Bab 43 Bersama Eikichi (3)

1196 Words
Selepas menyantap sarapan di atap gedung rumah sakit, mood Misaki membaik. Ia pun telah melupakan semua kejadian terkait Wataru maupun topik tentang keluarganya yang tak masuk akal. Saat ini, ia memakai dress belang-belang sebatas betis dilengkapi dengan cardigan hitam panjang. Rambutnya masih susah untuk diluruskan, jadi diikat satu saja biar mudah. Di kamar mandi tadi, ia berusaha meluruskannya tapi masih bergelombang sedikit. Sejenak, ia sempat menatap dirinya di cermin. Normal. Sangat normal. Ia seperti perempuan normal yang menjalani kehidupan kota besar yang semestinya. Anehnya, hal normal itu seperti hal ganjil dan tak nyaman untuknya. Sosok sadako mini marketnya lebih membuatnya nyaman dan santai. Eikichi menceritakan beberapa kejadian konyol di tempat kerjanya, lalu mengajaknya untuk menonton turnamen bola di sekolahnya bulan depan. Kehadiran lelaki itu membuatnya sangat tenang dan lega. Bodoh sekali firasatnya waktu itu mengenai Eikichi! Dirinya mungkin terlalu negatif kelamaan menjauh dari kehidupan sosial yang menyenangkan seperti ini. Teman masa kecilnya itu sangat pintar membuat lelucon garing yang tidak lucu, tapi itu sanggup membuat Misaki tertawa lepas. Setibanya di lorong bangsal rawat ayahnya, kaki Misaki terhenti. Kedua adiknya, Yuka dan Yuki muncul dari arah berlawan dengannya. "Misaki?" Eikichi keheranan. Yuki yang melihat Misaki tersenyum riang, lalu berlari-lari kecil ke arahnya, memeluk Misaki "Kakak!" "Eh?" Eikichi tampak terkejut. "Siapa ini? Pacar kakak?" matanya melirik curiga ke arah lelaki itu. "Dia ini...?" Eikichi memandang Misaki, meminta jawaban. "Yuki." Jawabnya singkat. "Oh! Yuki! Apa kau tak ingat aku?" tunjuknya pada diri sendiri. "Siapa, ya?" Yuki memiringkan kepala. "Ah... Iya, benar juga." Eikichi salah tingkah, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Lalu, dengan santainya ia berkata lagi. "Aku dulu adalah tetangga kalian. Apa tidak ingat?" "Hah? Tetangga?" "Yuki mana ingat. Itu, kan, sudah beberapa tahun berlalu," terang Misaki cepat. "Ah, benar juga," ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Misaki tersenyum kecut. Ia tak tahu jelas kenapa adik-adiknya sampai tak ingat Eikichi juga. Seolah otak mereka sudah diformat layaknya komputer. Ada apa, sih, dengan keluarganya? Gemas juga ia mendapati dirinya terjebak dengan misteri melebihi segitiga bermuda itu. "Jika yang berambut sebahu ini Yuki, berarti yang berambut pendek itu Yuka, ya?" Eikichi tersenyum kikuk pada anak perempuan bertampang galak bermusuhan tak jauh dari mereka. Yuka berdiri tak senang melihat Misaki yang sibuk ditempeli oleh Yuki. "YUKI!" tegur Yuka. "Kenapa, sih, berteriak terus sejak semalam kakak datang? Aku, kan, baru bertemu kakak lagi setelah sekian lama! Semalam Yuka melarangku dekat-dekat kakak, sekarang aku tidak peduli! Kapan lagi bisa bertemu kakak selain hari ini?" ngototnya. "YUKI! Kau bukan anak-anak lagi! Kita sudah kelas 2 SMA! Hentikan tingkah sok manjamu itu!" "Yuka..." Misaki memandang suram pada adik pertamanya itu. "Ah... mereka kembar, tapi sifatnya seperti api dan air, ya?" Eikichi melirik cemas pada Misaki. Sadako mini market itu diam saja. "Yuka kenapa, sih? Kenapa sangat membenci kakak? Bahkan mengusir kakak dari ruang rawat!" Yuki memeluk Misaki begitu kuat, tatapannya nanar ke arah Yuka. Adik pertama Misaki itu mengepalkan kedua tangan di kedua sisi tubuhnya, gigi-giginya gemelutukan. "Apa kau tidak tahu kalau dia itu sumber kesialan keluarga kita?" teriak Yuka menahan diri, matanya melotot tajam ke arah Misaki. Mereka bertiga tertegun. Masing-masing tenggelam dalam dugaan dan prasangka. "Kenapa diam saja? Benar, kan? Gara-gara kau, ayah masuk rumah sakit? Keluarga kita terjerat hutang dan jatuh miskin begini gara-gara kamu, kan, Misaki?" nada suara Yuka terdengar jijik dan menuduh. "Yuka! Dia kakakmu! Bicara yang sopan!" tegur Eikichi. "Hah! Mana mau aku menaruh hormat pada kakak macam dia! Kau pikir rahasia ini akan selamanya terkubur, begitu? Aku tidak bodoh!" "Kau bicara apa, sih, Yuka? Kau sedang berkhayal, ya?" Misaki mengucapkannya dengan nada takut-takut. Ia tak tahu bagaimana adiknya itu sampai tahu hal ini, dan entah sejauh mana ia tahu. "Berhenti berpura-pura! Kau bersikap sok pahlawan di keluarga ini, sok berkorban pula. Nyatanya, kau-lah sumber malapetaka keluarga ini!" kedua bola mata Yuka mulai terlihat nanar penuh rasa benci. "Kau pasti kelelahan. Bukan begitu, Yuki? Kakakmu itu sepertinya terlalu lelah belajar." Ia menepuk-nepuk pundak Yuki yang sedikit terguncang. Anak itu hanya mengangguk patuh dalam diam. "Masih mau berbohong! Mama sendiri yang mengatakannya padaku! Jika mama tidak sakit saat ini dan mengigau, aku tak akan tahu kebenarannya!" seluruh tubuh Yuka gemetar menahan amarah. "Selama ini, selama ini," kata-katanya tertahan sejenak, "aku begitu bangga dan hormat padamu! Tapi apa ini? Apa kebenaran ini? KAU MENJIJIKKAN!" Yuka meludah seolah-olah melihat Misaki sesuatu yang kotor. "YUKA!" Yuki mulai meneteskan air mata. Ia menarik baju Misaki. "Kakak! Itu tidak benar, kan?" "Misaki...." Eikichi tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa memandang perempuan itu yang tertunduk malu dan muram. "Tak bisa menjawabnya, kan? Tentu saja! Karena itu benar! Aku jadi bertanya-tanya, dengan kerja serabutan-mu selama ini, rasanya tidak masuk akal kau bisa membiayai kami sekeluarga. Berapa, sih, penghasilanmu itu? Jangan-jangan, kau jadi piaraan om-om kaya, ya?" ejeknya dengan tatapan merendahkan. "YUKA!" seru Eikichi dan Yuki nyaris bersamaan. Misaki diam saja. Dadanya serasa diiris-iris sembilu. Mustahil ia menjelaskan bagaimana mendapatkan biaya untuk mereka. Selain harus merahasiakan identitasnya sebagai penulis, ia juga yakin jika menjelaskannya sekarang pada keadaan Yuka saat ini, yang ada malah mungkin dicap pembohong dan penuh tipu daya. Bukti? Percuma. Yuka adalah anak yang cermat dan teliti, sangat susah membuatnya percaya pada sesuatu tanpa bukti kuat dan alasan yang logis serta masuk akal. Pasti Yuka akan memaksanya membuat konferensi pers sebagai bayarannya, bukan bukti kecil semacam kerjaannya atau pak editor sebagai saksi. Ini hal yang tak mau ia lakukan, terlalu berisiko. Sudah cukup dengan kehebohan dengan Toshio. Bisa-bisa segala hal yang ia tutup rapat terkuak ke permukaan. Reporter gosip itu lincah dan gesit, seperti mata-mata, sedikit saja tercium ada yang aneh, mereka bisa mengejarnya sampai ke ujung semesta kalau perlu. Keluarganya bisa dalam masalah, bukan, tapi dalam bahaya! Mengulik rahasia para orang-orang ternama dan terkenal merupakan kesenangan dan kepuasan bagi mereka. Misaki bergidik ngeri membayangkan masa lalunya yang gelap penuh misteri diobrak-abrik oleh orang asing lalu menjadi konsumsi umum. Sungguh memalukan jika itu terjadi! "Lihat? Dia diam, kan? Diamnya itu adalah jawaban 'ya'. Apalagi?" tatapan matanya mengejek. "Apa kalian tahu seberapa mahal pakaian dan perhiasan yang ia pakai sebelumnya? Orang-orang di forum berkata semua itu adalah barang bermerek kelas dunia edisi terbatas! MAHAL! SANGAT MAHAL!" urat-urat leher Yuka menegang, ia memperlihatkan foto Misaki yang tengah tertidur dengan wajah yang sudah disensor pada sebuah postingan di internet. "Yuka. Kita bicara di tempat lain saja, ya?" bujuk Eikichi. Pandangan orang-orang kini mulai terasa tak nyaman, bisik-bisik keras pun mulai terdengar jelas. "Apa kau muc*kari-nya?" suara Yuka tajam. "YUKA!" akhirnya Misaki buka suara. "Jangan libatkan orang lain dalam hal ini!" "Huh! Kenapa? Apa jangan-jangan dia beneran pacarmu, ya? Malang sekali ia memiliki pacar menyedihkan sepertimu! Piaraan om-om kaya. BIKIN MALU KELUARGA SAJA!" "YUKA!" Misaki berteriak tertahan, kedua tangannya gemetar. Dadanya panas naik-turun. Marah tidak cukup untuk menggambarkan isi hatinya. Begitu pun kesedihan yang menggelayut di dadanya. Tak mengapa Toshio merendahkannya, tapi jika anggota keluarganya sendiri? Sakit. Sakit sekali.... Rasanya ia tiba-tiba mati rasa.... Ia pun bingung harus berkata apa di saat ini. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Ia ingin menyalahkan Toshio, tapi lelaki itu salah apa? Pengecut sekali ia sampai harus menyalahkan lelaki itu. Beri penjelasan apa pun saat ini pasti hanya akan sia-sia belaka. Mereka semua terdiam selama beberapa detik, hingga seorang perawat memberanikan diri untuk menegur mereka. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD