Pertemuan Pertama dengan Firman

1089 Words
"Menurutmu, Tuhan itu benar-benar ada?" "Pertanyaan macam apa itu? Di sebuah gereja?" Sepasang laki-laki dan perempuan, yang duduk berhadap-hadapan di salah satu meja yang berada di lapo. Mereka belum terikat dalam sebuah hubungan. Entah hubungan pernikahan maupun hanya berpacaran. Bahkan, keduanya baru kenal sejak minggu lalu. Tepat di hari minggu Advent pertama. Akan tetapi, gaya mereka berdua ini seperti sudah sama-sama mengungkapkan perasaan masing-masing saja. "Ah, sudahlah, Grey--" "Kalau sebut namaku susah, Zia saja panggilnya, Man." "Eh, i-iya, Zia," ujar Firman kikuk. "Y-ya, aku--kalau lagi mumet, yah, begini, suka mikir ke mana-mana. Kalau bahasa gaulnya suka overthinking." "Kamu lucu." Greyzia tergelak. Firman tersipu malu. Greyzia bangkit dari tempat duduk dan menghampiri ibunya Firman Tambunan yang bertugas sebagai kasir sekaligus koki di lapo ini. Ujar Greyzia, "Tante, pesanan saya sudah selesai dibikin?" Ibunya Firman menyerahkan kantung kresek berisi sepuluh lapet dan sayur singkong. "Berapa, Tante?" tanya Greyzia, yang bersiap mengeluarkan uang dari dompet. "Genapkan saja, Grace, jadi seratus ribu." jawab ibunya Greyzia, Tiur, tersenyum. "Jadi rugi, dong. Nggak enak saya, Tante." "Ah tak apa, Grace. Anggap saja kado Natal. Keistimewaan buat teman--eh, bestie-nya Firman." Ibu Tiur tertawa terbahak-bahak yang cukup menggelegar. Saat mengucapkan 'bestie' pun, itu terkesan sedang merundungi Greyzia dan Firman. Ibu Tiur itu seperti sedang beranggapan bahwa hubungan Greyzia dan Firman itu bukan sekadar hubungan pertemanan. Mungkin lebih mirip hubungan tanpa status atau teman-tapi-mesra. Seolah-olah pula Ibu Tiur ingin sesuatu lebih dari hubungan Firman dan Greyzia yang masih tergolong belia. Rona wajah Greyzia memerah muda. Ia sedikit menundukkan kepalanya. "Yang sabar sama Firman itu, Grace. Suka gitu orangnya. Suka asal kalau ngomong. Tapi, hatinya baik. Luarnya saja seram. Hatinya itu seperti si Rinto itu. Tahu Rinto Harahap, kan?" ujar Ibu Tiur, yang makin terlihat niatnya apa. Sebetulnya Greyzia sudah mulai membaca situasinya. Hanya membaca gelagat Ibu Tiur, dan bukan gerak-gerik Firman. Di mata Greyzia, Firman itu sosok pemuda Batak yang bersahabat, berwawasan, dan, hmmm, Greyzia nyaman berada di dekat Firman. Meskipun Firman lebih tua dari dirinya. Firman tahu ia sedang dibicarakan. Ia hanya tersenyum dan malah sok menyanyikan sebuah lagu dengan suara yang kurang begitu dibilang bagus. Lagu yang Firman nyanyikan adalah salah satu lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap. "Seindah rembulan, hati yang berbunga-bunga. Seterang mentari pagi, hatiku. Seindah rembulan, di malam hari. Tersenyum seluruh tubuhku." senandung Firman. "Jelek kali suaramu, Firman." ledek Ibu Tiur. "Jelek-jelek begini, anak Mamak, aku ini." semprot Firman. Greyzia hampir saja mau meledak dalam tawa, yang menyaksikan pertengkaran antara ibu dan anak. Ia lalu izin ke Firman dan Ibu Tiur. Kata Firman nyengir, "Nanti main lagi ke lapo Mamak aku ini, Zia. Kamu kan katanya suka lapet, bikinan Mamak yang paling the best." "Iya, iya," ujar Greyzia tersenyum. "Yah, udah, aku mau balik ke rumah dulu." "Naik apa?" "Ojek online aja. Ini mau order." Greyzia segera mengambil ponsel dan membuka aplikasi daring. "Apa mau kuantar?" "Nggak usah. Aku naik ojek online aja. Lagian udah dapet kortingan dari mama kamu, kamu anterin aku ke rumah, aku jadi tambah nggak enak." Oh, yah, udah, lah. Hati-hati aja kalau begitu." Firman dan Greyzia tidak sadar bahwa obrolan mereka itu sedang disimak oleh Ibu Tiur dan tiga orang asistennya. Ibu Tiur tersenyum sembari menggelengkan kepala. Ibunya Firman itu senang melihat anak nomor duanya itu terlihat betapa asyiknya mengobrol dengan teman yang berlawanan jenis dengan Firman. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, awal mula Firman dan Greyzia saling berkenalan itu sejak minggu lalu, tanggal 3 Desember. Yang tidak disengaja. Minggu lalu, begitu selesai kegiatan sekolah minggu, karena kasihan pula, Greyzia menemani salah seorang murid sekolah minggu ke lapo yang dimiliki oleh keluarga Firman Tambunan. Muridnya itu terlihat gelisah nan bingung. Sebenarnya itu hal yang maklum. Sebab murid sekolah minggu itu memang masih duduk di bangku kelas 3 SD. "Yah, udah, Kak Zia temenin aja. Kayaknya kakak tahu di mana posisinya. Daripada kamu nyasar, kasihan juga sama kedua orangtua kamu." begitulah yang Greyzia ucapkan ke murid sekolah minggu yang kebingungan mencari tahu keberadaan orangtuanya, padahal ibunya sudah menghubungi dan menyuruh murid sekolah minggu itu untuk ke lapo dekat gereja. Walaupun demikian, tetap saja, pada kenyataannya, Greyzia tetap bertanya ke beberapa orang. Lapo itu sendiri berlokasi di tempat yang tidak terlalu kelihatan khalayak. Yang sedikit terpencil. Hanya orang-orang tertentu, yang mengetahui keberadaan lapo tersebut. Maksudnya, hanya yang beretnis Batak, atau setidaknya menyukai kuliner khas Tapanuli. "Eh, Zia," Greyzia menengok ke arah lapo itu lagi di sela-sela menunggu sopir daring itu datang. "Ini, ketinggalan." Firman menyerahkan buku tipis yang biasa disebut sebagai warta jemaat. Asisten Ibu Tiur berdeham-deham menggoda. Firman balas memelototi. Greyzia agak salah tingkah. Perempuan Tionghoa itu mulai merasa ada yang janggal. Mungkin pikirnya, ah, itu kan hanya sebuah warta jemaat. Tidak perlu dikembalikan juga tidak apa-apa. Toh, untuk minggu depan, Greyzia masih mengikuti kebaktian minggu di gereja ini juga. Namun, tetap saja Greyzia menerima pemberian Firman tersebut. Sopir daring itu sekonyong-konyong tiba. Setelah memastikan penumpangnya memang yang tertera di aplikasi, si sopir menyerahkan helm ke Greyzia. "Hati-hati, yah, Zia." kata Firman tersenyum tipis, yang setipis usaha pendekatan cintanya yang bisa saja tak terlihat oleh Greyzia. Maklum saja. Firman teramat jarang mengobrol dengan perempuan. Ia lebih sering bercengkerama dengan sesama pria. Itu bahkan sejak Firman masih pelajar sekolah dasar. Entah mengapa Greyzia merasa ada yang dalam dirinya. Ia seperti mendengar suara-suara kencang nan berisik saja. Apa itu sebetulnya detak jantungnya, yang berirama tak biasanya? Namun, memang boleh untuk bisa jatuh cinta, padahal belum mengenal cukup akrab? Sembari naik ke atas jok motor (yang dengan hati-hati), Greyzia berkata, "Iya, makasih, yah. Eh, bilang juga ke mama kamu, lapet buatan mamamu enak banget. Makanya mama nyuruh aku pesen lagi hari ini." "Orangnya denger sendiri, kok. Iya, kan, Mak?" Ibu Tiur tergesa-gesa berjalan menuju gereja dengan dalih hendak ke toilet gereja. Greyzia tertawa terbahak-bahak. "Mamak-ku itu memang begitu, Zia. Ada-ada saja kelakuannya." Greyzia hanya membalas kata-kata Firman itu dalam hati, 'Ah, kamu juga, kok, Bang. Satu keluarga mungkin lucu menurut aku. Pantes sih, lapo-nya rame.' Tiba-tiba saja ponsel Greyzia berdering. Dari mamanya Greyzia, Ibu Kezia. "Kok belum pulang, Zia? Padahal ibadahnya tadi udah selesai lumayan lama." "Iya, ini baru mau pulang. Ngantri dulu tadi, Ma. Banyak yang mesen." Bersamaan dengan itu, terbit sebuah notifikasi dari salah seorang teman Greyzia. Temannya itu hanya mengirimkan ucapan selamat hari minggu dan selamat hari Advent. "Yesaya 9:6 Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Selamat hari minggu. Dan, selamat Advent kedua juga. Tuhan Yesus memberkati."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD