03. Distrik Nor

2111 Words
Cakra terbangun dengan rasa sakit di pergelangan kaki dan tangannya, ia mendapati dirinya tengah terbaring di atas tanah berbatu halus dengan tangan dan kaki yang terbelenggu rantai. Samar, ia seperti mendapati dirinya berada di bak mandi, namun anehnya ia tidak merasa kebasahan.  Akan tetapi,di satu waktu ia merasa seperti ditenggelamkan. Ia juga tidak merasa kedinginan namun di lain waktu tulangnya seperti ditusuk seribu jarum kecil, jarum yang pernah ia rasakan dulu sewaktu kecil. Sakit Ia berpendapat mungkin inilah rasa sakit kematian, tiada yang lebih menakutkan dari pada kematian itu sendiri. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya berusaha membuka diri dari belenggu, menarik tangan dan kakinya agar dapat keluar dari lubang rantai yang terlingkar ketat. Sekuat apapun ia mencoba, sekuat itu pula seribu jarum kecil menusuk penopang badannya, tak ada yang terlewati, bahkan tengkoraknya ikut nyeri. Ia pun berteriak. Ia mengangkat badannya setegak mungkin, namun ia hanya berhasil mengangkat kepala dan sedikit bandannya, membentuk sudut kurang dari tiga puluh derajat. Kemudian Cakra mengedipkan matanya berkali-kali, mengharapkan ada cahaya yang dapat membantunya melihat. Namun ia sangsi, apakah gelap yang membutakannya atau memang dirinya dibuat buta oleh kematian. Akan tetapi semenit kemudian asanya tercapai. Entah bagaimana caranya, ia dapat melihat, walaupun pandangannya kabur. Bukan! Melainkan gelap, gelap yang bisa ia liat, yang secara teori ilmu fisika tentu takkan terjadi. Karena, seharusnya manusia dapat melihat berkat adanya rambatan radiasi elektromagnetik yang kasat mata. Tapi yang ia alami menyalahi hukum fisika yang selama ini ia pelajari.  Ia mencoba memutar lehernya ke kanan dan ke kiri berharap dapat menemukan petunjuk di mana ia sebenarnya berada. Namun pandangan gelap itu hanya memberikan sedikit sketsa, ia menebak dirinya berada di ruangan kecil, berdinding tanah layaknya goa penghuni manusia purba yang pernah ia liat dalam film-film dokumenter.  Namun anehnya goa itu terpahat rapi, bahkan seperti dibuat bukan terbentuk. Kemudian Cakra mencoba mengayunkan kepalanya ke sebelah kiri bawah, dan yang ia temui, seperti jurang. Begitu juga dengan sebelah kanannya. Ia sedang berada di sebidang tanah kecil seukuran tubuhnya, dan ia dikelilingi jurang yang tak berujung. Sontak ia menjerit ketakutan, memanggil segala macam nama tuhan yang pernah ia tahu. Berharap salah satu diantarnya dapat menariknya dari entah apa namanya ini. Mungkinkah ini semacam tempat persinggahan, sebelum akhirnya ia diputuskan akan mendapatkan kehidupan yang abadi di neraka ataupun surga. Karena yang ia tahu, hanya dua itu saja, dan keadaan di sini bukanlah neraka, apalagi surga. Namun usahanya sia-sia, ia memutuskan untuk kembali menyenderkan kepala. Belum sempat tulang parietal-nya menyentuh tanah tempat ia telentang, perlahan-lahan matanya dapat melihat secara sempurn, Dengan mudah ia mengenali ruangan tersebut.  Seketika Cakra kalut, bingung, dan merasa aneh. Bukan karena ia sedang berada di jeruji besi, melainkan ia dapat melihat dengan jelas ruangan itu tak disinari oleh cahaya apapun. Ia juga melihat bahwa ruangan tempatnya terbelenggu memiliki pintu yang terletak tiga meter di depannya, dan pintu itu terbuat dari besi.  Jurang yang tadi ia lihat ternyata hanyalah ubin besi hitam, dan yang semula ia kira ia terbaring di atas tanah, ternyata itu adalah meja. Meja yang dipakai oleh manusia pada zaman Megalitikum. Bukan itu saja yang aneh, karena kecurigaannya terbukti. Ia berada di dalam ruangan yang penuh dengan air, namun ia dapat bernafas dengan mudah. Ia juga tidak merasa air tersebut membasahinya, bahkan saat ia teriak, tak ada satupun air masuk ke dalam mulutnya. Terbesit untuk menjerit kembali namun terhentikan, pintu besi tiba-tiba berderit. Kemudian bergerak ke atas, masuk kelangit-langit. Cakra kembali menyipitkan matanya, memusatkan perhatian penuh terhadap pintu besi hitam pekat tanpa ornamen apapun. Sekali lagi ia berusaha untuk melepaskan belenggu tersebut, namun usahanya masih belum menghasilkan.  Pikirnya Tuhan sedang bersenda gurau, teringat potongan adegan film thriller yang sering ia tonton, adegannya persis seperti yang sekaran ia alami. Di mana, seorang sandera berusaha lari sekencang-kencangnya, saat ruangan yang menguncinya tiba-tiba terbuka. Tanpa curiga sang sandera lari dengan kencang, berharap ia dapat bebas. Namun yang terjadi sebaliknya, sang pembunuh memang sengaja memancing korban. Sang pembunuh bermain dengan ketakutan korban, bersenang-senang atas depresi yang dialami korban, mengolok-olok harapan korban. Sejurus kemudian si pembunuh memangsa korbannya.  Cakra tak ingin gegabah, lagipula keadaanya memang tak memungkinkan untuknya kabur dari ruangan tersebut. Malah ia berharap kematian ini tak membuat dirinya merasakan apapun. Tak lama Cakra mendengar suara kaki, melangkah pelan dengan hentakan tegas. Setiap bunyi langkah beriringan dengan jantung Cakra yang bergedup.  Oh saatnya penghakiman!  Cakra terbaring pasrah, mengupayakan dirinya agar terlihat tidur lelap, berharap apapun yang ia lakukan semasa hidup tak membuat dirinya berada pada kesengsaraan. Alunan langkah kaki terdengar semakin mendekat, membuat roma tengkuknya bergetar tajam.  Ingin sekali Cakra menolehkan kepalanya ke sumber suara, mengintip mahluk apa yang berhasil membuatnya berada pada taraf ketakutan level atas. Ia tak pernah merasakan hal yang semenakutkan seperti sekarang ini. Rasanya lebih menakutkan saat ia diciduk oleh polisi, karena menjadi biang kerok pertarungan antar pelajar. Rasanya juga lebih menakutkan saat ia mencoba segala macam tantangan. Apakah itu tantangan fisik, maupun psikis. Tak ada tantangan apapun yang pernah membuatnya takut.  Ia pun mengerti alasan dasar ketakutan bagi seseorang adalah, karena saat manusia berada pada keadaan yang mereka tak tahu apa yang akan terjadi. Tak mempunyai gambaran, pandangan, dan juga landasan akan apa yang akan mereka alami. Ditambah, mereka tidak mempunyai persiapan untuk menghadapi ketakutan itu. Tak ada risiko yang dapat mereka kalkulasikan, dan membawa ketakutan pada dua pilihan. Perasaan lega karena ketakutan yang ia rasakan sama sekali bukan ancaman, atau kengerian yang tak tergambarkan. “Bangun!” dengar Cakra ketika langkah kaki tak lagi terdengar, tergantikan suara tenor sedikit cempreng yang menyerunya untuk bangun. Cakra tak membalas respon tersebut. Ia tetap meyakinan pria bersuara tenor tersebut bahwa dirinya masih belum terjaga. “Kamu mau bangun sendiri atau saya bangunkan paksa!?” ancam suara itu lebih tinggi. Terrsirat rasa kesal dan jengkel yang keluar dari mulutnya, atau apapun itu organ pria itu untuk menghasilkan suara. Apapun ancaman orang itu, tak membuat Cakra gentar. Ia masih terkujur kaku, bahkan berusaha membuat suara degup jantungnya tak terdengar.  Namun usahnya sia-sia, bukan pengabaian yang ia dapatkan. Melainkan rasa geli di tangan, dan menjalar keseluruh tubuh yang diikuti rasa kebas serta nyeri yang dihantarkan oleh seluruh saraf dibagian bawah kulitnya ke otak. Menghasilkan teriakan yang keras.  Cakra memekik. “Aduuuuh....!!” ia merasakan aliran listrik diseluruh tubuhnya, sengatan itu sungguh membuatnya ngilu dan nyeri disaat yang bersamaan. Ia tersentak dan langsung menoleh pada pelaku.  Cakra melihat seorang pria ras kaukasoid berwajah lancip dengan kulit cerah pucat terbaluti pakaian serba hitam. Pakaian itu seperti baju kurung menutupi seluruh tubuhnya, hanya menyisakan bagian kepala yang dirimbuni rambut panjang lurus tipis sepinggang dengan warna perak pucat. Matanya menatap Cakra tajam, tersirat ada ancaman dan ketakutan yang terpancarkan. Bibirnya tipis berwarna pink cerah.  Pria tersebut cantik dan tampan dalam waktu yang bersamaan, Cakra saja sangsi bahwa orang yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria. Kalau saja orang itu tidak bersuara dan mempunyai otot kuat yang tercetak di balik pakaiannya, serta betuk tubuhya yang sangat maskulin. Ia yakin bahwa orang itu adalah wanita, wanita yang cantik dan menarik. Wanita yang sangat masuk ke dalam kriteria wanita idaman bagi Cakra.   Namun kenyataannya, orang tersebut adalah pria yang sedang mencoba menodongkan tombak sepanjang tongkat basesball. Namun tongkat itu tidak tebal, melain seperti tongkat untuk orang yang mempunyai keterbatasan dalam berjalan. Dari ujung tongkat itu ia melihat sedikit percikan listrik berwarna putih kebiruan.  Cakra berusaha menahan rasa perih yang dihasilkan dari alat tersebut, setelah berhasil mendarat ditubuhnya. Kini, ia berusaha bergerak walau tubuhnya masih terasa ringan dan seperti ada gelombang halus yang mengayunkannya. Rasa sesak juga masih ia rasakan, walaupun tidak seperti beberapa waktu lalu. Ia pun masih merasa bahwa ruangan ini penuh dengan air.  “JANGAN COBA BERGERAK!” ancam pria tersebut sambil menodongkan tongkat listrik di tepat di depan wajah Cakra. “Siapa kamu?” lanjutnya kemudian. “BANGKAI! HARUSNYA ELU TAU SIAPA GUE! LU KAN YANG BAWA GUE KE SINI! INI DI MANA? NERAKA? TEMPAT PERSINGGAHAN SEBELUM KE NERAKA? HA??” Cakra sudah tidak peduli, rasa ketakutannya membuat ia lebih agresif. Mengaktifkan mode serangan, dan dari sikapnya itu ia mendapatkan sekali lagi hadiah aliran listri disekujur tubuhya. Kali ini lebih menyengat dari pada sembelumnya.  Tubuh Cakra mengejang dan bergetar. “Sekali lagi saya tanya kamu siapa!!” “SAKIIIT!!!” Cakra masih berusaha melawan, menyingkirkan rasa perih, ia defensif. Dan sekali lagi rasa sengat menggeranginya, kali ini lebih kuat daya yang ia terima “Aaaargh!! Saya Cakra Abiyoga, anak Pak Adipramana dan Ibu Diajeng Pramudhita Rahayu!” ucap Cakra kesal, ia menyerah. Namun sepertinya bukan jawaban itu yang orang itu inginkan, karena sekali lagi Cakra merasakan aliran listrik mencapai otaknya. “WOOOI!! MAU LU APA BANGKE!!!” “Katakan kamu ini siapa? Jangan bermain-main!” “GUE UDAH BILANG! GUE CAKRA CUMAN ANAK MANUSIA BIASA YANG BARU LULUS SMA! LU MAU APA!!? BUKANNYA HARUSNYA LU YANG LEBIH TAU GUE SIAPA!!!” Cakra tak dapat menahan diri untuk tidak memaki. Ia merasa tak adil, karena tak dapat membela diri dan mengahajar pria pucat itu. “Kamu bukan manusia! Manusia tidak akan bertahan hidup dengan hantaman ombak seperti itu, ditambah karang itu beberapa kali hancur saat ombak menambrakmu ke karang! Jadi sekali lagi jawab yang jujur siapa kamu!” “Guee... gue cuman anak biasa, saya minta maaf kalau semasa hidup saya banyak berbuat salah, tapi tolong... jangan membuat saya bingung! Kalau mau masukin saya ke neraka langsung saja kenapa saya harus diinterogasi seperti ini?” ucap Cakra memelas. Ia sudah tidak dapat menyembunyikan rasa takutnya. Ia bingung, kenapa perasaan takut masih merasukinya, bukankah dunia kematian tidak mengenal rasa takut dan tak dapat menolak? “Kamu tadi tidak mendengarkan ucapan saya? Manusia tidak mungkin selamat dari hantaman sekencang itu. Harusnya tubuhmu yang hancur bukan sebaliknya. Kecuali, kamu tidak terbawa ombak sampai terjebak di palung seperti dua orang lainnya yang bershasil kami selamatkan. Jadi jawab siapa kamu, kalau tidak kamu kami siksa sampai mati!” “Aa..aaapa maksudnya? Dua orang siapa?” tanya Cakra tak mengindahkan ocehan pria tersebut yang dipikir lagi, ia nampak seperti Legolas karakter fiktif dalam serial The Lord of the Rings. Film lawas yang baru saja ia tonton karena desakkan Victor.  Namun tentu saja pria itu tidak mempunyai telinga lancip. “Dua orang yang ikut terseret ombak sepertimu. Untungnya mereka tidak terjebak di palung dan dapat kami selamatkan. Terkahir, kami lihat mereka sudah dibawa oleh manusia darat.” Cakra tak dapat memproses semua informasi yang keluar darinya.  Namun yang jelas Victor dan Dito masih hidup. Dan ia tidak lagi dihantui rasa bersalah atas kematian mereka. “Jadi maksudmu teman-temanku selamat?” hanya dijawab dengan anggukan. “Trus saya masih hidup?” sekali lagi dijawab dengan angukan. “Kalau begitu kenapa saya bisa ada di sini? Kenapa kalian membawaku ke sini?” “Itu yang dari tadi kami ingin tau jawabannya darimu! Katakan siapa kamu? Karena kalau kamu manusia darat kami tidak akan membawamu ke sini!” “Sudah saya bilang saya hanyalah manusia biasa!” ucapnya getar mencoba meyakinkannya. Orang itu tak menerima jawaban Cakra, ia malah kembali menyodokkan tombak itu ke tubuh Cakra. “Aaaarggh....! Elu maunya apa sih??” tanya Cakra kesal. “Kamu siapa, dari mana kamu berasal. Apa maksud dan tujuan kamu berada di bumi?” tanyanya seakan tidak percaya atas semua ucapan Cakra. Cakra mencoba menghela napas, ia sudah tak dapat berpikir dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi, berkali-kali ia berkata benar mengenai dirinya, tapi tak ada hasil yang memuaskan untuk orang itu. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding setelah ia sadar bahwa ia masih berada di bumi. “Ini... di bumi? Saya belum mati?” tanyanya tak percaya. “Jangan harap kamu bisa mati sebelum menjawab pertanyaan saya!” hardiknya tetap siaga. “Nggak mungkin ini di bumi! Lu pasti boong!” “Saya curiga kamu yang berbohong!” “Kalo ini di bumi trus ini di mana? Kenapa gue berasa asing ama semua ini?” “Kamu sedang berada di distrik Nor, jauh dari tempatmu tersangkut. Kami terpaksa membawa kamu ke sini karena kamu dapat hidup di bawah laut seperti kami. Tapi, kamu bukan mahluk seperti kami ataupun bagian dari kami. Kami merasa bahwa kamu berupa ancaman... Jadi sekarang katakan siapa diri kamu!" ucapnya getir tanpa lengah. Cakra tidak tahu harus berbuat apa, ucapan orang yang menondongkan tombak dihadapannya ini sungguh konyol. Ia sangat tidak percaya atas semua yang ia katakan, sekejap keping ingatannya akan kejadian beberapa waktu lalu kembali menghujaninya. Masih jelas terasa bahwa terumbu karang merobek lengan atas kanannya, sontak ia menoleh pada lengannya. Apa yang ditemukannya membuatnya lebih merinding. Tidak ada bekas luka sedikitpun. Pria tersebut menarik bibir tipisnya. “Bahkan kamu sendiri tidak menyadari siapa dirimu sebenarnya!” saat Cakra menoleh tongkat itu sudah bersandar kembali di tubuhnya. Kali ini dengan kekuatan yang berkali-kali lipat lebih dahsyat, sehingga membuatnya terkulai lemah dan tak sadarkan diri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD