3 - Rencana Tama

1371 Words
“Pokoknya lo harus nembak Bunga!”ucap Anin tegas saat kelas olahraga. Tak seperti cowok pada umumnya, Tama duduk bersama kaum hawa di pinggir lapangan. Tama tak suka mata pelajaran itu. Pernah suatu kali saat pelajaran renang, dia tak bisa bertahan di air kolam itu. Semua orang menertawakannya. Ia sangat mirip dengan Anin. Mereka terlalu memiliki banyak ketidakbisaan. Inilah yang membuat cewek sekelasnya tak suka dengan Tama. Dia bukan cowok cool yang patut diandalkan. Ia hanya cowok tampan yang diberi gelar Si Ganteng Maut. Ah, gelar itu terlalu tidak pantas untuk orang seperti Tama. Saat Tama sendirian di pinggil lapangan, ia kedatangan tamu tak diundang. Cewek yang ia janjikan kepada teman-temannya akan ditembak dengan pistol air. Bukan, ini cuma candaan. “Hai Tam, kenapa lo gak ikut main?”tanya Bunga dengan wajah cantiknya yang berkilauan. Ia seperti bidadari yang turun dari langit dan tak sengaja bertemu cowok tertampan di sekolahan itu. “Hmmm, lo mau tahu banget?” “Engga sih, cuma penasaran aja.” “Gue alergi bola sepak.” Raut wajah Bunga seketika berubah. Ia menatap Tama tajam. “Maksudnya?” “Bercanda kok, gue emang gak bisa main sepak bola.” “Hah? Lo bukan cowok ya?” “Emang perlu bukti apa lagi biar lo percaya gue cowok?”tantang Bunga dengan mata genitnya.  “Bukan itu maksud gue. Mungkin jiwa lo bukan jiwa cowok.” “Astaga, kalau sudah begini gue kacau deh.” “Emang kenapa?” “Tadinya gue mau nembak lo.” “Lah, so easy to say ya? Terus sekarang gak jadi?” “Jelas gak jadi. Lo aja bilang kalau jiwa gue bukan jiwa cowok.” Mereka terdiam sesaat dan memperhatikan pertandingan sepak bola yang sedang berlangsung. Pertandingan itu berlangsung sengit dengan antusiasme dari dua tim yang dibagi dari kelas 11 IPA 1.  “Hmm, tapi kenapa lo mau nembak gue?”tanya Bunga penasaran. “Gue ada janji sama teman-teman gue. Lihat cowok yang pakai bandana merah itu.”ucapnya menunjuk ke arah Hasta. Hasta yang berkeringat tampak memukau. Bagi cewek-cewek penghuni 11 IPA 1, Hasta itu tampak lebih tampan dibandingkan Si Ganteng Maut. Hasta pintar, punya badan yang bagus, sikapnya baik dan yang terpenting dia gak pecicilan kayak Tama. “Sama cewek yang jelek di sudut sana, yang rambut keriting gosong.”lanjut Tama sambil menunjuk ke arah Anin yang sedang cekikikan bergosip dengan Gena dan Trisna. Suara tawanya yang menggelegar seakan mampu mengambil alih panggung. “Mau coba pacaran?”balas Bunga. Respon yang tak disangka oleh Tama. Ia melirik ke arah Bunga yang tak bereaksi terhadap tatapan Tama. Ia memang tak punya perasaan pada Tama. Entah apa tujuan cewek itu. “Tujuan lo apa? Gue rasa, lo gak tertarik sedikitpun sama gue.” “Yups, lo benar. Gue cuma mau bantuin lo. Daripada lo gak memenuhi janji lo sama teman-teman lo.” “Kenapa lo mau bantuin gue.” Bunga berdiri hendak pergi, “Terserah sih, kalau lo gak mau ya udah.”ucapnya kemudian. Tama berpikir keras sekeras batu bata. Jika ia tak memenuhi janjinya, pasti ia akan dibunuh oleh dua cecunguk itu. Sungguh pilihan yang berat. “Oke, gue mau. Tapi lo harus ngikutin skenario gue.” Bunga langsung duduk dengan sigap. “Skenario apa? Gini-gini, gue calon artis masa depan.” “Kita melancarkan aksi waktu istirahat nanti.” Tama menjelaskan rencana konyolnya pada Bunga, si murid baru cantik itu. Bunga mendengarkan dengan serius. Bunga adalah cewek yang pandai bergaul. Itulah persepsi Tama saat ia berdiskusi dengannya. Ia bukan cewek yang jaim tapi lebih kepada cewek dengan kelas yang tinggi. Fashion yang mahal dan berkelas selalu terlihat dalam tampilannya. Bisa dipastikan bahwa lipstik yang melekat di bibirnya cukup merogoh kocek yang luar biasa. “Oke gue ngerti.”ucap Bunga setelah Tama menjelaskan tujuannya. “Tapi janji ya, kita gak boleh baper satu sama lain. Akting kita cukup di depan teman-teman.” “Oke, gue janji.” Kedekatan Tama dan Bunga terlihat oleh Anin yang duduk tak jauh dari tempat mereka berada. Anin penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Mereka tak sedekat itu untuk berdiskusi dalam waktu yang lama. “Gue punya jokes receh yang gue lihat di twitter. Mau dengar gak?.”ucap Gena penuh semangat. “Iya, terserah deh.”balas Trisna ngasal. Trisna tampak memperhatikan Broto, cowok idamannya. Sudah sejak lama Trisna jatuh hati, tapi ia tak berani untuk jujur. Prediksi Anin dan Gena, cintanya tak akan ketahuan bahkan sampai mereka lulus nanti.  “Apa bedanya fitnah dan fitnes?” “Gak tau.” “Gue juga gak tahu.” “Kalau fitnah kejam, kalau fitnes ke gym.” Tak ada yang tertawa dan tak ada yang peduli. Jokes yang menurut Gena deserve untuk disebarluaskan itu ternyata tak cukup menghibur. “Kasih respon atuh guys!” “Udah ah, yuk balik. Kelas udah kelar. Bentar lagi istirahat.”ajak Anin yang mulai beranjak dari tempatnya. Gena pasrah dengan mereka yang tak peduli. Biarkan saja, mungkin level humor mereka jauh melebihi ambang batas. Jam istirahat hampir tiba. Sehabis olahraga biasanya mereka langsung ke kelas untuk ganti baju. Ruangan kelas jadi tempat terbaik untuk perempuan ganti baju. Para lelaki harus rela ganti baju di ruang terbuka karena memang tak ada yang akan mengintip mereka. Sebagian orang memilih untuk segera makan siang ke kantin. “Has, Tama dimana?”tanya Anin yang baru saja selesai ganti baju. Parfum adalah benda terbaik untuk menetralisir badannya yang berkeringat dan bau matahari. Hasta sedang membereskan bajunya yang berantakan. Rapi dan bersih, itulah Hasta Gading Raja. Manusia yang terlalu sempurna untuk hidup di dunia ini. “Gak tahu deh. Tadi gue bareng sama anak-anak dan gak ada Tama. Emang terakhir lo lihat dia dimana?” “Di lapangan sama murid baru.” “Hmm, mencurigakan.” Tiba-tiba gerombolan orang berteriak. Sedang ada pertunjukan seru di kantin. Akan ada pernyataan cinta dan semua orang hendak ke sana untuk menyaksikan kejadian itu.  “Anin, lo harus ke kantin!”teriak Gena yang tiba-tiba datang tanpa permisi. “Kenapa sih Gen? Apa yang terjadi di kantin.” “Tama akan melakukan pernyataan cinta.” Hasta dan Anin saling pandang. Apakah hari ini akan jadi hari bersejarah dalam hidup mereka? Janji yang dikatakan Tama kemarin akan langsung direalisasikan? “Ayo Has, kita gak boleh ngelewatin kejadian itu. Buruan!”seru Anin sambil menarik tangan Hasta dengan kencang. Cowok itu tak punya waktu lagi untuk membereskan mejanya yang berantakan. Ia mengikuti langkah Anin yang cepat karena tak sabaran. Mereka tiba di kantin dengan suasana yang sangat ramai. Ramai oleh fans Tama dan bahkan guru yang menyukai Tama sedang memantau dari sisi lain. Keramaian ini membuat Anin harus jinjit untuk bisa melihat Tama Wijaya, Si Ganteng Maut k*****t. Tama terlihat sedang memegang bunga dan bergaya hendak melamar Bunga. Kalimat yang sungguh ambigu bukan? Ah, lupakan. Bunga tampak tersipu dan kelihatan bahagia dengan pertunjukan itu.  “Maukah kamu jadi pacarku?”tanya Tama dengan gayanya yang sok cool. Ya, bisa dikatakan sok cool karena sebenarnya dia gak cool sama sekali. Fans Tama bereaksi sangat berlebihan dengan teriakan yang bisa menghancurkan alat pendengaran manusia. Jika keramaian ini terus berlanjut, Tama bisa saja dipanggil lagi ke ruang BK. “Iya, aku mau.”balas Bunga dengan senyuman termanisnya. Cewek cantik itu juga jadi pusat perhatian. Ya, mereka seperti paket lengkap mewah dan high class. Mereka seakan berbeda level daripada murid lainnya. Sungguh pemandangan yang luar biasa di depan sana. Guru muda yang menyukai Tama tampak berapi-api dan langsung menyuruh semua orang untuk tidak berteriak dan heboh. Tentu ia cemburu, Si Ganteng Maut yang ia sukai itu sudah official punya pacar. Reaksi berbeda dan cukup mengagetkan terlihat dari fans Tama yang didominasi oleh adik kelas.  “Mereka cocok. Mulai sekarang, gue jadi fansnya.” “Iya, pasangan yang sangat sempurna.” “Kalau pacarnya kayak Kak Bunga, gue setuju.” “Okey, sekarang kita jadi fans couple itu ya.” Diluar dugaan bukan? Andaikan Tama berpacaran dengan gadis biasa, para fans bar-barnya itu pasti akan murka. Semua orang tampak kecewa harus mengakhiri pertunjukan itu. Hasta dan Anin segera kembali ke kelas dengan berbagai anggapan. Anggapan bahwa kini Tama menepis sebutan bahwa ia homo. Menepis anggapan bahwa ia tak berani dan pengecut. Ya, hari ini dia cukup jantan untuk disebut sebagai seorang lelaki. “Boom! Rasanya kayak dapat syok terapi. Tama udah gede rupanya.”komentar Hasta dengan ekspresi kagum. Anin tak menanggapi. Ia sedang memikirkan hal lain dan tak mendengar ucapan Hasta. “Anin, lo denger gak?” “Ah, kenapa Has?” “Lo mikirin apa sih?” “Engga kok.” “Jadi gimana pendapat lo? Tama dan cewek idamannya, Bunga.” “Hmm, mereka cocok. Apalagi kalau lo bawa pacar lo ketemuan sama kita Has. Kalian bisa double date gitu. Gue jadi nyamuknya.”canda Anin. “Ish, lo harus punya pasangan dulu baru jadi triple date.” “Iya juga ya.” Mereka buru-buru ke ruangan kelas karena kelas akan tiba. Pelajaran selanjutnya dari guru killer yang tak bisa telat sedikitpun. Kekhawatiran selalu memenuhi mereka ketika tiba pelajaran guru killer itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD