Satu

1165 Words
Evan Anggara, pria berusia tiga puluh satu tahun yang sehari-hari berprofesi sebagai pelayan restoran sekaligus public relationship. Selain melayani pelanggan dia juga mencoba menyapa para pelanggan yang datang untuk makan di restoran tempatnya bekerja. Karena itu tak jarang dia akrab dengan beberapa pelanggan tetap dari restoran yang berada di bilangan Jakarta. Restoran berlantai dua itu hampir mirip dengan restoran kebanyakan, bernuansa hitam dan merah, dengan lampu redup yang membuat hangat. Berbeda dengan lantai satu yang merupakan no smocking area, lantai dua justru di peruntukkan bagi pelanggan yang ingin bebas merokok, apalagi jendela lantai yang dibuka lebar-lebar. Angga sudah sejak awal restoran dibuka lima tahun lalu, berada disana. Secara fisik bisa dianggap sempurna. Postur tubuh ideal dan tinggi. Warna kulit putih yang terawat, tak ada bulu halus seperti kumis atau jenggot yang dipelihara di wajahnya. Bukan tipe pria berbadan kekar, justru tubuhnya menjulang tinggi tanpa roti sobek di perutnya. Bukan pecandu alkohol juga bukan perokok, tidak bertindik dan yang pasti sangat ramah. Makanya tak jarang banyak wanita, yang berasal dari berbagai kalangan dan usia, dari remaja yang masih sekolah, mahasiswi, atau karyawati kantoran yang betah berlama-lama makan disana dan berbincang dengan Angga. Angga selalu hapal dengan pelanggan tetapnya, sama seperti wanita pendiam yang memilih merokok sambil memesan kopi hitam pekat di lantai dua. Tampak sekali wanita itu mempunyai beban berat dari caranya menghembuskan nafas. Tak biasanya wanita itu murung, bahkan sebenarnya wanita yang biasa makan di tempatnya itu selalu ceria, sering datang bersama teman kerjanya yang juga bekerja di hotel. Angga tahu dari seragam yang mereka kenakan, belakangan Angga diberi tahu bahwa wanita itu bernama Viera dan bekerja sebagai manajer hotel tak jauh dari restoran. Mungkin Viera memang tak terlalu suka makan di hotel tempatnya bekerja, hingga seringkali dia berada disini. Jika sendirian, Viera biasanya selalu memegang laptop dan mengerjakan beberapa pekerjaan atau sekedar menonton video dari channel youtube, bukan seperti ini yang sejak tadi melamun saja. Rambut panjangnya lurus tergerai, blazer dan rok mini berwarna hitam, kulitnya mulus dan dia tak mengenakan stocking, dengan stilleto berwarna hitam senada dengan pakaiannya dan kemeja putih seperti biasa. Mata bulatnya tampak sendu dan entah kenapa bibirnya yang biasa sensual kini tampak pucat. Angga memantapkan diri untuk menemui Viera, bukankah sudah biasa dia menyapa para pelanggan? Angga duduk di depan Viera, Viera menoleh ke arah Angga dan kembali menghisap batang rokok mentolnya. "Kenapa, wajahnya terlihat murung?" tanya Angga tanpa basa basi. "Bukan urusan kamu!" jawab Viera ketus, Angga mengulum senyumnya. "Sendirian? Apa karena sendirian jadi kelihatan murung?" "Kamu lihatnya aku sama beberapa orang? Memangnya anak kecil kalau sendirian murung?" cebik Viera, meski ketus namun tak memudarkan kecantikan wajahnya. "Mau cerita sesuatu? Barangkali aku bisa meringankan beban kamu?" Viera menghisap rokok itu, menghembuskan dengan kasar, dan mematikan rokok dengan menekannya pada asbak. "Aku hamil, dan aku nggak bisa menikah dengan lelaki yang menghamiliku," Viera menenggak kopinya, mengambil batang rokok baru dari bungkusnya, berniat membakarnya lagi namun Angga mencegahnya. Menggeleng, tak membiarkan Viera menghisap rokok itu, bukankah bahaya bagi janinnya?  Viera mendesah kesal dan memasukkan rokok itu kembali. Angga mengambil rokok dan pemantik wanita itu, mengantunginya agar Viera tak lagi menghisapnya. Lancang? Terserahlah, dia hanya tak ingin ada janin tak bersalah yang terluka, setidaknya tidak di hadapannya. "Kenapa? Dia beristri?" tanya Angga lagi. "Kita berbeda, ya se-b******k apapun aku, aku nggak mau pindah keyakinan, lagi pula orang tua dia tak akan setuju," Viera menenggak kopi itu lagi, Angga ingin mencegahnya namun terlambat. Kopi hitam itu telah tandas meluncur ke tenggorokan Viera menuju perutnya. "Dia tahu? Kamu mengandung?" Viera menggeleng, sejujurnya dia telah mencoba meminum berbagai pil dan sebagainya, namun janin ini sangat kuat. Mengambil langkah legal dengan mendatangi dokter justru hanya membuatnya dimaki karena para dokter itu tak mau membunuh bayi tak berdosa. Mereka menyarankan Viera untuk melahirkan saja bayinya dan jika tak mau merawatnya, bayi itu bisa ditaruh di panti asuhan. Viera menolak keras. Hidup di panti asuhan tak enak! karena dia merasakan tumbuh dan besar disana, tak ada yang menyenangkan saat hidup harus berbagi berbagai hal dengan anak lainnya, belum lagi perlakuan salah satu pengurus panti yang selalu memarahi tingkahnya. "Terus selanjutnya kamu mau apa?" "Sepertinya aku mau cari pijat alternative, yang bisa meluruhkan kandungan ini, mumpung belum terlalu besar, paling baru beberapa minggu," ucapnya putus asa. Menebak usia kandungannya sendiri karena demi apapun dia malas sekali menghitungnya apalagi jadwal menstruasi nya memang tidak teratur. "Jangan, kamu tidak boleh membunuhnya!" Angga memberi tatapan tajam pada Viera. "Ya lalu aku harus apa! Membesarkannya seorang diri? Aku tidak peduli apa pandangan orang terhadap ku! Tapi bagaimana pandangan mereka terhadap bayi ini nanti! Bukan berarti aku sayang sama janin sialan ini! Aku hanya... aku nggak mau dia mengalami yang aku alami," Angga memberanikan diri memegang tangan Viera yang bergetar, meski kesal namun Viera masih bertahan untuk tidak meneteskan air mata. "Kita cari jalan lain," ucap Angga penuh keyakinan. "Jalan yang bagaimana?" tanya Viera kembali, Angga pun tak mengerti jalan apa yang harus Viera tempuh untuk bayi itu. "Kamu mau jadi ayah dari bayi yang aku kandung?" tanya Viera. Angga sedikit menimbang dan mengangguk mantap. "Ya aku mau," ucapnya, Viera melepaskan tangan Angga yang masih memegang tangannya, mengambil kartu nama yang memang selalu ada di saku bajunya dan meletakkan di meja. "Hubungi aku jika berkas - berkas untuk pernikahan telah siap. Jika memang mau menjadi ayahnya, kamu harus mau menikah denganku." Viera berdiri, Angga mengambil kartu nama itu dan ikut berdiri. "Ya tentu aku akan menikah denganmu, aku akan persiapkan semuanya, kamu hanya duduk manis dan ingat, jangan merokok lagi, aku tidak mau anakku kenapa - kenapa karena perbuatan kamu," ucapnya tegas. Viera tersenyum miring, anak darimana? Menaruh saham di rahimnya pun tidak! Namun pikiran Viera terlalu lelah untuk berdebat masalah itu, cukup dia mempunyai ayah dari sang bayi dan dia tak perlu memikirkan hal lain. Masalah pernikahan, atau keseharian setelah menikah, dapat di bicarakan nanti. Viera meninggalkan Angga yang masih mematung, Angga menyimpan nomor telepon Viera dari ponselnya dengan tulisan 'My Wife,' bibirnya tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Aku sudah menepati janji kecil kita kan Era? Menikahimu, meski caranya berbeda." Angga memasukkan kartu nama Viera dalam sakunya dan berjalan menuju pantry sambil membuang bungkus rokok yang tadi dia sita dari Viera. Ingatannya melanglang buana pada dua puluh lima tahun silam, saat dia di adopsi dari panti asuhan oleh orang tua angkatnya, Viera kecil menangis karena mereka adalah sahabat dekat. Mungkin Viera tak ingat, namun Angga selalu ingat mata bulat wanita itu, hal yang membuatnya langsung mengenali Viera saat pertama kali bertemu, tak jauh dari restoran, dan hal itu pula yang membuat Angga membuka restoran di daerah ini, agar dapat sering melihat Viera. Meskipun dia tak mempunyai keberanian mendekati Viera karena suatu hal. Ya hanya Angga dan para karyawan yang tahu, bahwa sebenarnya dialah pemilik restoran, bukan pelayan seperti yang disangka oleh semua orang. Dan dia memang tak mau ada yang tahu, dia cukup senang menjadi pelayan dan public relationship. Dengan begitu dia bisa sering melihat Viera, cintanya sejak kecil, gadis yang pernah dijanjikan akan dinikahinya, dan tak berapa lama lagi dia akan menikahi wanita itu. *** bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD