Aroma Berbeda

1345 Words
Jangan bermain api jika tak ingin hangus terbakar. Sebab, jika seseorang berani bermain api maka tidak menutup kemungkinan suatu saat akan terbakar hangus. Angga merasa dirinya sudah mulai merasa gerah ketika berada di samping Sabrina. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada Angga, namun ada rasa yang cukup berbeda. Angga berjalan menuju mobil dengan perasaan tak menentu. Ia merasa bisikan Sabrina tadi membuatnya melayang ke udara. Dan, ia merasa benar-benar seperti tak tergantikan oleh orang lain. Ia kembali menoleh ke arah Sabrina, wanita itu pun ternyata kembali menoleh padanya. Dengan genit, Sabrina mengedipkan matanya membuat degup jantung Angga semakin berdebar kencang. Tak ingin berlama-lama dengan ke haluan yang luar biasa melalang buana di pikirannya, ia bergegas melangkah menuju mobil dan menginjak pedal gas, meninggalkan warung makan tersebut. Ia sempat membunyikan klakson pada Sabrina yang masih menunggu taksi online. "Hati-hati ya, Angga. Makasih atas waktunya," ucap Sabrina melambaikan tangan. "Sama-sama. Nanti, lain waktu kita sarapan bersama lagi ya." "Boleh, setiap hari juga sangat boleh," goda Sabrina. "Ah kamu bisa saja. Ya sudah, bye." Dalam perjalanan pulang ke rumah, kata-kata Sabrina terus terngiang-ngiang seperti alunan lagu indah yang membuat damai telinganya. Angga seperti lelaki yang sedang merasakan mabuk cinta, rasanya sungguh memabukkan dan bikin kepayang. Ia terus bersenandung kecil menunjukkan rasa bahagia yang menyeruak kalbu. Dalam pikirannya kenapa hanya ada nama Sabrina? Sedangkan ia sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaan istrinya yang sedang menunggu di rumah saat ini. Ai masih menunggu dalam keadaan cemas karena khawatir pada suaminya itu. Saat mobil memasuki area perumahan, bayangan Sabrina lenyap dan sirna begitu saja dari pikirannya. Ia kembali memikirkan istrinya, merasa bersalah karena ponselnya mati jadi tak bisa memberi kabar pada wanita hamil itu. Mempercepat kecepatan mobilnya dan sampai juga di pekarangan rumah. Ai mendengar suara deru mobil bergegas turun dari kursi dengan terburu-buru dan hampir saja terjatuh, untung saja Mbok sigap memegang. "Nyonya, hati-hati." "Maaf, Mbok. Itu, Apih." "Hati-hati!" teriak Mbok. Ai berlalu meninggalkan Mbok dan mempercepat langkahnya sambil berlari kecil menuju pintu utama dan membukanya dengan tak sabar. Berlari kecil kembali mendekati mobil Angga, melihat istrinya berlari, Angga bergegas keluar dari mobil. "Ai, jangan lari!" serunya. Ai mendadak menghentikan langkahnya dan berjalan perlahan mendekati Angga. "Kenapa berlari, Sayang? Berjalan 'kan bisa," ucap Angga lembut. "Pih, rindu," jawab Ai menabrak Angga. "Ya sudah, kita masuk dulu ya," ajak Angga. Ia merangkul istrinya dan berjalan masuk. Seseorang yang bersembunyi itu mendadak panas hati dan kepalanya, tak terima dengan kemesraan yang baru saja terhidang itu. Ia mengepalkan tangannya dan menonjok angin untuk melampiaskan kekesalannya. "Pih, kamu kemana? Kenapa ponselnya mati?" "Iya, maaf. Tadi ban mobil pecah, Mih. Dan kebetulan banget baterai ponsel habis, aku jadi tak bisa menghubungimu. Maaf ya, Sayang." "Aku khawatir sekali, Pih. Takut banget kalau terjadi sesuatu padamu." "Sssttt, sudah berapa kali aku bilang? Jangan memikirkan sesuatu yang tak baik. Khawatir nantinya mempengaruhi perkembangan adik bayi. Lebih baik, memikirkan yang baik-baik saja ya." "Maaf, Pih." "Ya sudah, Apih mau mandi, gerah banget," ucap Angga melepaskan kemejanya dan berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Cuping hidung Ai merasakan ada aroma yang lain di dalam kamarnya itu. Ia mulai mengendus-ngendus darimana asalnya aroma yang berbeda itu, ia mengangkat kemeja sang suami dan mulai menghirup aromanya. Deg. Ai merasakan ada aroma lain dari kemeja suaminya itu. Aroma parfume yang terasa tenang namun menggoda. Pikirannya mulai menerawang jauh dan menerka-nerka, aroma siapa gerangan yang menempel di kemeja suaminya itu? Apa mungkin aroma orang yang lewat? Rasanya sungguh tidak mungkin, mana mungkin aroma orang yang lewat bisa menempel sangat pekat seperti ini. Ia terduduk di bibir ranjang, menatap nanar ke arah pintu kamar mandi. Dadanya terasa sangat sesak sekali, nafasnya naik turun dan tangannya meremas kemeja suaminya lalu melemparnya ke lantai. Ia memegang dadanya, menekan rasa sakit yang menjalar di hatinya itu. Mencoba berpikir positif, namun rasanya sangat sulit sekali. Berkali-kali berusaha menghalau pikiran jelek tapi keadaan selalu membuatnya menambah pikiran yang jelek dan buruk. Ai menarik nafas berat, lalu menghembuskannya perlahan. Suara pintu kamar mandi terdengar dibuka, itu artinya Angga sudah selesai mandi. Ai menatap tajam Angga yang keluar kamar mandi, tetapi lelaki itu justru menatap ke bawah. Ia melihat kemeja yang berserakan di lantai. "Kamu apa-apaan sih, Mih?" "Aroma parfume siapa yang ada di kemejamu? Hah? Siapa!! Kau tengah berselingkuh? Iya!!" tuduh Ai langsung tanpa basa-basi. Angga melebarkan matanya, terkejut karena langsung dituding selingkuh oleh istrinya itu. Ia mengambil kemeja tersebut dan mencoba menghirup aromanya. Sabrina! Sial, ini aroma parfume Sabrina! Bagaimana bisa menempel di kemeja ini? Gawat sekali, ucap Angga dalam hatinya. "Jawab!! Aroma parfume siapa itu!!" teriak Ai membuat Angga menoleh padanya. "Kamu apa-apaan, sih? Suami pulang kerja, capek! Ini malah main tuduh tanpa bertanya!!" "Loh, ini aku bertanya!!" "Bertanya? Ini bukan pertanyaan tapi tudingan! Kamu tak ada nada bertanya tapi kamu langsung menuduhku selingkuh! Kamu kenapa, sih? Ada apa?" jawab Angga mengalihkan topik pembicaraan. "Jawab, Pih! Gak usah terlalu banyak bicara omong kosong!! Parfume siapa itu!" "Astaghfirullah, Aina! Kamu bisa tidak turunkan suaramu!! Kamu bukan seperti wanita yang aku kenal!" Kembali, Angga mengalihkan pembicaraan sambil berpikir alasan yang tepat. "Parfume siapa, Pih?" tanya Ai datar namun penuh dengan penekanan. "Aku gak tahu! Aku saja terkejut saat kamu berbicara lantang seperti tadi, langsung menuduhku selingkuh segala. Padahal, aku ini bekerja semalaman, menangani banyak pasien anak-anak." "Boro-boro mikir selingkuh, jadi berhenti berpikir yang tidak-tidak, Mih!" "Lalu, bagaimana bisa itu parfume menempel di kemeja kamu, Pih? Gak mungkin 'kan kalau itu parfume orang lewat? Bisa-bisanya nempel, sungguh tak masuk akal." "Sudah aku katakan, aku tidak tahu. Semalam ada tiga balita yang kritis dan aku mencoba menenangkan orang tuanya, mungkin ini parfume salah satu dari orang tua pasien," elaknya berusaha mencari alasan yang tepat. "Baik! Aku mencoba percaya walaupun sungguh tak masuk akal, tapi jika kau benar-benar selingkuh, maka aku tidak akan pernah memaafkanmu!!" "Ngaco! Buat apa selingkuh? Itu tandanya aku gak bisa bersyukur," ucapnya tenang menyembunyikan rasa takut akan ketahuan. "Ya siapa tahu saja, kamu tiba-tiba khilaf!" "Jangan bicara sembarangan, Ai!" "Aku gak bicara sembarangan! Biasanya orang yang mulai nyeleweng selalu alasannya khilaf. Ya semoga saja, kamu tidak termasuk dalam golongan orang yang seperti itu." "Ah, terserahlah! Kamu semakin kesini tingkahnya semakin aneh! Pikirannya semakin buruk! Dan rasa percaya padaku seakan tak tertanam lagi. Entah apa yang terjadi pada hatimu, pikiran dan jiwamu, aku tak tahu. Yang jelas, kau sungguh benar-benar berbeda!" "Dan, satu lagi, jangan menyalahkan hormon ibu hamil. Tapi, aku merasa ini semua itu timbul dari pikiran buruk, bukan dari hormon!" ucap Angga melempar kemeja ke dalam keranjang baju kotor lalu naik ke atas ranjang. "Kamu mau apa?" "Tidurlah! Masa iya jalan-jalan! Ngaco saja!" "Tapi, kamu belum sarapan. Lebih baik sarapan dulu, aku sudah hidangkan!" "Gak usah, makasih! Aku sudah sarapan tadi saat menunggu ban mobil diganti!" "Lebih baik aku tidur daripada mendengar ocehan tak berguna mu itu!! Bikin sakit telinga dan sakit hati karena dituduh macam-macam!!" "Maaf, Pih." "Tidak usah minta maaf. Kamu tidak salah dan tidak akan pernah salah karena kamu selalu benar!" "Sudah, jangan ganggu waktu istirahatku!!" bentak Angga. Lelaki itu langsung memejamkan matanya, namun ia belum juga terlelap. Ia sengaja memejamkan mata agar istrinya tak terus bicara yang membuatnya semakin pusing beralasan. Ia menunggu Ai keluar dari dalam kamar, dan benar saja tidak sampai lima menit wanita hamil itu berlalu meninggalkan kamar. Angga membuka mata dan bisa bernafas lega. Ia memijat pelipisnya yang terasa pusing, hampir saja ketahuan, begitu pikirnya. "Selamat … selamat … untung gak ketahuan, kalau ketahuan bisa panjang urusan." "Lagian, bagaimana bisa sih itu aroma parfume melekat di kemeja! Kan jadinya berabe!" "Tapi tunggu dulu, itu benar-benar aroma salah satu keluarga pasien atau Sabrina ya? Kayaknya Sabrina deh, ini parfumenya sungguh membuat tenang dan menggoda jiwa." "Ah, lain kali kalau ada waktu jalan bersama lagi jangan sampai deh Sabrina dekat-dekat seperti tadi. Bisa perang dunia kesekian sama Ai nanti." "Pokoknya, aku harus pintar bersandiwara agar tidak ketahuan. Untung saja tadi aku mengulur-ngulur waktu menjawab sambil berpikir alasan apa yang tepat dan akhirnya selamat." "Ah sudahlah, lelah sekali rasanya memikirkan dua wanita itu, bikin pusing kepala saja. Lebih baik aku tidur." Angga kembali memejamkan matanya dan terlelap dalam mimpi indah. "Angga, aku selalu merindukanmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD