1. Harus Pergi

1177 Words
Assalamualaikum semuanya, yang kangen Faisya dan Ica mana suaranya??? Author up nih, pada senang enggak? Owh iya nanti cerita ini akan ada beberapa adegan yang sedikit sama dengan cerita Assalamualaikum Pak Ustadz, bedanya di cerita ini sudut pandangnya Faisya ya karena kan ini ceritanya Faisya. Dan akan ada kisah-kisah yang lainnya yang lebih seru. Ikuti terus sampai habis ya, jangan lupa vote dan commentnya biar author tambah semangat... Happy Reading ... * * * Faisya sudah siap dengan gamis merah mudanya yang kemarin Bundanya belikan untuknya, awalnya dia menolak keras memakai gamis serta hijab yang senada dengan warna gamisnya ini. Tetapi Bundanya memaksa dia memakai gamis serta hijab ini, alasannya karena mereka kan akan pergi ke sebuah pesantren maka pakaian yang pantas ya gamis yang Bunda Aira berikan ini. Gadis itu kembali menatap kamarnya, dia pasti akan sangat merindukan tempat ternyamannya ini. Dia menghela napas kemudian keluar dari kamar, di sana sudah ada Bunda Aira dan Ayah Fahri yang sepertinya sudah sangat siap mengantarkannya pergi. "Waah putri Bunda cantik sekali," ucap Bunda Aira ketika melihat Faisya sudah tampil cantik dengan memakai gamis serta hijab yang dia belikan. Faisya hanya tersenyum tipis, dia bingung ingin berekspresi seperti apa. Karena jujur, hatinya sedang tidak baik-baik saja. Dia masih sangat berat meninggalkan rumah ini, dia merasa belum siap pergi ke pesantren. Dia yang suka kebebasan tidak ingin jika hidupnya dikekang dengan peraturan-peraturan aneh yang pesantren itu tegakkan, tetapi apa boleh buat? Dia memang harus pergi ke sana karena Ayah dan Bundanya sudah mendaftarkannya dan Ica. "Eh? Kok kayak enggak senang? Senyum dong anak Bunda yang cantik." Terpaksa Faisya melebarkan senyumnya, walau hatinya sedang tak bisa tersenyum. "Ya sudah ayo kita berangkat, nanti terlambat." Ucapan Ayah Fahri membuat kedua orang yang sedang bercakap itu pun mengangguk kemudian memasuki mobil. "Dengar ya Faisya, Ayah tidak mau mendengar kamu cari masalah di sana. Ayah mau kamu dan Ica bisa belajar dengan baik di sana." Ucapan Ayah Fahri membuat Faisya mengangguk kemudian menunduk, Ayahnya jarang berbicara tetapi sekalinya bicara bisa tegas seperti itu. Dia memang tidak terlalu dekat dengan Ayahnya, kalian tahu sendiri kan sekaku apa Ayahnya itu? Tetapi Faisya yakin kalau Ayahnya begitu menyayanginya juga Bundanya. "Iya Ayah," balas Faisya membuat Ayah Fahri tersenyum tipis. Letak rumah kedua orangtua Faisya dan kedua orangtua Ica tak begitu jauh, sehingga hanya membutuhkan lima belas menit untuk sampai di sana. "Assalamualaikum." Ketiga orang itu mengucap salam sambil memasuki rumah kediaman Ica. "Waalaikumsalam." Fai yang semula berwajah muram menahan tawanya begitu melihat penampilan Ica dari atas sampai bawah, namun karena tak tahan tawanya meledak seketika. Penampilan Ica benar-benar membuat dirinya yang semula sedih kini malah tertawa terbahak-bahak, menurutnya penampilan Ica terlihat begitu aneh. Ica mau pergi ke pesantren apa mau pergi piknik? batinnya sambil terus tertawa. "Hahaha... aduh sakit perut Fai, eh Ica lo mau pergi ke pesantren apa mau piknik? Keren amat gaya pakaian lo." Faisya kembali tertawa sedangkan Ica mendelik menatap kearah Fai. "Biarin daripada lo, kayak mau ikut Ibu-ibu pengajian aja. Pakai gamis segala, mana pakai hijab lagi. Tobat lo? mendingan gue lah." Eza yang berada disamping Ica menepuk bahu saudara kembarnya itu sambil tertawa. "Ya ampun Kak Ica, mendingan pakaian yang dipakai kak Fai daripada pakaian lo yang memamerkan lekuk tubuh. Dimana-mana itu kalau mau ke pesantren, tempat islami ya pakai gamis lah. Gak kayak lo pakai-pakaian pencari jejak." Eza mengejek Ica membuat Ica menatap adiknya sebal. "Sudah-sudah, Ica ganti pakaian kamu sana. Jangan lupa pakai hijab." "Tapi Bunda, Ica gak punya gamis sama hijab." Bunda Asa menepuk dahinya pelan, ia melupakan fakta bahwa Ica memang sangat tidak menyukai gamis. Kerap kali ia menawarkan beberapa gamis yang menurutnya sangat pantas bila dipakai Ica namun putrinya itu selalu menolak dengan alasan, gak mau ah Bun nanti Ica kayak Ibu-ibu. Selalu itu yang menjadi alasan, Asa pun tak dapat memaksakan kehendaknya terhadap putrinya walaupun jauh sebenarnya jauh didalam lubuk hatinya ia sangat ingin melihat putrinya itu mengenakan gamis dan hijab. "Ya sudah, ayo ikut Bunda." Asa menarik tangan Ica agar mengikutinya menuju kamarnya, ia akan memilihkan gamis yang pantas untuk Ica kenakan beserta hijabnya. Asa dan Ica keluar dari kamar Asa, semua menatap Ica tanpa berkedip. Eza melihat saudaranya yang kelihatan lebih cantik berkali lipat setelah mengenakan pakaian yang menutup aurat dengan tampang melongo, ia berdecak kagum seraya menggelengkan kepalanya. "Kak seriusan, lo cantik banget pakai baju sama hijab itu." Ica mendengus mendengar perkataan saudaranya itu, ia mengira bahwa ucapan Eza hanya mengejeknya saja. "Udah lo gak usah ngejek gue." "Ye siapa yang ngejek, tanya aja sama Kak Fai kalo gak percaya." Ica menatap Faisya seakan bertanya, Faisya hanya mengangguk. Ia masih terpana dengan Ica yang memakai gamis beserta hijab, ia kira jika memakai gamis dan hijab akan terlihat seperti Ibu-ibu pengajian. Namun nyatanya kecantikan seorang perempuan akan semakin terlihat bila menutup aurat dan bukannya mempertontonkan aurat. "Apaan dah kalian ngelihatin Ica kayak gitu, Ica risih tau. Kalau mau ngejek Ica jangan kelihatan banget ngejeknya," ucapnya kesal. "Siapa yang ngejek putri Ayah sih? Kami semua di sini kagum sama penampilan baru kamu. Coba aja dari dulu kalau kamu disuruh pakai hijab sama Bunda kamu mau, kami pasti akan semakin senang." Ucapan Ayah Aby dibalas anggukan semua orang kecuali Ica sendiri tentunya. "Ayah enggak usah mulai deh..." Aby baru saja ingin membuka suara, namun Bunda Asa langsung mengintrupsinya. "Ayo kita berangkat," ajak Bunda Asa. "Enggak usah terus ketawa lo Fai," ujar Ica kesal ketika dia melewati Faisya dan sepupunya itu masih saja terus tertawa. "Ya habisnya lo lucu banget tadi Ca." Faisya kembali terbahak membuat Ica mendengus kesal dan lebih memilih memasuki mobilnya, begitupula dengan Faisya dan kedua orangtua mereka. Selama perjalanan menuju pesantren yang memang cukup membutuhkan waktu panjang karena letak pesantren di mana Faisya dan Ica akan menimba ilmu cukup jauh, Faisya merenung. Dia kembali memikirkan Kakak masa lalunya itu, andai saja Kakaknya itu sudah pulang dan menghampirinya mungkin saja dia tidak perlu pergi ke pesantren kan? Sedangkan di lain tempat, seorang pria kisaran usia dua puluh lima tahun itu termenung di sebuah taman yang berada di area pesantren. Dia kembali mengingat adik kecil yang dulu pernah ada di dalam hidupnya, namun mereka yang harus berpisah karena dia pergi menimba ilmu di sini. Rasanya sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu, seperti apakah adik kecilnya itu? Apakah dia sudah berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik? Memikirkan hal itu membuat pria yang memakai baju koko putih serta sarung hijau itu tersenyum. "Ustadz ...." Panggilan itu membuat pria yang dipanggil Ustadz menoleh, di sana ada salah satu santri putra yang kini menghampirinya. "Iya ada apa?" "Gus Faris sedang ada keperluan, Ustadz. Beliau meminta agar Ustadz menggantikannya mengajar santriwati sore ini," ujar santri putra itu. "Baiklah, kamu boleh pergi. Nanti sore saya akan menggantikan Gus Faris." "Baik Ustadz, kalau begitu saya permisi dulu. Assalamualaikum ...." "Waalaikumsalam ...." Setelah kepergian santri putra itu, dia mendesah pelan kemudian memilih menuju ruangannya untuk segera bersiap. Setelah shalat ashar berjamaah dia harus menggantikan Gus Faris mengajar, hentikan dulu soal memikirkan adik kecilnya itu. Bila sudah saatnya, mereka pasti akan bertemu. Dia menggeleng kemudian mulai mengambil air wudhu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD