5. Kegiatan Rutin

1216 Words
Hari ini adalah hari kamis, itu berarti nanti malam adalah malam jum'at. Seperti biasanya, akan ada kegiatan rutin setiap malam jum'at di pondok pesantren ini. Semua santri tengah disibukkan untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan agar kegiatan rutin nanti malam jum'at dapat terlaksana dengan baik. Setelah acara mengaji selesai, mereka tak lantas boleh pergi ke kamar untuk melakukan aktivitas sendiri karena pesantren Al-Awaliyah ini membutuhkan bantuan para santri yang entah itu dengan suka rela ataupun penuh keterpaksaan membantu menyiapkan segala hal yang diperlukan. Seperti misalnya menyiapkan snack, hidangan lain yang dibutuhkan dan juga beberapa barang yang memang akan digunakan saat kegiatan rutin itu dilaksanakan. Para santri yang sudah lama berada di sini dan tentunya sudah terbiasa dengan kegiatan ini tentu merasa tidak masalah, mereka justru sangat bersemangat menyambut hari kamis untuk mengikuti kegiatan rutin malam jum'at nanti. Berbeda dengan dua gadis yang meskipun sudah tinggal di sini kurang lebih satu bulan, tetapi masih saja mengeluh mengikuti kegiatan rutin yang diadakan oleh pesantren setiap minggunya. Siapa lagi mereka kalau bukan Faisya dan Ica? Menurut mereka, daripada membantu menyiapkan semuanya dan mengikuti kegiatan yang sebenarnya amat berfaedah itu, lebih baik mereka tidur seharian di kamar. Karena sejujurnya, mereka cukup lelah dan sedikit bosan dengan kegiatan di pesantren yang menurut mereka itu-itu saja. "Duh, ribet amat sih ini pesantren? Pake ada acara seminggu sekali segala. Kenapa nggak yang satu tahun sekali aja? Ngerepotin banget!" Sedari tadi Ica tak berhenti menggerutu kesal sepanjang ia membantu membungkus lappet bugis. "Lo dari tadi nggak capek ngegerutu terus, Ca?" tanya Faisya yang mulai lelah mendengar gerutuan Ica. "Nggak! Lebih lelah tangan gue yang otewe ngebungkus kue ini yang segitu banyaknya!" jawab Ica ketus. "Lo aneh, Ca, ngegerutu tapi masih aja dikerjain. Harusnya kalo lo emang nggak ikhlas, ya, udah nggak usah ngerjain, duduk diam aja. Ya nggak, Nai?" Naila mengangguk, mengiyakan kata-kata Faisya. "Iya, Ca, lagian 'kan kalaupun kamu nggak bantuin juga nggak apa-apa. Masih banyak yang mau bantu, kalo nggak bantu juga nggak akan dihukum kok," ucap Naila. "Kalian nggak lihat di sana ada siapa?" tanya Ica sambil menunjuk seseorang dengan dagunya. Faisya dan Naila menatap ke arah seseorang yang ditunjuk Ica, ternyata itu adalah Gus Faris. Faisya dan Naila saling pandang, tanpa bertanya pada Ica lagi jelas saja mereka tahu apa maksud Ica. "Huh, ternyata lagi caper. Kalau lagi caper, jangan banyak ngeluh. Nanti nggak bisa dapat cintanya Gus Faris loh," ucap Faisya. "Biarin, yang penting dia ngeliat gue yang rajin tapi 'kan dia nggak denger gerutuan gue," balas Ica santai. Faisya dan Naila yang mendengar perkataan Ica hanya menggelengkan kepalanya, heran dengan kelakuan Ica yang sama sekali tidak pernah berubah. Di pikiran gadis selalu Gus Faris, Gus Faris dan Gus Faris. Seakan tidak ada lagi hal-hal penting yang seharusnya ia pikirkan, dasar Ica si b***k cinta Gus Faris. "Serah lo deh, Ca, bodo amat." Faisya memutar kedua bola matanya jengah. "Jangan jutek gitu, nanti lo jadi mirip Ustad Akbar loh. Si Ustad jutek yang galak hihihi." Ica terkikk geli, sedangkan Faisya terdiam mendengar perkataan Ica ketika gadis itu membahas Ustad Akbar. "Apaan sih lo, Ca? Nggak jelas!" Faisya memalingkannya wajahnya, berniat menutupi kegugupannya. Namun, bukannya tidak gugup lagi, ia malah semakin gugup ketika matanya bersirobok dengan seorang pria yang tadi sempat menjadi bahasan mereka, maksudnya bukan mereka tetapi hanya Ica saja karena ia tidak mau membahas. Tatapan mata Ustad Akbar seakan menusuknya membuatnya merinding, entah perasaannya atau bukan, tetapi ia merasa kalau Ustad Akbar sedari tadi memperhatikannya. Karena tidak tahan dengan tatapan tajam itu, akhirnya ia memalingkan wajahnya untuk kembali memusatkan perhatiannya pada daun pisang di hadapan mereka. "Kenapa lo, Fai?" tanya Ica membuat Faisya tergagap. "A-apanya yang kenapa?" tanya balik Faisya. "Ekspresi lo aneh, kayak habis ngeliat hantu. Lo tadi ngelihatin siapa sih?" Ica celingukan, begitu kepo dengan orang yang membuat sahabat sekaligus sepupunya itu bertingkah aneh. "Gue tadi habis ngeliat Gus Faris," ucap Faisya berbohong. "Ngapain lo ngeliatin Pak Ustad ganteng gue? Awas aja, ya, kalau lo juga naksir sama dia," ancam Ica dengan mata yang memicing. "Lo udah tertarik sama dia, ngapain juga gue ikutan tertarik? Kita cuma sepupu dan sahabat, kalo soal perasaan dan tipe cowok jelas aja beda." Kenyataannya memang begitu, hanya karena mereka itu sepupu, bukan berarti semua hal di dalam diri mereka itu sama. "Ooh, jadi lo nggak suka tipe yang kayak Pak Ustad, ya, tapi sukanya yang kayak Ustad Akbar?" tanya Ica langsung menyimpulkan, entah mengapa gadis itu suka sekali membawa-bawa nama Akbar. Bódohnya, Faisya tanpa sadar mengangguk. "Eh, bukan gitu maksudnya." Faisya langsung menggelengkan kepalanya ketika ia salah bicara. "Bilang aja sih, Fai, kalo lo suka sama Ustad Akbar. Nggak usah malu-malu gitu," ucap Ica sambil tersenyum geli. "Nggak! Enak aja! Emangnya gue itu lo?" "Fai, jangan berisik. Kasihan Naila yang dari tadi sibuk kerja terganggu sama keberisikan kita." Ica berbicara begitu, seakan hanya Faisya saja yang berisik. Padahal, yang memulai semuanya juga berawal dari Ica yang suka mengeluh. Dasar Ica! Suka melemparkan batu, tetapi setelah itu menyembunyikan tangannya seakan bukan ia yang melempar. "Yang duluan berisik tadi siapa? Kan lo, Ca," ujar Faisya. "Ih, gue ini kalem, orang calon istri Pak Ustad kok. Jadi, harus kalem, ramah, baik hati, tidak sombong, rajin menabung, rajin—" "Rajin berisik!" tambah Faisya langsung memotong kata-kata Ica. "Ah lo ngeselin, Fai!" Ica cemberut. "Hallo, Pak Ustad!" Cemberutnya langsung hilang ketika melihat keberadaan Gus Faris yang berjalan ke arah mereka bersama dengan Ustad Akbar. Seperti biasa, Gus Faris sama sekali tidak menanggapi sapaan Ica karena menurutnya itu tidak penting. Dua ustad tampan itu hanya melewati Ica, Faisya dan Naila tanpa berniat bertanya atau menyapa. Mereka memang sedang mengajari para santriwati dengan wajah datar mereka yang entah mengapa malah membuat para santriwati sering curi-curi pandang. Ica yang tidak dibalas sapaannya oleh Gus Faris pun berdecak kesal, sedangkan Faisya sendiri mengangkat bahunya acuh. Meskipun hatinya agak merasa aneh ketika Akbar tadi melewatinya. Entah mengapa ia merasa seperti tidak asing dengan sosok itu, lama Faisya berpikir hingga tak sadar kalau ia telah banyak melamun sehingga mengabaikan Ica yang ternyata sedari tadi mengajaknya berbicara. "Fai! Fai!" Faisya akhirnya tersadar. "Ya, Ca? Ada apa?" tanyanya. "Lo dari tadi gue ajak ngobrol juga, malah diam aja. Naila juga tadi ngajak lo ngomong, lo cuma diam dan bengong. Mikirin apa sih lo, Fai?" tanya Ica. "Gue nggak mikirin apa-apa kok, cuma fokus aja mau bungkus makanan ini." Mendengar jawaban Faisya membuat Ica tersenyum meledek. "Semuanya udah kelar, Fai, apanya yang mau lo bungkus?" Faisya mengerjap, ia melihat sekeliling di mana para santri sudah banyak yang pergi kemudian ia melihat ke bawah di mana di atas tikar telah kosong. Hanya tinggal daun pisang yang tersisa beberapa saja. "Wah, kebanyakan ngelamun lo, Fai!" ucap Ica. "Jangan banyak melamun, Fai, takutnya nanti setan akan mudah menggoda kamu agar kamu berbuat keburukan. Kalau ada apa-apa lebih baik kamu cerita sama aku dan Ica, siapa tahu kami bisa bantu." Naila yang sedari tadi diam pun berbicara. "Eh, nggak ada masalah apa-apa kok, serius," ucap Faisya sambil menatap Ica dan Naila. "Akhir-akhir ini lo aneh, Fai, kayak keseringan ngelamun kalo gue perhatiin." "Nggak ngelamun, Ica, tadi cuma mikir sesuatu doang kok. Udah ah nggak usah dibahas lagi, lebih baik kita beresin ini biar bisa balik ke kamar." Faisya berdiri sambil membawa beberapa daun pisang yang tersisa, sengaja agar dua gadis di hadapannya tidak bertanya ini itu lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD