Luna bangun lebih dulu, karena hari itu hari sabtu dan ia libur kuliah, Luna memilih mandi lebih dulu sebelum Gama bangun dan berebut dengannya. Ia tidak mau memancing pertengkaran mengingat baru semalam Luna berdamai dengan suaminya.
Luna memasuki kamar mandi, rutinitasnya seperti biasa sebelum mandi, membersihkan muka dan menggosok gigi di wastafel.
Asik menggosok gigi, Luna menatap pantulan dirinya di cermin. Fokusnya beralih pada bercak merah yang ada di leher dan dadanya. Bahkan di payudaranya pun tercetak jelas.
Blush!
Wajah Luna berubah menjadi merah tomat, ingatan tentang semalam saat Gama mencium dan mencumbunya membuat Luna malu dan geli sendiri. Mereka terlalu intim semalam.
Jantung Luna berdetak dengan cepat, perutnya juga merasa geli, ada gelanyar aneh setiap ingat kejadian semalam yang baru pertama kali ia alami.
Luna mengipas wajahnya menggunakan tangan, ia mengambil air dan menggosokkannya pada bekas merah yang Luna rasa karena perbuatan Gama semalam. Namun berusaha Luna menghapusnya, bekas merah itu masih tidak hilang. Tak putus asa, Luna mencoba menghapus bekas merah itu menggunakan facial foam miliknya, pun tak kunjung hilang.
Bingung tentu saja, kenapa bekasnya tidak hilang.
"Luna kenapa?" tanyanya pada diri sendiri.
Menyerah, Luna memilih mandi. Tak mempedulikan bekas merah itu.
Usai mandi dan mengganti pakaian, Luna melihat Gama sudah bangun terduduk bersandar di kepala ranjang.
"Om Gama sudah bangun?" tanya Luna basa-basi.
"Hm," balas Gama dengan suara serak khas bangun tidurnya.
Luna mendekat, ia duduk di tepi ranjang. Gadis itu menatap Gama dalam. "Luna diapain sama Om Gama semalam? Kenapa muncul bekas merah ini? Mana nggak bisa dihapus. Cara ngapusnya gimana?" tanya Luna dengan polosnya.
Gama tersenyum lucu melihat istri mudanya itu. Pria itu menarik Luna untuk mendekat, ia peluk Luna dari belakang.
Wangi sekali gadis ini, batin Gama.
"Bakal ilang sendiri dalam beberapa hari. Jangan lupa pake pakaian yang menutupi bekas itu kalau kamu nggak mau ditertawai sama orang yang lihat bekas ini."
Luna menoleh ke samping, melihat wajah Gama yang malah bersemayam di ceruk lehernya. Luna bisa merasakan hidung mancung Gama di lehernya.
"Kenapa orang bisa ketawa, Om?" tanya Luna lagi.
"Karena bekas ini, orang tahu apa yang kita lakuin semalam, Lun."
Luna membulatkan matanya lebar-lebar. Gadis itu berusaha lepas dari pelukan Gama, namun yang ada Gama semakin erat memeluknya.
"Hari ini saya libur kerja." Ujar Gama.
"Kenapa libur? Biasanya Om Gama libur hari Minggu?"
"Iya, hari ini dan besok libur."
"Tumben?"
"Capek lembur terus, kamu pijitin saya nanti malam, ya?"
Luna mengangguk. Kasihan Gama, suaminya terlalu keras bekerja. Sedangkan Luna enak-enakan minta uang, minta album tanpa memikirkan cari uang susah.
"Om." Panggil Luna lagi. Posisi mereka masih sama, Gama memeluk Luna dari belakang, dengan memangku gadis itu.
"Hm?"
"Luna mau kok uang jajannya dikurangin. Hitung-hitung hemat." Ujar Luna.
"Cukup emang? Kalo butuh buat belanja ke mall gimana?"
"Ya Luna kurangi kebiasaan belanja Luna."
Gama kembali tertawa renyah, merdu sekali terdengar di telinga Luna.
"Saya nggak bakal bangkrut kasih kamu jajan sepuluh juta sebulan, Lun."
"Tapi tetep aja, cari uang susah. Om Gama sering lembur, kecapekan, sering pusing juga, Luna nggak mau tinggal enak-enakan minta uang buat beli ini itu."
"Dih tumben kamu?" tanya Gama mengusuk puncak kepala Luna.
"Luna kasihan aja sama Om Gama."
"Kalo kasihan, kenapa nggak belajar mandiri? Jangan manja terus? Mulai dari hal kecil, kamu belajar masak, jadi tengah malam kalau lapar nggak bangunin saya buat masakin kamu. Tahu sendiri saya nggak ada asisten rumah tangga yang kerja nginep. Mereka cuma bantu bersih-bersih rumah terus langsung pulang, kan?"
"Ajarin Luna masak. Kalau nggak ada yang ajarin, mana bisa Luna langsung masak, Om? Kalo dapur kebakaran nanti Om Gama marah."
"Mau diajarin masak apa hm?"
"Nasi goreng dulu."
"Oke, sekarang saya ajarin. Bentar mau mandi dulu. Sekalian lah kita sarapan nasi goreng. Mau?"
Luna mengangguk mantap. "Mau!"
Gama melepas pelukannya, pria itu turun dari ranjang menuju kamar mandi. Meninggalkan Luna yang sudah malu entah kenapa.
"Luna kenapa deg-deg-an deket Om Gama?" tanyanya seraya memegang dadanya.
***
Gama memakai pakaian santainya, bawahan selutut dengan kaus longgar putihnya. Luna yang memang bosan melihat Gama selalu memakai pakaian rapi dan formal selalu terkesima kala Gama berpakaian santai. Dia terlihat jauh lebih muda.
Mereka berada di dapur, Gama menyiapkan bahan makanan yang ada di kulkas.
"Inget-inget bahan-bahannya. Nasi, sawi, kornet, bawang bombai, bawang putih, telur, saus tomat, kecap, dan jangan lupa topingnya acar, kalo nggak bisa buat acar timun biasa juga bisa." Oceh Gama.
Luna mencatat resep itu di tablet yang dipegangnya.
"Kupas dan cincang halus bawang putihnya, saya nggak pake bawang merah karena nggak suka aja. Lebih enak pake bawah putih sama bawang bombai aja untuk bumbu."
Luna mantuk-mantuk. "Luna coba potong bawangnya boleh?"
"Boleh, tapi hati-hati."
"Iya."
Gama berpindah posisi, Luna sangat fokus mencincang bawang putih tersebut teliti. Meski membutuhkan waktu lama hanya untuk mencincang bawang putih, setidaknya Luna bisa melakukannya.
Step berikutnya Luna memotong sayuran. Usai semua bahan siap dimasak, Gama menyuruh Luna berdiri di depan kompor untuk melihatnya memasak.
"Tuangkan minyak sedikit, terus masukin bawang putih sama bawang bombainya. Ini ditumis sampai layu dan harum. Setelah itu baru masukin kornet, terus terakhir sawi karena matengnya cepet. Biasanya saya pake sosis juga, berhubung persediaan sosis habis, jadi gak perlu pakai."
Luna kembali mencoba mencampur beberapa bahan itu. Terakhir, Gama memasukkan nasi. Luna mencampurnya meski susah payah. Sentuhan tambahan, Gama menambahkan penyedap rasa, garam, dan saus tomat. Tak lupa memberitahu Luna berapa ukurannya.
Akhirnya nasi goreng keduanya siap dimakan. Luna girang sekali mengingat ia tahu cara membuat nasi goreng. Peluhnya menetes tanpa sadar. Melihat itu, Gama menarik Luna untuk menghadapnya.
"Keringetan banget kamu?" tanya Gama mengusap keringat yang menetes.
Luna yang merasa suka diperhatikan begitu tak berhenti menatap wajah Gama.
Luna baru sadar Om Gama ganteng, batinnya.
"Kenapa, Lun?" tanya Gama.
"Nggak apa-apa, Om. Luna cuma mau terima kasih Om Gama mau ajarin Luna bikin nasi goreng."
"Sama-sama," balas Gama mengusuk puncak kepala Luna gemas.
Mereka sarapan dengan tenang, Luna juga merasa bangga bahwa masakannya yang dibantu Gama itu rasanya enak. Semoga saja saat ia membuatnya sendiri, rasanya akan sama seperti sekarang.
Usai sarapan, Luna mencuci piring mereka. Sedangkan Gama duduk di ruang TV seraya memeriksa pekerjaannya.
Mereka berdua membagi tugas. Asisten rumah tangga mereka izin libur hari itu. Kebetulan Gama dan Luna libur, jadi mereka berdua membersihkan rumah dengan membagi tugas. Gama yang kebetulan sudah membersihkan lantai dengan vacum cleaner lebih dulu selesai. Sehingga ia bisa bersantai.
Selesai Luna membersihkan dapur, ia membawa camilan dan menyusul Gama. Gadis itu duduk di samping Gama, bersandar di lengan Gama seraya memakan camilannya. "Om Gama sibuk?" tanya Luna.
"Enggak, ini cuma periksa kerjaan aja. Sama lihat jadwal buat lusa."
"Om, main ke mall yuk!" ajak Luna.
"Ngapain?"
"Ya main, sekalian belanja bahan makanan di supermarket mall. Luna lihat di kulkas bahan makanan tinggal sedikit. Roti juga habis. Kalo Luna laper gimana? Nanti Om Gama sendiri yang repot kalo nggak disiapin sekarang."
"Yaudah, saya ganti baju dulu."
"Bareng, Om. Luna juga mau ganti baju."
Baru saja Gama berdiri, Luna sudah naik ke atas sofa dan langsung mengalungkan tangannya pada pundak Gama. Memberi aba-aba. "Empo Luna, Om."
"Gausah usil, deh, Lun. Kamu berat."
"Om Gama ih! Ototnya dibuat apa?" sindir Luna.
Merasa egonya tersentil, Gama mengempo Luna. Istrinya itu suka sekali menyiksanya dengan menyuruh mengemponya naik ke lantai dua.
Sesampainya di kamar, Luna turun. Masuk ke walk in closet lebih dulu. "Luna dulu ganti baju." Ujar Luna.
"Jangan lupa pakai pakaian tertutup, Lun. d**a kamu masih merah itu." Balas Gama mengingatkan.
"Ulah Om Gama ini!" saut Luna dari dalam.
Gama gemas tentu saja. Gadis itu selalu membuatnya tertawa. Dengan tingkahnya, dengan kekonyolannya, meski kadang menyebalkan dan membuat Gama kesal.
***
Sebelum belanja keperluan dapur, Luna mengajak Gama untuk membeli ice cream. Karena Gama tak suka makanan manis nan lumer itu, ia putuskan untuk memesan kopi saja.
"Sebentar lagi kita ke mana?" tanya Gama menginterupsi Luna yang begitu fokus pada gelas ice cream-nya.
"Luna mau beli alat tulis yang lucu-lucu."
"Terus?"
"Ke supermarket belanja bahan dapur."
"Yaudah cepetan habisin ice cream-nya."
Luna mengangguk.
Usai mereka menghabiskan makanan, Gama membayar di kasir. Hal itu tak luput mencuri perhatian Luna.
Semua baik-baik saja sampai Luna melihat segerombolan perempuan cantik ikut membayar di kasir. Mereka tampak berbisik dan memperhatikan Gama. Luna mengernyit tak suka.
Cepat, Luna berdiri. Gadis itu menghampiri Gama, merangkul tangan Gama mesra. Menunjukkan secara terang-terangan pada segerombolan perempuan cantik yang mengantri di belakang Gama untuk membayar itu.
"Lun, kenapa nggak tunggu di sana?" tanya Gama.
Luna hanya menggeleng, gadis itu semakin merapatkan rangkulannya pada lengan Gama. Sesekali melirik sinis segerombolan perempuan yang masih mengantri di belakang mereka.
"Kamu nggak mau tambah?" tanya Gama sebelum memberikan kartunya untuk membayar.
"Nggak mau." Balas Luna jutek.
Gama bingung melihat Luna yang tiba-tiba bersikap aneh. Gama bertanya-tanya, apa dirinya membuat kesalahan yang tak disengaja sehingga membuat Luna seperti itu?
Usai membayar, mereka pergi, dan masih dengan hati dongkol, Luna semakin merapatkan rangkulannya pada lengan Gama. Menunjukkan bahwa Gama miliknya.
Di jalan, Gama yang sangat aneh dengan tingkah tiba-tiba Luna sontak bertanya. "Kamu kenapa?" tanya Gama.
"Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa tapi mukanya jutek. Pasti ada apa-apa. Kenapa, Lun? Ayo cerita."
"Luna kesel, Om."
"Iya kesel kenapa? Kalo kamu nggak bilang mana saya tahu?"
"Itu, tadi pas Om bayar di kasir. Perempuan genit yang antri di belakang Om Gama lihatin Om terus. Mana pake bisik-bisik. Ngeselin banget!" cerocos Luna.
"Kamu cemburu?" tanya Gama.
"Apaan! Nggak, kok! Cuman kesel aja, Om. Mereka nggak tahu apa Om Gama udah nikah! Om Gama itu punya Luna karena Luna istri Om, dan Om suami Luna."
Gama kembali tertawa, "Mereka nggak tahu, Lun. Kalo tahu juga nggak bakal gitu."
"Om Gama denger, ya! Zaman sekarang banyak pelakor! Luna sering denger beritanya di sosial media. Pelakor zaman sekarang kalo mau nikung itu nggak kenal tempat, dan terang-terangan. Luna nggak suka Om Gama jadi sasaran pelakor. Om Gama kan punya Luna."
"Jadi nggak mau saya diambil pelakor?" tanya Gama.
"Mana ada istri yang mau suaminya diambil pelakor, Om? Nggak ada yang mau. Luna juga istri normal kali."
"Makanya cepet laksanakan tugas kamu sebagai istri saya. Saya nggak sanggup kalau terus-terusan tahan diri. Kapan kamu siapnya?"
Luna bingung, gadis itu mendongak menatap Gama. "Siap apa, Om?" tanyanya dengan polos.
Gama menggeleng, mengusap puncak kepala Luna. "Cepet gede sana. Gak kasihan saya?"
"Luna tanya siap apa? Om Gama ambigu banget."
"Cuma mau bilang ...," Gama menggantung ucapannya.
"Bilang apa?"
"Saya masih laki-laki normal."
Semakin Luna mengerutkan kening bingung. "Ya Om Gama normal. Yang bilang Om Gama nggak normal siapa?"
"Dan saya tidak tahu sampai kapan bisa tahan."
Kesal sendiri, Luna menghentakkan kakinya. "Om Gama makin gak jelas." Sungut Luna memilih meneruskan langkahnya. Membuat Gama gemas sendiri dengan tingkahnya.
"Dasar anak kecil." Gumam Gama sebelum ia menyusul Luna dengan langkah lebar.
- To be continue -