Pranggg

1426 Words
Berdamailah dengan keadaan maka hidupmu akan tenang. Belajar memaafkan walaupun itu adalah hal yang sangat sulit. Kedua insan itu sama-sama mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Mereka tidak ingin berlarut-larut dalam sebuah kesalahan di masa lalu yang akan menghambat kehidupan mereka nanti kedepannya. Sebulan berlalu, semenjak pertemuan yang tidak sengaja itu mereka tak pernah bertemu kembali. Hidup Ai dan Angga terasa damai tanpa sebuah pertengkaran. Memang, pada dasarnya mereka itu saling menyayangi dan mencintai, kok. Ujian luar biasa sudah pernah mereka lewati, jadi untuk melewati kembali ujian yang lebih luar biasa, insya Allah mereka akan tetap tenang. Setiap hari Aina selalu ada saja yang diinginkan, baik itu makanan ataupun barang-barang yang menurut Angga sungguh tak masuk akal untuk dibeli. Masa iya, tiba-tiba istrinya itu minta dibelikan motor agar bisa mengendarainya, sungguh lucu! Jangankan menyetir motor, untuk menyetir mobil saja tak diperbolehkan. Seperti saat ini, bumil itu tengah merajuk karena Angga tak menuruti keinginan konyolnya. Aina meminta Angga untuk berkunjung menuju rumah tetangga sebelah dan mengusap kepala botak yang punya rumah. Bagaimana mungkin Angga bisa mewujudkan hal itu, sungguh itu sangat tidak sopan. "Jangan aneh-aneh deh, Mih. Minta yang lain saja, yang mudah gitu! Masa iya, Apih harus elus-elus kepala Pak Badar, gak sopan, Mih!" "Diam! Berisik amat! Sudah, aku mau tidur!" rajuknya kembali. Angga menghembuskan nafasnya berat, lalu menggelengkan kepala saja melihat kelakuan istrinya yang seperti anak kecil itu. Ai juga sebenarnya merasa aneh dengan mood-nya itu, terkadang baik, namun lebih sering buruk. Angga itu selalu saja salah di matanya, apapun yang ia lakukan tak pernah ada benarnya. Angga beranjak menuju dapur, di sana terlihat Mbok yang sedang membuat sesuatu. Ia mendekati Mbok dengan tujuan curhat. "Mbok, bikin qpa?" "Ini bikin bubur kacang hijau, Tuan." "Buat siapa? Aina?" "Iya, buat Nyonya Ai. Tuan mau dibuatkan apa?" "Gak, Mbok. Mau curhat." "Loh? Curhat sama Mbok?" "Ya iya, Mbok! Masa sama tembok." "Hehe, Tuan Angga ini sudah mirip sama Nyonya Ai. Suka merajuk." "Nah, dia lagi merajuk tuh Mbok, sekarang." "Memangnya kenapa, Tuan?" tanyanya sambil sibuk mengaduk-ngaduk bubur di atas kompor. "Ah, ngidamnya aneh-aneh saja, Mbok. Angga sampai pusing." "Memangnya minta apa, sih?" "Masa ya, Angga di suruh elus-elus kepala botaknya Pak Badar! Ngaco, 'kan!" pekiknya. "Terus Tuan mau gak?" "Ya gak dong, Mbok! Malu dan gak sopan juga. Mendingan minta yang lain deh, yang bisa Angga beli. Kalau begini, pusing ah." "Sabar, Tuan. Namanya juga bawaan adik bayi, wajar. Tuannya harus ekstra sabar dan harus pelan bicara sama ibu hamil tuh. Ah, Pak Dokter ini masa tidak paham begitu saja." "Huft, bukan gak paham, Mbok. Angga tuh jadinya mikir, ini yang mau Ai atau Adik bayi? Kalau permintaannya aneh, justru Angga merasakanya lagi di jailin sama Ai." "Hehe, bisa jadi ya, Tuan. Ya sudah, beri pengertian saja pada Nyonya Ai. Gampang toh?" "Kata Mbok, gampang. Kenyataannya? Beuh, susah sekali!" "Ya sudah, biarkan saja. Nanti juga reda sendiri kesalnya." "Iya sih, Mbok benar." Mbok tersenyum lalu menuangkan bubur kacang ke dalam mangkuk dan memberikan ada Angga. "Buat Angga, Mbok? Katanya buat Ai?" "Ya masa Nyonya menghabiskan segini banyak, Tuan," kekehnya menggelengkan kepala. Angga merasa malu dengan jawaban Mbok, meniup perlahan lalu memakannya. Memang, masakan Mbok tidak ada tandingannya, bahkan tak pernah tak enak. "Mbok ke kamar dulu ya, ini buat Nyonya Ai." Angga hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbok. Di dalam kamar, Ai sedang merasa tak nyaman, pusing di kepalanya seakan tak kunjung sirna. Hamil trimester pertama membuatnya mabuk parah dan uring-uringan. Makanan apapun jarang masuk, jika lapar pasti Ai mencampur lauknya dengan mangga muda, dengan begitu makanan akan bisa dicerna. Tok. Tok. "Nyonya," panggilnya. "Iya, Mbok. Masuk saja! Gak di kunci!" Mbok membuka pintu, aroma bubur kacang hijau menguar masuk ke dalam rongga-rongga penciumannya. Aromanya benar-benar menggugah selera dan membuat perut Ai tiba-tiba keroncongan. "Mbok, itu apa?" "Bubur kacang untuk Nyonya Ai." "Ah, mau! Pasti enak buatan, Mbok." Mbok tersenyum hangat lalu memberikan mangkuk kecil itu. "Pelan-pelan, masih panas," ucapnya mengingatkan. "Hm … aromanya, sungguh menggugah selera! Perut Ai jadi keroncongan begini, Mbok! Semoga bubur kacang ini bisa masuk ke perut Ai." "Aamiin." "Anaka baik, kita maem ya, Sayang. Ini bubur kacang terenak yang Mbok buat. Adik bayi coba ya, bantu Amih makan hingga habis ya. Jangan dimuntahkan, oke. Bismillah," ucapnya mengusap perut. Ai meniupnya lalu memakannya, Mbok dengan penuh kelembutan memijat pelan kaki Ai. "Nyonya." "Hm." "Terkadang, apa yang kita inginkan di dalam pikiran dan hati itu berbeda. Hati menolak, tapi pikiran memaksa untuk diwujudkan. Dan itu sering kali terjadi dalam keseharian kita, memaksakan sesuatu sesuai kehendak kita tanpa pernah memikirkan akibatnya seperti apa dan bagaimana." "Jika permintaan itu bisa dihalau, maka cobalah untuk menghalaunya. Jangan selalu dipaksakan, ujungnya tidak akan baik." "Hormon itu hamil memang naik turun, tapi jangan jadikan kehamilan sebagai ajang untuk menjahili suami ya," lanjutnya tersenyum. "Hm … pasti Apih!" sergahnya. "Tidak, Mbok tadi tidak sengaja mendengar perdebatan kalian saat akan menawarkan bubur," ucapnya sedikit berbohong. "Memang Mbok mendengarnya?" "Iya! Nyonya minta Tuan untuk mengusap kepala Pak Badar, 'kan?" "Hehe, iya Mbok. Kepalanya lucu banget, sudah lama rasanya Ai ingin sekali melihat kepalanya diusap oleh Angga. Tapi ah, sudahlah." "Nyonya, kenapa gak minta yang lain?" "Belum ada minat, Mbok." "Ya sudah, tapi nanti permintaannya jangan yang aneh-aneh lagi ya." "Tergantung adik bayi." "Hm … itu bukan permintaan jabang bayi, tapi permintaan Nyonya Ai hehe." "Eh? Hehe, gak kok, Mbok." "Ingat ya, jangan jahili suami dengan alasan adik bayi, hehe." "Huuh, iya Mbok." *** Hari ini, Angga dinas malam dan ia sudah lebih dulu menghubungi si kembar untuk datang dan menemani Ai juga Mbok. Suasana hati Ai sudah kembali tenang, damai dan ceria. Ia bahkan sudah bermanja-manja lagi pada suaminya itu. "Pih, harus berangkat ya?" tanyanya manja saat melihat suaminya bersiap-siap. "Iya, Sayang. Hari ini dinas malam." "Gak usah berangkat deh, Pih." "Eh? Gak bisa gitu dong, Cintaku. Ini 'kan sudah kewajiban Apih, kalau gak berangkat siapa yang memeriksa pasien anak-anak itu? Bahkan pasien anak dalam sehari lebih banyak dari pasien dewasa." "Huuh, tapi aku mau sama Apih." Angga menoleh ke belakang dan berjalan mendekati sang istri, duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan Ai. "Sayang, ini sudah tugas. Aku sudah disumpah saat lulus beberapa tahun lalu, gak mudah menjalankan sumpah itu. Aku minta pengertian darimu, ya. Nanti juga ada kembar kok yang menemani, kamu." "Hm … baiklah. Ia aku tahu, sudah tugasmu. Tapi, entahlah pengennya sama kamu." "Assalamualakum anak baik, Apih berangkat kerja dulu ya. Tolong bantuin Apih untuk jaga Amih ya. Beri ketenangan pada Amih dan buang rasa khawatir yang ada di dalam hati Amih. Adik bayi pasti bisa di percaya, 'kan? Sehat ya, Nak. Apih cari rezeki dulu buat Adik dan Amih," ucapnya sambil mengusap perut Ai. "Jangan beratkan aku untuk berangkat, Sayang. Aku pergi untuk bertugas, bukan yang lainnya. Doakan aku agar langkah kaki ini tenang dan ringan." "Iya, Pih. Aku akan selalu mendoakanmu setiap waktu. Doaku menyertai langkah kamu." "Makasih, Sayang." "Ayo, antar aku ke depan," pinta Angga. Ai mengangguk semangat dan membawakan tas kerja Angga. Walaupun Angga sudah melarangnya tapi tetap saja ia memaksa diri untuk bawa. Mbok mengiring dibelakang dan ikut mengantarkan Angga menuju mobil. Angga memeluk dan mengecup kening istrinya, tak lupa ia juga mengecup calon bayi mereka. Ada sepasang mata yang melihat kemesraan dan kebahagiaan mereka berdua. Sorot matanya penuh dengan kebencian dan tangannya mengepal, ia tak terima saat melihat pemandangan itu. Dadanya terasa sesak dan bergemuruh, nafasnya ngos-ngosan. Emosinya naik hingga ke ubun-ubun, lalu seketika senyum menyeringai. Senyum itu terlihat sangat mengerikan. Seseorang itu seakan sudah mempunyai beberapa rencana untuk membuat huru-hara dalam rumah tangga Angga dan Ai. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, rasa itu terlalu dalam sakitnya sehingga ia tak terima akan kebahagiaan yang orang lain peroleh. Angga masuk ke dalam mobil dan melenggang meninggalkan pekarangan rumah. Mbok dan Ai kembali masuk ke dalam rumah, tak lupa mengunci pintu sebab si kembar sudah mempunyai kunci cadangan. Semua ini dilakukan semata-mata karena belajar dari kesalahan di masa lalu yang tak ingin terulang kembali. Lima menit kemudian, seseorang itu berjalan dengan perlahan bahkan terkesan mengendap-ngendap. Memastikan bahwa di sekitarnya itu aman dan tak ada orang yang akan melihat aksinya. Ia sudah menyiapkan sesuatu di tangannya. Saat ini, ia hanya berjarak beberapa meter dari rumah tersebut. Pranggg. Ia melemparkan sesuatu dan berhasil memecahkan kaca ruang tamu. Setelah itu terdengar suara gaduh dari dalam rumah, ia bergegas berlari dan bersembunyi agar tidak ketahuan orang-orang yang berada di dalam rumah. "Astaghfirullah!! Ini kenapa bisa kacanya pecah, Mbok?" pekik Ai terkejut. "Ya Allah, Nyonya. Ada apa ini, ya? Astaghfirullah … Astaghfirullah ... Astaghfirullah ... semoga bukan pertanda buruk," ucapnya spontan. "Pertanda buruk?" ucap Ai mengulang ucapan Mbok.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD