BAB 7 - menikahlah denganku

2094 Words
Selama satu minggu tanpa kehadiran Nadine, Juna benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya, hingga akhirnya berkat keseriusannya dalam bekerja dan melihat peluang yang sedang berkembang saat ini di market, Juna mampu meyakinkan induk perusahaannya yang sudah go public untuk mengakusisi sebuah area penambangan emas. The Java kemudian mengumumkan pengambil alihan tambang emas dan tembaga di Lombok Barat, Nusa tenggara barat. "Jun, kamu jadi pergi ke Lombok besok?" tanya Felicia malam itu sambil memperhatikan sang suami yang sedang merapikan barang-barangnya ke dalam koper. "Tentu saja jadi, karena aku harus meninjau lokasi di sana, aku harap satu dari tiga wilayah eksplorasi yang ada di dalam area pertambangan emas tersebut bisa diproduksi, jadi aku harus melihatnya secara langsung, Fel." "Berapa lama kamu di sana?" tanya Felicia cemas. "Satu bulan mungkin, bahkan mungkin lebih ...." "Apa nggak bisa Chandra aja yang pergi ke sana?" Juna menggeleng tegas sambil terus merapikan barang-barangnya, sementara Felicia hanya duduk manyun di tepi tempat tidur. Namun, tidak ikut membantu. "Mana bisa begitu, Fel. Itu namanya lempar batu sembunyi tangan, aku yang mencetuskan ide ini, masa orang lain yang harus bertanggung jawab? Kamu tahu, tambang emas ini memiliki prospek yang sangat cerah dan bisa menjadi value yang sangat bernilai bagi perusahaan di masa depan," ujar Juna penuh semangat. "Apalagi nantinya tambang emas ini, aku prediksi bisa bersinergi dengan anak usaha yang lain di sektor bahan peledak, aku yakin itu! Dan pendapatannya nanti bisa untuk melakukan pengembangan di daerah lain." Felicia hanya terdiam dan mencoba mencerna penjelasan suaminya. "Untuk itulah, aku harus ke sana, untuk mengurus amdal, untuk mengetahui jumlah cadangan dan prospek tambang emas ini ke depannya, juga mengurus izin usaha pertambangannya. Jadi aku nggak bisa menyerahkannya begitu saja sama orang lain. Yaa ... meskipun nanti Chandra juga ikut denganku." "Kalau gitu, aku boleh ikut?" "Kamu mau berpanas-panas di area pertambangan? Karena sehari-hari aku akan ada di sana, jadi kalau kamu ikut, paling-paling kamu cuma bisa nongkrong di hotel, karena aku ini kerja, Fel ... bukan liburan dan lagi mungkin aku juga akan melihat resort yang sedang dibangun sama Kak Adam di Pulau Moyo. Kebetulan Kak Adam minta aku untuk nengok ke sana juga." "Nah itu! Aku bisa ‘kan nginap di resort?" "Iya, kamu bisa nginap di resort, tapi resort kita belum jadi. Kalau kamu mau sendirian di sana, nggak masalah, karena sehari-hari aku nggak mungkin bisa nemenin kamu." "Tapi bulan depan ulang tahun pernikahan kita, Sayang." Felicia mulai merajuk. "Akan aku usahakan. Aku pasti pulang saat pesta itu, karena bagaimanapun juga aku juga sudah janji ke Jova untuk datang di pesta ulang tahunnya." Felicia hanya bisa pasrah menerima semua keputusan suaminya. Untuk soal pekerjaan, laki-laki itu memang tidak bisa diganggu gugat, apalagi kalau idenya datang dari dirinya. Juna merasa sangat harus bertanggung jawab. *** Keesokan hari, Juna sudah terbang ke Pulau Lombok bareng Chandra untuk menyelesaikan pekerjaannya di sana, sementara Nadine juga sibuk dengan tour kelilingnya ke lima kota besar di Pulau Jawa. Namun, intensitas komunikasi di antara mereka tidak pernah berhenti. Kapan pun ada waktu luang, mereka berdua selalu saling berkomunikasi satu sama lain melalui video call, karena dengan begitu Juna bisa melihat apa saja kesibukan Nadine saat itu dan juga bagaimana wajahnya ketika bangun tidur atau ketika sepulang konser. Sementara Felicia sendiri yang mulai merasa kesepian karena ditinggal Juna, mulai mencari hiburan yang bisa memuaskannya. Dan seperti yang disarankan oleh teman-temannya, perempuan itu mulai menikmati sensasinya bersama seorang berondong yang dikenalkan oleh Preeta. Laki-laki muda itu bernama Bonny. Felicia yang awalnya ragu-ragu, akhirnya sangat menikmati permainan cintanya bersama pemuda itu. Sedangkan hubungan Nadine dan Juna juga semakin intim, laki-laki itu sedikit demi sedikit mulai terbuka soal pekerjaannya dan juga tentang keluarganya, tapi dia belum menyinggung soal Felicia, begitu pula dengan Nadine yang juga mulai terbuka soal keluarganya. Hingga tiba di hari terakhir konser Nadine di kota Yogyakarta. Sore itu, sebelum konser berlangsung, tiba-tiba bel pintu kamar hotel Nadine dan Melinda berdentang. Nadine yang sudah selesai berdandan bergegas beralih ke depan untuk membukakan pintu kamar, sementara Melinda masih asyik merias diri di depan cermin rias. "Siapa yang mencet bel, Mel? Kamu pesan room service?" "Nggak tu! Abhi kali yang mencet?" sahut Melinda sambil melirik dari balik cermin rias. "Tumben amat Abhi pake mencet bel segala, biasanya dia teriak-teriak dari luar!" sahut Nadine yang bergegas menuju ke pintu kamar. Dan saat pintu kamar terbuka, tampak Juna sedang berdiri di depannya dengan menggenggam sebuah pot kecil berisi kaktus yang telah berbunga. Sesaat gadis itu terpana lalu menutupi mulutnya dengan jemari tangan. Dia tidak percaya kalau laki-laki impiannya ada di depan mata. "Kamu? Kamu ke sini?" Juna mengangguk sambil tersenyum manis. "Siapa, Nad? Siapa yang datang?" tanya Melinda dari dalam kamar sambil asyik merapikan wajah. "Tamu jauh, Mel! Ayo masuk!" Juna lalu masuk ke dalam kamar mengekor di belakang Nadine. Melinda yang penasaran, segera berdiri dan tercengang melihat kedatangan Juna. Laki-laki itu hanya tersenyum kecil sambil memberikan kaktus itu ke Nadine. "Ini untukmu ...." "Makasih! Kaktusnya imut banget, kamu tahu aja," sahut Nadine sambil meletakan pot kecil berisi kaktus itu di atas meja. Melinda yang merasa menjadi orang ketiga di antara mereka berdua, akhirnya memutuskan untuk keluar kamar sambil membawa alat make up-nya dan beralih ke kamar temannya yang lain yang ada di seberang kamar mereka. "Mel, kamu mau ke mana? Di sini aja, nggak apa-apa." Nadine mencoba mencegah Melinda yang hendak pergi dari kamar mereka. "Iyaa, Mel. Kenapa harus pergi segala?" tanya Juna heran. "Nggak enak aah! Nanti acara dandanku jadi berantakan gara-gara lihat kalian berdua! Mending aku pindah kamar aja, cuma tinggal dikit kok, tinggal dulu, ya! Oh iyaa, Nad ... jangan lupa siap jam setengah tujuh!" ujar Melinda sambil menunjuk ke arah jam tangannya, Nadine pun mengangguk mengiakan ucapan sahabatnya itu. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul lima sore lebih seperempat. "Silakan duduk! Sorry, ya. Kamarnya agak berantakan, soalnya tadi kami baru selesai dandan, jadi, ya gini belum sempet beres-beres," ujar Nadine sambil mulai merapikan barang-barangnya dan barang-barang Melinda yang berserakan di kasur, sementara Juna duduk di sofa yang ada di ruangan itu. "Santai aja, nggak usah buru-buru, aku malah suka lihat kamarmu yang berantakan seperti ini, menunjukkan sifat aslimu selama ini!" goda Juna sambil menatap ke Nadine. Gadis itu segera menjulurkan lidahnya, begitu tahu laki-laki itu mulai menggoda. Tak berapa lama kemudian Nadine menyusul duduk di sebelah Juna. "Kenapa kamu bisa ke sini? Bukannya kamu masih ada kerjaan di Lombok?" "Ini ‘kan hari Sabtu, waktunya libur, 'kan? Masa kerja terus, lagian aku juga ingin lihat penampilan kamu di konser nanti." Nadine jadi tersenyum, tersipu malu, sementara Juna mulai berani memegang tangan gadis itu. Membuat jantung sang gadis jadi berdetak begitu kencang. Nadine hanya bisa terdiam dengan perasaan gelisah, dadanya semakin berdebar-debar dan bergemuruh hebat saat Juna menggenggam tangannya. Tangan keduanya sama-sama dingin, deburan di jantung Juna juga terasa begitu dahsyat ketika laki-laki itu membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan semua perasaannya ke Nadine. "Nad, ada sesuatu yang ingin aku bilang ke kamu, sejak pertama kali kita ketemu. Aku sendiri nggak tahu, kenapa aku bisa seperti ini,” ujarnya sambil menghela nafas dalam. Sesaat laki-laki itu terdiam lalu melanjutkan ucapannya, “kamu tahu, kemarin aku sudah berusaha untuk melupakan kamu, aku mencoba untuk menghilangkan kamu dalam benakku. Aku juga sudah berusaha untuk nggak mikirin kamu, tapi ternyata aku nggak bisa, kamu memang seorang penyihir, Nad!" Entah kenapa kedua bola mata Nadine berkaca-kaca begitu mendengar ucapan Juna yang jelas dia tahu ke mana arah dan tujuannya. "Kenapa kamu mau nangis? Kamu memang pintar menyembunyikan perasaan itu, ‘kan? Hingga air matamu pun sangat setia untuk nggak keluar, sebelum kamu mengijinkannya untuk keluar. Iya, ‘kan?" Saat itu juga air mata Nadine menetes, membasahi pipi. Juna jadi terharu dan tak terasa riak kecil di sudut matanya juga mulai menggantung. Laki-laki itu lalu mengusap perlahan sudut matanya, juga pipi Nadine yang basah. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Juna sudah berusaha untuk memendam perasaan ini. Namun, rasa cintanya ke Nadine jauh lebih kuat dan Juna ingin gadis itu tahu. Juna tidak peduli dengan norma-norma yang berlaku di sekitarnya. Dia hanya ingin berdua saja sama Nadine. "Aku mencintaimu, Nad. Aku sangat mencintaimu." Nadine hanya terdiam sambil menatap kedua bola mata Juna yang mulai berkabut. Laki-laki itu lalu memejamkan mata dan mengalirlah air mata yang ditahannya sedari tadi. Nadine mengusap air mata itu dengan jemari lentiknya. "Aku juga mencintai kamu, Mas. Jujur aku akui, kamu adalah segalanya bagiku." Juna tersenyum sambil menangis mendengar pengakuan Nadine, laki-laki itu segera memeluk perempuannya erat. Gadis itu pun membalas pelukan lelakinya, keduanya tampak begitu menikmati kehangatan pelukan mereka berdua satu sama lain. Tak lama kemudian Juna mengendurkan pelukannya perlahan lalu menatap kedua bola mata Nadine yang bulat yang selalu hadir dalam mimpinya belakangan ini. Mereka berdua saling tersenyum penuh arti satu sama lain, Juna lalu mendekatkan keningnya di kening Nadine sambil bertanya, "Kenapa kamu mencintaiku, Nad?" "Aku mencintaimu sejak pandangan pertama. Kalau boleh aku jujur, aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya sama laki-laki mana pun, baru sama kamu lah, aku bisa merasakannya." Juna tersenyum sambil terus mendekatkan keningnya di kening Nadine. "Sama ... aku juga merasakan hal yang sama, perasaanku ini belum pernah aku rasakan pada perempuan mana pun. Kamu selalu bisa membuatku tertawa, aku selalu merasa nyaman kalau aku lagi sama kamu." Sesaat keduanya terdiam kemudian Juna mengangkat wajahnya dan dipandangi wajah gadis itu dalam-dalam, hingga Nadine malu dibuatnya. Laki-laki itu lalu mulai mendekatkan bibirnya yang merah ke bibir mungil Nadine yang sedikit menganga. Perlahan Juna mencium bibir gadis itu dengan lembut. Nadine merasakan sensasi yang sangat luar biasa ketika merasakan kehangatan yang diberikan oleh bibir pejantannya. Perlahan pula gadis itu mulai membalas ciuman sang kekasih, hingga akhirnya kedua bibir mereka saling berpagut satu sama lain. Nadine jadi mabuk kepayang apalagi ketika Juna melancarkan serangan French kiss-nya, hingga rasanya kehabisan nafas. Kalau saja Nadine tidak ingat sama ucapan Melinda tentang persiapan konser mereka, mungkin aksi b******u mereka tidak akan pernah berakhir. Juna dan Nadine benar-benar seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, hingga akhirnya gadis itu melepaskan tautannya di bibir Juna lalu menciumnya lembut dan berkata, "Sudah jam enam lebih, aku harus siap-siap, lihat bibirmu penuh dengan lipstick!" Nadine dan Juna tertawa bersama. Gadis itu segera berdiri lalu diambilnya tissue yang ada di atas meja rias dan mulai membersihkan bekas lipstick di bibir Juna. Laki-laki itu hanya tersenyum sambil berkata, "I love u, Nadine Diomira. Aku merasa lega sekarang, karena dadaku sudah tidak sesak lagi." "Ooh ya? Memangnya di dalam dadamu itu banyak orang yang lagi ngantri ya, jadi penuh sesak?" goda Nadine sambil tersenyum manis. "Iya! Dan orang itu, aku semua yang ngantre untuk mendapatkan cintamu!" Juna membalas menggoda gadis itu lagi. Nadine hanya memonyongkan mulutnya lalu berdiri dan beralih ke meja rias untuk merapikan lipstick-nya yang berantakan sambil berdiri. Juna pun berdiri lalu memeluk gadis itu dari belakang sambil menciumi rambut dan pundaknya. "Aku bisa gila tanpamu, Sayang. Kamu benar-benar telah menyihir aku untuk selalu ingin dekat sama kamu." Nadine hanya tersenyum sambil terus merapikan lipstick-nya yang berwarna merah. "Nad, menikahlah denganku ...." Dari balik cermin rias, gadis itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan Juna yang masih terus menghujaninya dengan ciuman di rambut, hingga dia bisa merasakan kejantanan Juna mengeras di bawah sana. "Kenapa memangnya? Apa kamu sudah nggak tahan?" sindirnya lirih sambil menyapukan spons bedak di pipi. "Selama ini aku selalu menahan perasaanku. Aku sudah berusaha untuk melupakan kamu, menghilangkan semua kenanganku bersamamu, tapi aku nggak bisa, kali ini aku benar-benar sudah nggak tahan. Aku ingin memiliki kamu seutuhnya, Nad. Ikutlah denganku," pinta Juna penuh harap sambil memeluk Nadine dengan erat. Sesaat keduanya terdiam. "Ooh ya, aku punya sesuatu untukmu ...." Juna lalu mengendurkan pelukannya di tubuh Nadine dan mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku celana dan membukanya perlahan. Nadine segera berbalik dan menatap ke arah kotak beludru berwarna biru muda tersebut, ternyata di dalamnya terdapat sebuah cincin berlian. Juna segera mengambil cincin itu lalu berlutut di hadapan Nadine dan berkata, "Aku rasa kita bukan anak SMA atau anak kuliah lagi yang harus mengenal satu sama lain lebih lama. Jujur ... aku nggak sanggup, kita sudah sama-sama dewasa dan kita sama-sama tahu perasaan kita masing-masing, jadi kenapa kita harus nunggu berlama-lama? Karena cepat atau lambat akhirnya kita akan menikah juga. Aku ingin membina rumah tangga denganmu, Nad! Aku ingin kamu menjadi ibu bagi anak-anakku kelak. Jadi mau kah kamu menikah denganku, Nadine Diomira?” Gadis itu hanya bisa terdiam sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Riak di ujung mata kembali menggantung. Dia benar-benar tidak percaya kalau Juna akan secepat ini melamarnya, padahal mereka baru saja membuka diri dan saling menyatakan perasaan cinta masing-masing. Apa memang harus secepat ini? Nadine jadi bimbang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD