"Emang harus tinggal di kantor mu ya fajar? Rumah kita kan dekat dari kantormu," tanya ibu saat melihatku berkemas-kemas.
"Gak bisa buk, aku harus tidur di kantor, takutnya nanti gak terkejar berangkat pagi, ini juga cuma sebulan ini kok buk, besok aku tidur di rumah lagi," jawab ku meyakinkan ibu.
" Gak ada yang kamu sembunyikan dari ibuk kan? Kok mendadak pindahan gini, bawa kasur adikmu pula," lagi-lagi ibu bertanya.
" Kasur adekkan masih ada yang lain buk, gak papalah aku bawa satu, besok juga aku pulangkan lagi kasur ini," jawabku.
" Tapi ini juga bawa-bawa peralatan dapur, kayak mau pindahan gak pulang ke rumah lagi," curiga ibu ku.
" Ya gimana lagi Buk, gak mungkin kan aku beli terus untuk makan," jawabku.
Ibuku terdiam, tidak bertanya lagi. Aku tau hatinya curiga tapi aku harus melakukan ini karena aku sudah menikah dengan diam-diam tanpa sepengetahuan keluargaku. Namanya Cici, dia sahabat adikku sendiri Eliza. Entah kenapa aku jatuh cinta pada Cici sejak pertama kali kami berjumpa. Padahal aku saat itu sudah punya pacar yaitu Maya, gadis yang ku pacari sejak ia kelas 3 SMA dan sekarang sudah lulus kuliah. Pertemuan pertamaku dengan Cici saat ia main ke rumah menemui adik ku. Dia cantik dan mungil. Meskipun mungil ia memiliki p******a yang lumayan besar jika di banding dengan Maya. Dia juga jauh lebih cantik dibanding Maya. Lebih pandai berhias dari pada Maya. Seketika semua yang indah tentang Maya di otak dan hatiku menguap. Hilang entah kemana, digantikan pesona Cici yang luar biasa.
Rupanya perasaan ku ini di ketahui oleh Eliza adikku. Dia bilang tolong jangan sampai aku jatuh cinta pada Cici, Cici itu sahabatnya. Kalo sempat aku jatuh cinta padanya bisa jadi persahabatan mereka akan terputus. Rupanya hal itu juga di sampaikan Eliza pada Cici agar ia jangan jatuh cinta padaku. Eliza minta pada Cici agar ia menganggap ku sebagai abangnya juga sebagaimana Eliza menganggap abangnya Cici sebagai abangnya juga.
Tapi bukan aku namanya jika tidak berjuang mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku di buat gila oleh Cici sampai-sampai aku tidak lagi punya rasa cinta pada Maya pacarku. Setiap hari yang ada dalam pikiranku hanya ada Cici Cici dan Cici. Sudah ku utarakan pada ibuku waktu itu untuk melamar Cici jadi istriku. Tapi ibuku menolak, ibuku tidak mau Cici jadi menantunya, semua anggota keluargaku tidak ada yang setuju sama sekali. Keluargaku masih memegang teguh adat istiadat bahwa suku kami tidak boleh menikah dengan suku Mandailing karena mereka memakai adat jujuran. Karena itu akan membuat seluruh keturunan kami menjadi pupus.
Akhirnya aku nekat, ku ajak Cici kawin lari agar kami dapat terus bersama. Cici menyetujui ajakan ku. Akhirnya kami menikah tanpa sepengetahuan keluarga kami. Sebulan setelah menikah kami masih tinggal di rumah orang tua kami masing-masing. Jika kami ingin melakukan hubungan suami istri kami pergi ketemuan diluar dan menyewa penginapan untuk semalam. Hal ini membuatku tidak tahan. Akhirnya aku bilang ke ibuku kalo aku harus pindah ke kantor tempat ku bekerja agar aku tidak terlambat sampai ke kantor. Padahal waktu yang ku butuhkan untuk sampai ke kantor tidak lebih dari 15 menit. Tapi demi Cici istriku aku rela berbohong gini asal kami dapat hidup seatap.
Tatapan sedih ibuku saat melihatku pergi membawa barang-barang dari rumah masih ku ingat, tatapan curiga Eliza pun tak bisa ku lupakan sampai sekarang.
Aku ingat kata-kata Eliza waktu itu " saat ini mungkin Uda bisa membohongi kami, tapi suatu saat kebohongan Uda akan terbongkar dengan sendirinya."
Aku tidak perduli, yang penting apa yang ku inginkan sudah terwujud, kedepannya itu terserah. Aku yakin aku akan hidup bahagia dengan Cici, karena Cici adalah cintaku.
Sesampainya di kontrakan, Cici sudah menungguku. Senyumnya terbit saat melihatku mendekat kearahnya.
" Kok lama kali sayang?" tanyanya.
" Maaf sayang, tau sendirinya ibuk kayak mana, banyak pertanyaannya, si Eliza juga curiga gitu," jawabku.
" huh,, jangan sampai keluargamu tau kalo kita sudah menikah, apalagi si Eliza, nanti mulut dia ember kemana-mana ngomongin aku," kata Cici.
"tenang aja sayang, mereka gak bakal tau," Jawabku sambil mengecup singkat pipi chubby Istriku.
"yok lah kita beberes dulu, setelah itu ehem ehem ya," godaku.
"Iissh sayang ni, malu tau," jawab istriku malu-malu.
Kami lalu beres-beres, perlengkapan rumah yang kubawa tadi, kurang lebih satu jam kami baru selesai beres-beres. setelah selesai beres-beres Cici membuatkan kopi untukku.
" diminum kopinya bang," katanya seraya meletakkan secangkir kopi panas di hadapanku.
" makasih sayang, kamu memang benar-benar istri idaman, sini dong duduknya di pangkuan Abang," kataku seraya menepuk-nepuk pahaku. Aku mau Cici duduk di pangkuan ku. Kulihat wajahnya merona, tapi tak urung ia pun duduk di pangkuan ku.
" kalo Ci duduk di pangkuan Abang gini, gimana Abang minum kopinya?" tanya Cici sambil membelai lenganku.
" Minum kopi gampang tu sayang, tapi boleh gak Abang minum yang lain dulu?" sambil mengendus tengkuknya.
" ehmm,, emang Abang mau minum apa?" Tanya Cici sambil merem menikmati bibirku yang mulai nakal di area tengkuk dan lehernya.
" mau minum ini?" Jawabku dengan serak sambil meremas pelan buah dadanya. Milikku sudah berdiri tegak dari tadi, rindu sudah berhari-hari tak jumpa dengan Cici. Tapi mulai malam ini aku tak perlu lagi menahan hasrat ku. Aku sudah tinggal serumah dengan Cici. Kapan kepengen kami bisa langsung melakukannya.
"ehmm Abang," desis Cici. "Ci pengen bang," kata Cici dengan suara serak.
aku pun sudah tak tahan lagi. Ku gendong iya ke kamar kami. Cici sangat bersemangat saat kami melakukannya. Itu yang sangat aku sukai darinya. Ia mendominasi permainan kami. Setengah jam berlalu kami selesai. Cici baring miring menghadapku sambil memelukku.
" Bang, kalo nanti keluarga kita tau kalo kita sudah menikah gimana?"
" yaa kita jelaskan saja, kalo kita menikah karna kita saling mencintai."
"Tapi gimana kalo keluargamu gak setuju bang, apalagi si Eliza dia pasti menentang banget pernikahan kita bang."
Cici terlihat khawatir Eliza tau pernikahan kami. Mungkin karena Cici mengingkari janjinya pada Eliza kalo ia gak boleh jatuh cinta padaku. Eliza juga aneh kok melarang Cici untuk jatuh cinta padaku.
"Kalo kita dah nikah mana bisa dia larang lagi, kalo belum menikah iyalah dia bisa larang."jawabku sambil tersenyum.
"iya sih," jawabnya.
" Masalah nanti, kita pikirkan nanti aja ya, yang penting sekarang kita udah bersama, dan gak ada yang bisa memisahkan kita selain maut," ucapku
"iya sayang, aku janji kita akan selalu bersama sampai maut memisahkan," Cici makin erat memelukku.
" ayoklah kita tidur Yang, besok Abang harus kerja, semoga kamu betah ya tinggal disini sementara waktu." Cici mengangguk.
Kami pun memejamkan mata, lelah setelah pertarungan nikmat yang kami lakukan tadi.