Prologue

2009 Words
Perhatian!!! Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. (UU No. 19 Tahun 2002) Tentang Plagiarisme! [1] Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. [2] Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku plagiat disebut sebagai plagiator. Singkat kata, plagiat adalah pencurian karangan milik orang lain. [3] Dapat juga diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain yang kemudian dijadikan seolah-olah miliknya sendiri. [4] Setiap karangan yang asli dianggap sebagai hak milik si pengarang dan tidak boleh dicetak ulang tanpa izin yang mempunyai hak atau penerbit karangan tersebut; sesudah 2 × 24 jam berita surat kabar tersiar, maka seseorang dapat mengambil alih dengan syarat harus menyebutkan sumbernya. Plagiarisme juga tidak mengacu ke pada hasil karya tulisan saja melainkan juga hasil karya musik, desain, dll. Tentang Penyebaran PDF Illegal. “Mengunggah PDF ilegal atas karya kami, menyebarkan tautannya, menyilakan orang lain mengunduhnya demi hiburan gratis untuk membunuh waktu, sama dengan merampas hak ekonomi kami." (Dewi Lestari 'Dee' penulis n****+ best seller 'Perahu Kertas'.) “Buat beneran yang enggak tahu, tapi terlanjur pernah nyebar PDF bajakan. Sudah stop sekarang. Jangan Teruskan. Kalau beneran enggak tahu dan stop. Kamu dimaafin, Tapi kalau terus nyebar padahal sudah tahu. Itu hati dan otakmu, sudah dimakan belatung? jadi enggak fungsi lagi,” (Boy Candra dalam akun Ig-nya) “Penerbit TIDAK PERNAH mengeluarkan buku versi PDF. Jika kamu menemukannya, maka itu bajakan, ilegal. Yang menyebarkan, juga yang membaca, berarti sudah merampas hak-hak penerbit, penulis, editor, dan semua pekerja perbukuan. Bantu kami tegur orang-orang ini." (Mediakita dalam akun Twitter–nya.) “Susah payah membuatnya, lebih dari empat tahun untuk riset saja, eh ribuan buku bajakannya berhamburan setelah launching. Pada akhirnya yang terjadi dengan saya ya menunda menulis n****+. Orang-orang bertanya, kenapa saya tidak menulis lagi? Saya nulis tapi tak beredar disini,” ujar Andrea dalam salah satu wawancaranya  dengan Liputan 6. Sanksi Hukum Penyebaran PDF Illegal. Pada Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 menyebutkan, “Setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan.” Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan hukuman untuk pembajak yaitu penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).   Sepatu hak merah yang kukenakan saat ini membuat kakiku sedikit lecet. Meskipun ukurannya tidak sesuai dengan kakiku, namun aku tetap memaksa menggunakannya. Aku ingat kalau aku tidak membeli sepatu ini, melainkan seseorang menghadiahkannya padaku. Merek terkenal dengan jumlah yang terbatas, siapa yang tak mau diberi hadiah seperti itu. Aku tidak tahu dalam rangka apa atau kenapa dia menghadiahkannya padaku. Yang aku ingat hanyalah senyuman manis dengan mata biru terpatri jelas di ingatanku. Aku berjalan di sebuah jembatan yang sepi, dengan dua jalur arah tanpa ada kendaraan apapun melintasi. Aku bingung bagaimana bisa tidak ada satupun suara klakson mobil meneriakiku dengan lantang padahal itulah alasan tempat ini menjadi ikonik. Dan juga trotoar di jalan tampak bersih tak ada koran-koran berlayangan ataupun sampah plastik menyumpat di ujung selokan. Bak seperti berada di kota luar negeri dengan sanitasinya yang baik. Aku melihat lampu-lampu neon yang menggantung di jembatan. Berwarna-warni bak pelangi, namun aku sama sekali tidak merasa gembira ataupun senang melihat kilauan cahaya itu. Justru, aku selalu merasa sedih dan muram, andai saja hidupku benar-benar berwarna seperti kilauan lampu itu, aku tidak mungkin akan selalu meminum kopi amerikano dan pil penenang setiap pulang kerja. Rasa pahitnya benar-benar mewakili diriku. Bahkan aku tidak akan bisa tidur bila tidak mengonsumsi kedua benda itu. Aku takut kalau aku akan menjadi candu dan benar-benar tidak akan bisa lepas. Namun pada akhirnya aku sama sekali tak peduli, hidupku sudah membosankan dari awal, mungkin juga melepas kebosanan ini dengan kebosanan yang lain tidak akan berpengaruh banyak dalam hidupku. Aroma cappucino dari kedai di ujung jalan membuatku ingin sekali mengunjunginya. Aku sama sekali tidak akan bisa tahan bila mencium aroma minuman itu. Caraku untuk mencegah keinginan kompulsifku untuk mengunjungi setiap toko dengan aroma cappucino adalah membawa kopiku sendiri. Dengan begitu jika aku kepingin untuk berkunjung ke toko itu. aku akan meminum kopiku sendiri dan merasakan kepahitannya. Tetapi ada yang aneh. Meskipun aromanya terasa dari ujung jalan, namun aku melihat kedai itu mematikan lampunya. Seakan-akan sedang tutup dan tak menerima pelanggan. Namun yang aneh lagi adalah di luar pintu ada beberapa orang mengantre cukup panjang hingga sampai ke 5 bangunan di sampingnya. Terasa seperti menunggu produk fashion yang akan segera launching. Melihat antusiasme para orang-orang itu membuatku makin bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang ada di dalam kedai itu. Aku menyeberang jalan, menengok ke kanan dan kiri. Walaupun aku tahu tidak ada siapapun di sana, aku hanya berusaha memastikan untuk tidak sampai terkena nasib sial. Seluruh hidupku sudah cukup sial, walau kesialan lain tidak akan berpengaruh banyak, namun aku tidak ingin masuk berita dengan judul utama yang kocak. Menjadi komoditas para jurnalis haus akan kehebohan dan keonaran. Aku juga sadar kalau di sepanjang jalan, hanya jalan ini dengan lampu jalan masih menyala dengan terang. Sementara yang lain terlihat gelap gulita dengan bayangan dan kegelapan menyeruak di sepanjang jalan. Benar-benar terasa aneh Aku menghampiri para pengantre itu dan melihat muka mereka lesu tak bertenaga. Baju mereka juga kumal dan kotor, terlihat seperti orang-orang tunawisma. Hal ini diperkuat juga dengan mereka yang mengenakan syal dan topi kupluk untuk menghangatkan badan mereka di kedinginan malam. Namun tak hanya satu, semua dari mereka mengenakan pakaian yang mirip. Saat aku memegang bahu mereka berusaha untuk berkomunikasi, mereka sama sekali tak menggubrisku. Aku menggoyangkan bahu mereka dengan sangat kencang sampai-sampai bibir dan kantung matanya bergetar hebat. Mereka pun terjatuh di jalan, tanpa mempunyai tenaga untuk berdiri lagi Mengabaikan mereka mungkin adalah jalan terbaik bagiku untuk bisa lolos dan sedikit pergi. Aku juga merasa sedikit aneh dan ngeri, mereka berdiri seakan-akan hanya sebuah manekin tanpa jiwa dan suara. Saat orang itu terjatuh pun tidak ada reaksi dari orang-orang yang mengantre tadi. Semuanya berjalan dengan sangat normal, sebentar, mungkin berjalan adalah kata-kata yang salah. Lebih tepatnya diam dengan normal Aku mengintip jendela di depan kedai, melihat sebuah tulisan “JACKKOPI” dihiasi dengan lampu neon terpampang jelas di bawah meja sang barista. Mesin kopi yang terpasang disana terlihat sedang tidak bekerja dan tidak ada campuran kopi apapun di dalamnya. Bahkan, tidak ada satu barista maupun pelanggan satupun berada di sana. Kedai ini benar-benar sedang tutup. Aku menengok ke arah antrean itu lagi dan segera berjalan ke arah yang berlawanan. Meskipun harus berjalan agak cepat sambil memakai sepatu hak sehingga tergelincir beberapa kali. Namun firasatku mengatakan kalau ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini “Eittss... Nona. Kau harus berhati-hati saat berjalan” ucap seorang pria yang hampir saja aku tabrak. Dia membawa dua buah gelas kopi dengan aroma kapucino di dalamnya. Tidak ada penutup di gelas kertas yang ia bawa, namun tidak terisi sampai penuh sehingga tidak tumpah ke bawah. Aku melihat pria ini, memakai jas dan mantel ketat dari atas ke bawah. Topi fedora itu menyembunyikan rambut klimis dan halus di depannya. Wajahnya sangat tampan dengan dagu tegas dan hidung mancung. Saat pria ini melihatku, dia langsung mengubah wajahnya yang kesal menjadi tersenyum manis. Aku tidak tahu apa yang sudah kulakukan sehingga dia bisa berganti raut wajah seperti itu “Ini untukmu” pria itu mengulurkan kopi di tangan kanannya kepadaku. “Ah... terima kasih” aku menerimanya, namun masih bingung apa yang sedang terjadi “Aku sadar kalau kau ingin pergi ke kedai kopi itu. Makanya aku membawa dua gelas kapucino yang masih hangat ini untuk aku berikan padamu” lanjut pria itu sebelum aku mencoba bertanya kepadanya. Aku kagum dengan kebesaran hatinya memberikanku kopi ini. “Kursi itu tampak sepi Sabrina. Bagaimana kalau kita duduk disana?” Ajak pria itu, “Tunggu bagaimana kau bisa mengetahui namaku?” tanyaku kebingungan. Perasaan aku belum pernah sama sekali bertemu dengan pria ini atau mengatakan identitasku kepadanya “Apakah kau mau duduk di sana bersamaku? Aku takut kopi ini menjadi dingin jika aku tidak segera menikmati pemandangan di sudut jembatan itu” ajak pria itu tidak menghiraukan pertanyaanku. Karena mencoba menghormatinya karena telah memberiku kopi ini, rasa-rasanya duduk di pinggir jembatan bersama pria tampan ini tidaklah buruk. Lagipula aku juga tidak memiliki kesibukan lain sehabis ini. Aku pun mengangguk-anggukkan kepalaku sambil berjalan ke kursi itu “Ahhh... duduk dengan diiringi sepoi-sepoi sambil ditemani secangkir kopi panas adalah perasaan paling melegakan. Bukankah begitu?” tanya pria ini kepadaku dengan senyum manis yang amat lebar, seakan-akan sudah lama sekali tidak merasakan suasana ini. Aku melihat di depan desiran ombak mengaum-ngaum dengan tenang. Namun gelap tak terlihat apa-apa hanya pantulan cahaya dari lampu berwarna-warna tadi menjadi sumber cahaya satu-satunya di laut itu  “Mungkin jika bisa memilih, mati dalam kondisi seperti ini adalah pilihan terbaik yang bisa aku dapatkan. Tanpa penyesalan dan hanya segelas kopi menjadi saksi. Tidak akan ada yang menangisi, tak ada juga yang akan mencari-cari, benar-benar kedamaian yang hakiki” ucap pria itu. dia mengucapkan kematian seolah-olah itu adalah hal yang ringan diucapkan dengan senyuman manis di wajahnya. Aku makin tertarik dengan pria ini, ada kesan misterius yang membuatku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya semenjak ia mulai berbicara “Entahlah. Aku juga tidak bisa menyalahkan angin karena membawa daun mati di jalan-jalan tandus, aku juga tidak bisa menyalahkannya bila membawa perabotan-perabotan rumah tangga dan perkakas lainnya saat ia membawa massa yang sangat banyak. Itu semua bukanlah kehendaknya, kehendakku, ataupun kehendak siapapun. Semuanya berjalan dengan apa yang takdir katakan.”  Balasku sambil menyeruput cappucino ini. Aku tidak yakin dengan kata-kataku, tidak terdengar puitis sama sekali, bahkan aku takut tidak bisa menyaingi pembicaraannya yang sangat berat. Pria itu kemudian menaruh cangkir kopinya di sebelah kursinya. Memalingkan wajahnya ke hadapanku. Aku yang memegang kopi ini dengan kedua tanganku merasa gugup, aku tidak bisa menahan menatap matanya lama-lama. Aku memalingkan mataku dengan menghadap ke bawah sambil sekali-sekali mencuri pandang ke arah kelopak matanya yang biru “Ya, benar sekali. Takdir memang seringkali berkata lain dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Bahkan aku ingat pernah berkata bahwa takdir adalah sebuah timah panas yang bisa kita bentuk dan bengkokkan sehari-hari namun juga harus berhati-hati karena jika salah menempa, kau harus mengulanginya dari awal. Itu adalah perkataan yang bodoh, padahal kenyataannya takdir lebih mirip seperti anjing liar yang mengejarmu di jalanan. Kau hanya bisa berlari meskipun pegas di kakimu berdarah-darah meninggalkan jejak di jalanan. Jika kau menoleh ke belakang sekali saja. Mungkin kau bisa melihat apa risiko yang akan kau hadapi, namun anjing itu akan mengambil kesempatan dan menerkammu dari belakang” balas pria itu dengan gestur di tangannya Aku menyadari kalau pria ini duduk semakin dekat. Kata-katanya benar-benar membuatku terkesima. Aku tidak bisa mengatakan hal lain selain kalau aku setuju dengan semua ucapan yang dia lontarkan. Aku merasa kalau aku menemukan seseorang yang sepaham dan mengerti akan diriku setelah sekian lama hidup di dunia ini. Aku sekarang tak bisa merasakan apapun di sekitarku kecuali kata-katanya yang sangat menohok hatiku. Mencoba tidak mematikan pembicaraan, aku lanjut dengan berbicara, “Ucapanmu sangat benar. Takdir bukanlah sesuatu yang kita harus takuti ataupun juga kita tidak pedulikan. Berjuang cukup keras untuk jalan hidup yang kau inginkan sudah cukup untuk mengejar takdirmu” Saat aku berbicara, pria itu memegang rambut yang ada di kupingku, menyingkapnya ke belakang dan menatap mataku dengan tajam. Aku sudah tak bisa mengalihkan pandanganku lagi, seakan-akan terjerat oleh tatapan medusa membuatku diam membatu “Kau tahu, Maut adalah kawan terbaikku” Pria itu mengecup bibirku dengan manja, aku bisa merasakan bibirnya yang halus dan manis bersentuhan langsung dengan bibirku. aku bisa merasakan nafas hangat keluar dari hidung lancipnya, membuatku semakin b*******h saat mersakannya. Kami memejamkan mata serasa berada di dalam ombak menggulung kami bersama. Aku pun membalas balik kecupan itu. Benar-benar tak kusangka, mencium orang asing adalah hal yang memenuhi hidupku selama ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD