Awal

1847 Words
“Aku mohon sama Kamu tinggalin Kak Adhi,” pinta seorang pemuda terhadap gadis yang dicintainya. “Aku cinta Kamu. Aku yang lebih dulu kenal Kamu. Harusnya Kamu nikah sama Aku bukan sama Kak Adhi.” Teriaknya. “PLAKKK!” tatapan mata tak percaya gadis itu ditujukan kepada sang pemuda. “Dhipta! Aku calon istri kakakmu. Ingat! Kalau dulu Aku bilang Aku suka Kamu itu Cuma cinta monyet masa lalu. Kita udah dewasa dan Seminggu lagi Aku dan Mas Adhi akan menikah,” jelasnya. Sang gadis mengangkat kedua tangannya ketika sang pemuda mencoba berbicara kembali. “Aku anggap kita nggak pernah ngomong ini. Aku pulang,” pamit sang gadis pergi dari cafe itu. Pemuda itu hanya terdiam menatap datar kepergian sang gadis. Tanpa diketahui tangannya gemetar bahkan untuk mengambil gelas yang berisi air itu. Tidak apa. Tidak apa ia ditolak. Tapi setidaknya ia sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya. Meskipun setelah ia harus menahan sakit hati melihat pernikahan gadis yang dicintai dengan kakak kandungnya. ... 10 bulan kemudian. Dua orang pria muda berbeda usia berjalan beriringan di koridor gedung 15 lantai tersebut diikuti oleh sekertarisnya masing - masing. Kedua pria muda dengan wajah tampan tersebut memasuki gedung besar. Sepanjang mereka melangkahkan kaki, sapaan ramah dan hormat diperuntukan untuk keduanya. Meski hanya salah satu dari mereka yang membalas semua sapaan itu dengan senyuman. Walaupun keduanya lebih sering menampilkan wajah datar tanpa ekspresi tapi laki- laki yang lebih tua lebih senang tersenyum kepada siapapun. Wajah bahkan tubuh mereka bagaikan patung Dewa Yunani yang dielu - elukan ketampanan dan kesempurnaannya. Berlebihan? Tidak. Penggambaran tentang mereka tidak berlebihan. Tubuh tinggi 187 cm berotot serta wajah terpahat sempurna dengan tatapan mata yang tajam dan dalam. Bibir tipis yang menawan. Rambut berwarna gelap dengan potongan comma hair. Bukankah pria yang lebih muda ini sangat tampan? Adhiguna Prasetyo si sulung, memiliki tinggi 185 cm wajah yang tak kalah tampan dengan adiknya. Yang berbeda dari mereka adalah gaya rambut. Rambut Adhiguna lebih panjang yang hampir menutupi tengkuknya dengan potongan middle part hair. Di wajah Adhiguna atau biasa orang - orang terdekatnya memanggilnya Adhi memiliki jenggot tipis dengan model clean shaved, namun itu sama sekali tidak mengurangi daya tariknya. Ia malah terlihat dewasa dan semakin menawan. "Dipta. Loe gak niat buat lirik salah satu dari mereka?" Adhi mencoba memecah keheningan antara dua bersaudara itu namun senyuman dan pertanyaan sang kakak yang menurut Dipta sangat menyebalkan. Mata hitam laki - laki yang lebih tua darinya lima tahun itu mengerling kepada sekumpulan pegawai wanita yang bekerja di kantor mereka. Dipta mendengus. Mata hitamnya ikut melirik kumpulan pegawai wanita itu. Tatapan tajam nan sinis diarahkannya sehingga para pegawai wanita yang berisik nan mengganggu melihat mereka itu menundukan kepalanya dalam. Adhi memasang ekspresi kagum yang dibuat-buat. Pria 31 tahun itu tertawa kecil sehingga tatapan tajam adiknya kini mengarah kepadanya. "Wow.. mereka langsung diem cuma karena Loe tatap, luar biasa adikku ini" ucapnya dengan nada jahil. “Jangan terlalu sinis dan dingin sama perempuan Dhip atau...” Adhi sengaja menggantungkan kalimatnya, Dhipta pun refleks menatap kakaknya. Adhi menaruh lengannya di bahu Dhipta. Pria tampan yang lebih tua itu mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga adiknya. Dhipta yang mendengar bisikan entah apa itu dari kakaknya, berusaha keras menahan emosinya. Ia sangat ingat ini berada di kantor jadi dia tidak akan membanting kakaknya itu ke lantai. Tangan Dhipta mengepal kuat. Dengan kasar ia mendorong kakak laki-lakinya itu hingga menjauh darinya. Dhipta terus melangkahkan kakinya menuju ruangan mereka. Tanpa memerdulikan panggilan kakak satu - satunya itu yang ia tinggal di belakang, ia masuk ke ruangannya. Suara bantingan pintu membuat para pegawai yang lewat di depan ruangan anak bungsu pemilik perusahaan itu terkejut. “b******k!” Dhipta yang berada di ruangannya mengumpat pelan dan menggeram tertahan. Matanya menatap tajam pada salah satu figura foto yang menampilkan dirinya berdiri di samping kiri bersama seorang perempuan berambut ikal dengan kaca mata. Di foto itu senyumnya terlihat sangat lebar begitu juga dengan senyum gadis berambut ikal itu. Hanya saja, tangan gadis itu bertaut mesra dengan tangan laki-laki lain. Seorang pria tampan yang Dhipta sangat kenal. Adhiguna Prasetyo. Kakak laki-lakinya. “PRAAANGGG!” Diambilnya foto itu kasar lalu ia lempar ke dinding. Bunyi pecahan kaca sontak terdengar di telinganya. 'Hapus nama Karin di kepala dan hati loe, Adikku. Because she’s not yours to own, dia istri gue.' Sebuah bisikan di koridor dari kakaknya, sukses membuat pikirannya kalut sepagi ini. "Argghhh!" Dhipta menjambak rambutnya frustasi. Ia sangat menyesal kenapa tidak sejak SMA ia mengungkapkan perasaannya, padahal yang lebih dulu kenal dengan Karin adalah dirinya. Andaikata dulu ia tidak termakan oleh egois dan gengsi mungkin yang bersama Karin kini adalah dirinya. … Adhi menatap pungggung adiknya dengan tatapan bersalahnya, kemudian segera ia memalingkan wajahnya. “Bu Mita, tolong siapkan materi untuk rapat enam puluh menit lagi ya. Kalau sudah siap panggil saya,” pinta Adhi. “Baik Pak. Adalagi Pak?” “Tidak ada.” Setelah memberikan perintah kepada sekretarisnya Adhi pergi menuju ruangannya. Sesungguhnya ia menyesal telah mengatakan itu kepada adiknya, namun ia merasa dengan begitu Dhipta dapat bangkit dari masa lalu melupakan perasaaan kepada istrinya. Adhi duduk di kursi kulitnya, memandang sendu langit lewat jendela ruangan miliknya kemudian ia mengalihkan tatapan ke meja kerjanya, tanpa sengaja matanya menatap lembut foto pernikahannya dengan Karin− sang istri. Adhi masih ingat betul satu minggu sebelum pernikahan mereka Karin meminta bertemu. Karin mengatakan sambil menangis bahwa hari itu Dhipta mengutarakan isi hatinya, memintanya membatalkan pernikahan mereka. Sejujurnya Adhi sangat kalut hari itu ia tidak ingin berpisah dari calon istrinya tapi ia juga tidak ingin menyakiti hati Dhipta. Ia peluk erat Karin, menepuk – nepuk pelan punggungnya berusaha memberikan ketenangan yang ia bisa. ... Sementara itu di salah satu tempat. Seorang gadis berambut lurus panjang berponi, tinggi 170 cm berjalan dengan pump heels hitamnya dengan tinggi 10 cm menyusuri jalanan yang dipenuhi oleh daun - daun kering yang telah gugur dari pohonnya. Gadis dengan wajah cantik dan manis itu berhenti kemudian bersender pada salah satu batang pohon. Wajahnya nampak datar menatap tumpukan daun kering di depannya. "Shiva! Coba kamu tunjukkin jam tangan itu lebih jelas!" Sesuai perintah, gadis cantik bernama Shiva itu mengangkat tangannya dan meletakannya di dadanya. Ekspresinya masih sama. Gaun berwarna kuning sabrina yang ia kenakan bergerak tertiup angin. "Good! Satu foto lagi, ya! Kamu emang hebat, Ashiva Candra!" sang fotografer memberikan jempolnya menandakan pekerjaan Shiva bagus. Shiva merubah posisinya. Kini ia terlihat seakan ingin berjalan. Tangannya masih menapak pada batang pohon. Kali ini wajahnya lebih berekspresi. Sebuah senyum tipis terukir saat ia mengadah memperhatikan langit yang cerah pagi itu. "Yeah! Foto terakhir yang paling bagus!" Sorak sang fotografer pria dengan lesung pipi itu seraya memperhatikan foto - foto dari kameranya. Shiva menghela napas lega. Pekerjaannya selesai untuk hari ini dengan cepat. Mata coklat gelap gadis itu memperhatikan pemuda berlesung pipi yang terlihat sangat senang dengan hasil foto yang ia dapat. Sebuah tepukan di bahu Shiva, menyadarkan gadis itu dari lamunannya akan laki - laki tersebut. "Masih ngarepin Kenji ?" Shiva mendengus. Ia tidak ingin berdusta kepada sahabatnya, namun ia juga menyadari bahwa hal itu tidaklah mungkin. Bagi Kenji− si fotografer ia hanyalah seorang adik perempuan yang harus dijaga. Ia tidak menjawab pertanyaan dari gadis dengan potongan rambut dikuncir ekor kuda yang menepuk bahunya itu, yang Shiva lakukan hanya menatap kosong kearah Kenji. Mira hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya. Ia tahu jika mata sahabatnya itu kembali memperhatikan wajah bahagia dari sang fotografer di depan mereka. "Udahlah, Iva sayang." Mira mengelus punggung Shiva kini tersenyum sendu kearah sang sahabat. Gadis berambut panjang itu menoleh ke arah Mira kemudian tersenyum kecil. "Gue gak apa - apa, Mir." Shiva menghela napasnya lagi. Shiva membalikkan tubuhkan pergi menuju kearah dimana mobil mereka diparkir. "Gue cuma bahagia banget, waktu dia nunjukkin eskpresi seseneng itu karena hasil kerjaan Gue yang bagus," Lanjutnya. Sebuah senyum tulus terbentuk di bibir Shiva. "Hah.. terserah Loe lah. Sepulang dari sini, kita harus ke kantor Pras Entertainment. Loe tahu?! Mereka nawarin Loe buat jadi penyanyi, a singer!" Suara Mira mendadak ceria. Ia bahkan sampai melompat saking senangnya. Shiva hanya menganga melihat Mira dengan tatapan tak mengerti. Menjadi penyanyi? Yang benar saja! Pekerjaannya adalah seorang model! "Mira? Loe salah kali? Penyanyi? Yang benar aja Mirasa penyedap rasa! Gue ini seorang model dan Gue sama sekali gak bisa nyanyi!" Mira mengerutkan keningnya. "You can’t sing? Oh ayolah Shiva, Gue kenal bahkan sejak kita kecil dan imut - imut. Setiap orang yang dengar suara Loe pasti akan diem dengan mulut terbuka saking kagumnya!" "Loe lebay banget," Shiva memutar bola matanya. Ia mengangkat gaunnya agar mudah berjalan. Mereka menuju berjalan menuju mobil guna mengganti baju Shiva. "Iva, Loe harus nyoba ya. gue yakin loe bisa jadi seorang penyanyi hebat ngalahin Keke," Mira menghalangi jalan Shiva. Sang manager cantik itu memasang senyum kaku di wajahnya yang membuat Shiva menaikan satu alisnya. "Ini pertama kali Loe berusaha maksa Gue nerima pekerjaan, Mirasa. Gue tetep gak mau. Apapun alasannya!" "Tapi Gue udah nerima pekerjaan itu, Shiva. Ehm.. da- dan Gu- gue—". Shiva semakin mengernyit bingung saat sahabat sekaligus manager-nya itu memainkan telunjuknya di depan d**a. Mira juga seperti kebingungan mencari kata-kata untuk ia ucapkan. "Maafin Gue Shiva, Gue udah terima bayaran dari Pras Entertainment. Maafin Gue Shiva." Mira menatap Shiva takut - takut. Sang model yang ditatap hanya menghela napas. "Ya udah, balikin aja duitnya balik, gitu aja kok repot," ucapnya santai kemudian membuka pintu mobil. "I-itu dia masalahnya, Va." Shiva yang baru saja ingin masuk ke dalam mobil mendadak berhenti. Ia merasa ada yang tidak beres di sini. Segera saja gadis itu menatap sahabatnya itu tajam. "Kasih tau Gue yang sebenarnya, Mirasa – micin - penyedap rasa?" Mira mendadak berlutut di depan Shiva sehingga membuat Shiva panik sendiri. Ia berusaha membuat Mira berdiri lagi tetapi gadis itu masih saja berlutut di depannya. "U- uangnya.. uangnya udah Gue pake untuk bantu keluarganya Soni buat bayar hutangnya. Ma-maafin Gue Shiva, Gue mohon maaf." Shiva menatap sahabatnya terkejut. Gadis cantik itu mencoba menenangkan dirinya. Apa-apaan ini? "Miraaaa! Mirasa k*****t Loe! Dasar micin! Argh. Loe udah gila? Pertama Loe menerima tawaran itu tanpa kasih tahu Gue, terus itu uang dari tawaran itu Loe pake juga?" Shiva menggeram kesal. Dilihatnya wajah Mira yang pucat ketakutan dan menyesal. Shiva menghela napasnya. Ia tidak tega juga melihat wajah sahabatnya dari kecil itu. "Huft..., ok Gue bakal ganti uang dari Pras Entertainment. Loe, cuma perlu ganti uang Gue itu nantinya." Mira belum bangun dari posisinya. Wajah cantiknya masih menampakan ekspresi bersalah. "Ta- tapi Shiva, uang dari Pras Entertainment tujuh kali lipat dari uang bayaran Loe yang sekarang ini, Oh Shiva.. ampuni Gue." Shiva meraung mendudukan dirinya pasrah. Gadis berambut lurus panjang itu menangis keras sambil memanggil ayah ibunya yang sudah meninggal membuat Mira sang sahabat sekaligus managernya ikut menangis. "Ma-maafin Gue, Va.. Gue nyesel. Gue gelap mata." Shiva menghapus air matanya kasar. Gadis itu menatap si manager bodohnya tajam. Ia bangun dari posisinya lalu masuk ke dalam mobil. “Gue maafin.” Mira menatap sahabatnya tak percaya, dia dimaafkan. Padahal ia sudah memanfaatkan Shiva untuk kepentingannya tapi sahabatnya itu masih memaafkannya. “Tapi...” Shiva sengaja menggantung kalimatnya. "Sekarang, anterin Gue ke kantor Pras Entertainment! Gue tetap akan menolak," Mira terbelalak. "Ta- tapi Shiva—" "SEKARANG!" Mira segera merapikan penampilannya yang awut – awutan dan membersihkan sisa – sisa air matanya lalu duduk dibelakang kemudi dan dengan tangan gemetar berusaha memasukkan kuncinya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD