sendiri. "Padahal di meja makan ada telor ceplok buatan aku loh, tapi yang ditanyain yang udah basi." Suara Clarissa saat menaiki tangga terdengar begitu keras, sepertinya perempuan itu sengaja mengumpat agar Adit merasa tersindir. "Iya, aku makan telor ceplok sama kecap, Sayang. Enak banget loh masakan kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD