MR 03. The Talented Mr. Torres

1171 Words
SEGALANYA terlihat mengabur di pelupuk mata Coraima. Air matanya membentuk penampakan prisma bak berlian. Cahaya lampu berbias merah darah, biru, hijau, dan neon. Dia merasa berteriak sangat keras ketika Salvador menyeretnya menjauhi jasad Godfreido. Juga ketika Salvador merobek gaun pengantinnya. Namun pada kenyataannya tidak ada sepatah kata pun diucapkannya. Ia membisu. Di satu sisi, telinganya menuli. Ia nyaris tidak mendengar apa pun, tidak juga suara tawa para pria bertuxedo, serta isak mengiba Demetrio yang memohon untuk keselamatan dirinya. Ia nyaris tidak mendengar apa pun, kecuali debaran jantung dan deru napas pria di atasnya, yang menguasainya di atas peraduan sang raja. Salvador Torres merenggut semua miliknya, mendesak dirinya tanpa iba, menancapkan tiang kekuasaan atas lahan yang diklaimnya sebagai miliknya. Menemukan noda keperawanannya membuat wajah beringas pria itu tersenyum puas, tetapi tidak menghentikan aksinya. Pria itu tidak menyisakan apa pun untuknya kecuali sedikit celah untuk bernapas. Tubuh kekar penuh tato melapisi beragam bekas luka itu mengguncang keras tubuh Coraima. Salvador mengerang pendek berulang- ulang selama dia berpasangan dengan Coraima, seakan menyuarakan kemenangannya merampas harta musuh. Coraima tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap memelas pada sepasang mata biru yang bercahaya bagai aquamarine, permata sebiru laut yang indah. Mata yang lebih kelam dari mata Godfreido, si biru langit. Ia mengenali mata itu. Tatapan yang membawa darah, luka, sakit, keputusasaan, siksa, dan kematian. Tidak ada kasih sayang di mata itu. Hanya kebencian yang tampak. Coraima memejamkan matanya, dan air matanya tumpah tanpa suara. Salvador Torres mendeburkan keperkasaannya setara ombak besar dalam tubuhnya. Coraima berharap tenggelam dan menghilang, tetapi pria itu kembali merengkuhnya, membawanya kepada kenyataan, lalu kembali mengempasnya dengan ombak nafsu bergulung- gulung, seolah ia adalah batu karang. Kebisuannya dianggap sebagai keteguhan hatinya, tetapi pria itu salah. Ia telah mati di dalam sana. Ia adalah raga hampa dan Salvador Torres membiarkan hidup tubuhnya yang terasa sangat nikmat daripada membunuhnya seperti yang dilakukannya pada Godfreido. "Aku tidak akan membiarkan kau menyatu bersamanya, bahkan di alam baka, mi corazón!" geram Salvador setelah sekian lama menggauli Coraima hingga penghujung malam, tetapi wanita itu tidak kunjung bicara juga. Isak tangisnya pun tidak ada. Hanya desahan lemah setiap kali ia mengguncang tubuh mereka di atas ranjang king size itu. Anak buahnya asyik duduk- duduk, minum- minum dan menikmati cerutu mereka sambil bersenda gurau, sementara jasad Godfreido Reyes masih tergeletak di tengah kamar. Sialnya, mata Godfreido yang terbuka seakan menatapnya terus menerus. "Sialan!" bentak Salvador lalu melempar gaun pengantin Coraima menutupi wajah Godfreido. Tanpa pernah melepaskan Coraima sejak pertama ia menyentuh gadis itu di ranjang, ia melanjutkan mendera Coraima sambil berbicara menggerutu. "Aku suamimu sekarang, Coraima, terima kenyataan itu dan mengaumlah untukku. Katakan sesuatu yang kau harapkan dariku!" Wanita itu seharusnya berkata 'mati saja' atau sesuatu yang lain berupa kecaman dan sumpah serapah. Namun, tidak ada sesuatu pun diucapkannya. Hanya mata cokelatnya yang bergemintang mengerjap- ngerjap lemah. Salvador menautkan jemarinya di sela jemari Coraima, menciuminya lembut karena ia hampir kehabisan tenaga tetapi masih juga enggan beranjak dari tubuh mempelainya. Salvador melihat cincin di jari manis Coraima dan ia meneriaki anak buahnya. "Ambilkan cincin di tangan Godfreido!" Satu pria bergegas melaksanakan suruhannya. Ia mengambil cincin di jari Godfreido lalu menyerahkan benda itu pada Salvador. "Ini, Sal!" Pria itu buru-buru berpaling dan kembali berkumpul dengan teman-temannya karena tidak ingin membuat Salvador marah telah melayangkan tatapan pada gadisnya. Salvador menegapkan tubuh, memasang cincin bertatah berlian di jarinya, tepat di atas cincin kawin lain yang lebih dulu ada. Salvador mematut cincin itu dan menyeringai, memperlihatkannya pada Coraima dengan rasa bangga. "Nah, sekarang aku sungguhan suamimu, mi corazón. Kita akan membentuk keluarga besar yang berbahagia. Hahahha ...." Salvador lanjut mengisi tubuh Coraima. Coraima merasa sangat jijik dan berharap bisa mengatakannya dan meludahi pria itu, tetapi apa yang bisa dilakukannya? Ia bahkan tidak bisa bicara dan tubuh tanpa daya kehabisan tenaga. Coraima akhirnya tak sadarkan diri, berbarengan Salvador terkulai lemas di atas tubuhnya. Bukan malam pertama impian mempelai mana pun. Kehilangan suami yang dicintai secara mengenaskan di depan mata, lalu bersanding dengan pembunuhnya di depan jasad sang suami. Salvador ingin memastikan mempelai yang diambilnya patuh dan setia padanya. Saat matahari terbit, ia beranjak dari sisi mempelainya, memandangi tubuh Coraima yang berlekuk padat, halus lembut penuh bercak darinya. Ia mendesah sekilas, lalu menutupi tubuh itu dengan selimut. Melangkahi jasad Godfreido, ia menuju lemari dan mengambil jubah mandi hotel lalu mengenakannya. Salvador memanggil anak buahnya dan beberapa pria segera datang. Sambil menyalakan cerutunya, ia berujar pada mereka. "Bereskan jasad Godfreido dan tidak ada orang lain boleh tahu kalau ia sudah mati." Ia lalu menoleh pada Coraima, Nyonya Reyes yang sah. Perempuan yang memegang akses manajemen dan keuangan aset Godfreido Reyes, termasuk jaringan hotelnya. Ia tersengih puas sambil mengembuskan asap. "Aku akan menjadi pengganti Godfreido Reyes mengambil keputusan melalui istrinya. Karena itu pastikan Coraima selamat dan terlindungi." "Baik, Sal!" sahut anak buahnya serempak. Mereka lalu mengemasi jasad Godfreido. Salvador menemui Demetrio yang disekap di ruangan lain. Pria itu tersandar setengah sadar bekas dipukuli dan kelelahan. Salvador berjongkok di depannya dan menyentil wajah pria itu. Demetrio cukup sadar untuk bereaksi padanya. "Kau, Demetrio, jika masih ingin hidup, berlagaklah Godfreido masih hidup dan bantu Nyonya Reyes mengurus hotel. Sedikit saja kau mencoba mengakaliku, aku bunuh semua orang yang berhubungan darah denganmu, tidak terkecuali bayi dalam perut istrimu. Kau paham?" Demetrio mengangguk tanda setuju. Salvador beranjak dari ruangan itu dan menyempatkan berujar pada anak buahnya yang menjaga Demetrio. "Bantu pria ini menata dirinya. Kita tidak ingin membuat keluarganya khawatir, bukan?" "Baik, Sal!" Salvador kembali ke kamar tidur di mana Coraima berada. Gadis itu masih terbaring dan tidak bergerak walaupun matanya terbuka. Terdengar getaran ponsel dari suatu tempat. Salvador mencarinya dan ternyata ada dalam laci nakas samping ranjang. "Dari Mami-mu," ucap Salvador seraya memperlihatkan layar ponsel pada Coraima. Gadis itu bergeming. Kelopak matanya tertutup gemetaran lalu bulir-bulir air mata kembali berjatuhan. Tidak ada yang bisa diucapkannya pada orang tuanya. Mereka akan tahu bahwa sesuatu yang buruk telah menimpa dirinya. Panggilan masih berlangsung. Salvador memeriksa pesan masuk yang mengabarkan kedua orang tua Coraima sudah tiba di rumah. Pastinya mereka ingin tahu kabar balik putri mereka setelah malam pertamanya. Salvador berdeham beberapa kali, lalu menjawab panggilan masuk dengan suara hangat dan bersahabat. "Hola, sí, Mami! Apa kabar? Maaf baru bisa menjawab teleponnya, Mami. Saya baru bangun." Juanita tertawa kecil. "Ohhoho, ya, aku bisa mengerti ... kalian pasti mengalami malam yang seru. Aku hanya menelepon untuk memastikan pada Coraima kalau kami sudah sampai sejak malam tadi. Aku rasa ia kelupaan karena keasyikan." "Ah, maaf, Mami. Kami sedikit lupa diri. Ehm, Coraima masih tidur, Mami. Sebentar saya bangunkan." "Oh ... eh, tidak usah, tidak usah, Godfreido. Biarkan saja, dia istirahat. Kami akan bicara dengannya kapan- kapan lagi. Baiklah, selamat menikmati bulan madu kalian." "Sì, Mami, terima kasih banyak." Panggilan berakhir dan Salvador mengibaskan telepon genggam Coraima sambil tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Gadis itu menatap balik dengan mata berkaca-kaca. Salvador meledeknya, "Kau masih tidak bisa bicara. Agaknya ... mulai saat ini aku saja yang memegang ponselmu, mi corazón." Lalu pria itu menjauh sambil tertawa tebahak- bahak. Senang mulai mengambil alih kehidupan Godfreido Reyes perlahan-lahan. *** Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD