✉ 1 || Titania Raya

1017 Words
Namaku Titania Raya. Aku adalah mantan Ratu di SMA Putra Bangsa. Meski sudah jadi mantan, aku masih punya tugas membereskan masalah-masalah berkenaan dengan SMA ini. Itu semua karena jabatanku sekarang adalah pengurus Raja dan Ratu Sekolah. Hari ini adalah hari senin. Hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang. Selain itu, hari ini adalah langkah awal bagiku untuk bergerak menjalankan misiku. Sebenarnya tugasku kali ini bukan tugas yang berat. Ini hanya soal rumor video pencemaran nama baik yang menjadikan siswa-siswi di sini sebagai objeknya. Meski begitu, aku tetap tidak boleh meremehkan masalah ini. "Selamat pagi, Raya." Seseorang menyapaku. Ia adalah Valentino, mantan Raja yang selama setahun terakhir menjabat bersamaku. Aku mengulas senyum meski wajahku tetap judes, "Pagi." Alih-alih ke kelas, aku justru langsung menuju markas. Makanya aku bisa bertemu cowok yang satu itu. Sepertinya dia juga ada keperluan hingga pagi buta begini sudah menyatroni markas. "Lo dapet tugas apa kali ini?" tanyaku basa-basi. Sepertinya tugasnya tidak lebih berat dari tugasku. "Gue dapet tugas buat ngurus anak bandel yang tinggal kelas," jawab Tino sambil berjalan ke meja kerjanya. Ah, aku menganggukkan kepala. Sepertinya tugasnya cukup sulit. Untuk mengurus anak-anak bermasalah seperti itu sangat dibutuhkan kesabaran ekstra. Kalau aku jadi Tino, aku pasti segera angkat tangan. Aku bukan tipe orang penyabar. Jadi aku tidak akan sanggup kalau-kalau diberi misi mengurus anak-anak bandel. "Lo sendiri gimana, Ray? Udah ada kemajuan?" tanya Tino yang pastinya penasaran dengan progres tugasku. Aku menggeleng. Nyatanya aku memang belum mulai bergerak. "Mau mulai gerak kapan?" Tino menatapku dengan aneh. Ia cukup mengenalku. Ia tahu bagaimana aku begitu sigap menyelesaikan tugasku. Tidak menunggu nanti-nanti. Tapi kali ini aku malah kelihatan terlalu bersantai. Aku mengedikkan bahu dan menggumam, "Mungkin hari ini. Tapi gue ada latihan renang." Tino kelihatan tidak habis pikir. "Lo kenapa begitu semangatnya buat dateng ke ekskul itu?" Aku menghela napas, "Kak Agas yang minta." Tino mengangguk-angguk dan tidak lagi berkomentar. Dia memang begitu. Kalau aku sudah membahas Kak Agas, dia akan terdiam. Barangkali dia tidak ingin cari masalah dengan cewek yang kasmaran. Bagaimana pun aku ini tetap cewek normal. Aku ingin menikmati indahnya jatuh cinta semasa SMA terlepas dari statusku yang pernah menjadi Ratu selama satu tahun di SMA ini. Juga terlepas dari misi-misi yang harus kuemban ke depannya. Aku tersadar dari lamunan singkatku saat pintu markas kembali terbuka. Aku bisa melihat Riga dan Vienna berdiri canggung di sana. Sepertinya mereka masih sungkan untuk menginjakkan kaki di tempat ini. Riga dan Vienna sibuk memandangi markas. Mereka baru berhenti mengedarkan pandangan saat bersitatap denganku. "Hallo, Kak Raya," sapa Vienna. Ia adalah Ratu menjabat tahun ini. Vienna adalah cewek aneh yang kelihatan ringkih. Kulitnya terlalu pucat. Rambutnya kelewat panjang dan sering berantakan tertiup angin. Tapi satu fakta yang membuatku tercengang adalah Vienna itu anak dari bos besar preman-preman di kota ini. Bahkan kudengar kalau papanya adalah seorang mafia. Bukankah itu luar biasa? Vienna duduk di kursi di hadapanku. Di samping Vienna, ada Riga yang sudah duduk dengan santai. Aku menghela napas melihat tingkah cowok itu. Riga adalah anak manja. Lahir dari keluarga kaya membuatnya tidak pernah hidup susah. Jadi akan kupastikan ia akan mendapatkan berbagai macam kesulitan selama bekerja sama denganku. "Jadi apa yang harus kami lakukan?" tanya Riga yang berhasil membuat lamunanku buyar. Aku mengetukkan jariku ke meja. Benar, aku belum memikirkan tugas apa yang harus mereka lakukan untuk membantuku menyelesaikan misi. Aku sebenarnya merasa keberatan kalau harus memberikan mereka pelatihan menangani misi. Mereka kemungkinan besar akan merepotkanku. Jadi tugas apa yang harus kuberikan pada mereka sebagai permulaan? Akhirnya sebuah ide terlintas di otakku. Aku mengulas senyum, "Tugas pertama kalian adalah kumpulin semua video pencemaran nama baik yang udah kesebar di kalangan SMA Putra Bangsa. Pastikan kalian dapatkan semua videonya." Riga dan Vienna mengangguk ragu. Sepertinya mereka ingin protes. Padahal tugas yang kuberikan tidak seberapa beratnya. "Oke, kan?" tanyaku memastikan. Vienna mengangguk lemah, "Bisa, Kak." Aku menggerakkan daguku ke arah Riga, "Lo gimana?" "Oke, gue terima tugas dari lo," ucap Riga setelah kelihatan berpikir cukup lama. Aku mengangguk puas dan beranjak dari kursiku. Aku menoleh pada kedua anak didikku sekali lagi. Aku memberi izin pada mereka untuk meninggalkan ruangan ini. Riga dan Vienna langsung ngacir begitu saja. Sepertinya mereka sangat menantikan kebebasan. "Ray," panggil Tino membuat fokusku teralih dari Riga dan Vienna. Aku menaikkan sebelah alisku sambil bertanya, "Kenapa?" "Lo bakal dibantu Kak Langit, kan?" tanyanya sekadar memastikan. Kak Langit yang dimaksud Tino adalah mantan Raja dua tahun di atasku. Aku mengangguk malas. Tiba-tiba saja aku merasa tidak berselera menyelesaikan misi ini. Entah kenapa, aku tidak pernah nyaman bekerja sama dengan Kak Langit. Sudah beberapa kali aku dan Kak Langit kebagian tugas yang sama. Aku tidak tahu kenapa aku sebegitu tidak nyamannya. Kurasa semua itu karena sikap Kak Langit yang kadang aneh dan tidak tertebak. Entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikannya. Sejujurnya semua pengurus Raja dan Ratu Sekolah itu memiliki kepribadian yang aneh. Termasuk aku dengan kepribadianku yang mengesalkan ini. "Kenapa sih lo selalu kelihatan males kalau berurusan sama Kak Langit. Ada masalah?" Tino sepertinya makin kepo. Aku mengedikkan bahu tak acuh sambil membalas, "Gue cuma ngerasa nggak nyaman." "Gue rasa Kak Langit ada rasa sama lo," ujar Tino dengan suara rendah. Aku mendelik tajam ke arahnya. Kurang ajar sekali dia ini! "Kenapa lo ngomong gitu?" tanyaku sedikit murka. Tino meneguk ludahnya. Ia kelihatan mengkeret. Aku berdecak kesal dan segera mengambil tas lalu pergi meninggalkan markas. Ya, aku memang sepemarah itu. Bahkan semua sudah tercetak jelas di wajahku kalau aku memang sejudes itu. Aku keluar dari markas dan langsung menuju ke kelas baruku. Ah, aku lupa. Aku belum tahu pembagian kelas untuk tahun ajaran ini. Kuputuskan untuk berjalan ke mading sekolah. Kemungkinan besar aku akan mendapat informasi pembagian kelas di mading itu. Aku berjalan cepat mendekati papan mading. Setelah sampai di sana, aku agak cengo. Sial, kenapa banyak sekali siswa yang berdesakan di depan papan mading? Sepertinya aku harus menunggu beberapa saat agar kerumunan itu terurai dan aku bisa mengecek di mana kelas baruku. Aku memilih menepi dan bersandar di pilar tak jauh dari papan mading. Aku menunduk agar tidak banyak orang yang mengenaliku. "Kamu di kelas 11 IPS 2," ucap seseorang yang berdiri di hadapanku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD