Buah Manis

1429 Words
Kesakitan, kekecewaan dan air mata di masa lalu menjadi buah manis di masa depan. Kesabaran dan keikhlasannya mampu membuatnya semakin kuat, tegar dan kokoh. Mimpi, sebelum menikah mereka berdua pernah punya mimpi untuk menikah. Menjadi pasangan yang bahagia dan terikat dalam janji suci pernikahan. Dengan, berjalannya waktu semua mimpi itu terwujud di waktu yang tepat. Setelah menikah, mereka bermimpi akan mempunyai keturunan namun tak pernah memaksakan diri harus mendapatkan dalam waktu yang cepat. Namun ternyata, Gusti Allah berkata lain. Gusti Allah benar-benar memberikannya di waktu yang tepat. Ini bukan hanya kebahagiaan bagi mereka berdua saja, tetapi bagi keluarga besar juga, bagi teman-temannya juga. Pokoknya kebahagiaan mereka tertular untuk semua orang. Dengan kesabaran dan keikhlasan, Allah memberikan kebahagiaan secara bertubi-tubi. Saat ini, sepasang suami istri itu sedang asik bersenda gurau dan tertawa bersama. Keduanya sama-sama memberikan aura positif untuk sekitar. Sekali lagi, diantara mereka tak pernah berpikir bahwa akan diberikan momongan secepat ini. Memang benar, Allah memberikan di waktu yang tepat dan mungkin memang sekarang adalah waktunya. Padahal, tak dapat dipungkiri, keduanya beberapa bulan kemarin benar-benar mendambakan dan menunggu amanah tersebut. Angga selalu berpesan pada istrinya, Allah itu akan memberikan di waktu yang tepat. Tak perlu khawatir akan rezeki yang satu itu. Selama seorang wanita masih punya rahim, itu artinya ia bisa hamil. Tak ada yang tidak mungkin bagi Gusti Allah. Sekalipun dokter sudah memvonis mandul tapi tak akan ada yang bisa menolak takdir Allah. "Alhamdulillah ya, Allah memberikannya di waktu yang tepat." "Apih pernah bilang, 'kan? Kita cukup sabar, ikhlas dan berusaha. Semuanya, kita pasrahkan pada Gusti Allah. Janjinya itu nyata, memberikan apa yang dibutuhkan oleh kita di waktu yang tepat. Jadi, jangan pernah iri apabila orang lain lebih dulu diberikan rezeki amanah itu." "Makasih selalu tetap setia mendukung aku, Pih." "Makasih karena sudah mau menjadi istri dan ibu dari anak-anak aku, Mih." Angga mengambil ponselnya dan mulai menghubungi satu persatu keluarga besarnya. Ia lebih dulu menghubungi Mami dan Papinya. "Assalamualaikum, Mi." "Waalaikumsalam, Sayang. Kalian baik-baik saja, 'kan?" "Alhamdulillah baik. Mami dan Papi apa kabar?" "Baik, Nak. Kalian gimana? Maaf ya, Mami belum sempat main, masih sibuk sama urusan kantor untuk bantu Papi." "Iya, Mi. Gak pa-pa. Mi, Aina hamil. Mami dan Papi akan jadi Omah dan Opah." "Alhamdulillah!" ucapnya syukur. "Ini beneran, Angga?" "Iya, Mi. Alhamdulillah, kami dipercaya secepat ini." "Ya Allah … Alhamdulillah … makasih sudah mendengarkan doa kami. Angga, sampaikan salam Mami untuk Ai. Nanti Mami akan kesana sama Ibu ya." "Mami, Ai mendengar!" seru Ai bahagia. "Sayang … anak Mami, kesayangan Mami. Jaga diri ya, Nak. Jaga kesehatan, banyak makan buah ya. Bilang sama suamimu itu harus selalu stok buah dan makanan bergizi, bilang sama Mbok harus ontime mengurus semua makanan kamu ya, Nak." "Iya, Mami. Siap! Beres pokoknya, Mi!" "Ya sudah, kalian baik-baik ya. Mami tutup telponnya, wassalamualaikum." "Jaga kesehatan ya, Mi. Waalaikumsalam." "Kalau sama Ai aja, anak kesayangan! Kalau sama Mas aja, marah-marah mulu bawaannya si Mami! Heran!" "Haha, sabar, Sayang!" "Sebel, ah." "Ye, gak boleh, gitu! Cepet sekarang telpon Ibu." "Oke, Amih, Sayang." "Assalamualaikum, Angga." "Waalaikumsalam, Ibu. Apa kabar?" "Baik, Nak. Ada apa? Ai baik-baik saja, 'kan?" "Eh sampai lupa, gimana kabar kalian?" "Baik, Bu. Kami berdua baik-baik saja." "Maaf ya, Ibu sama Ayah belum sempat main. Kalian tahu sendiri kerjaan kami macam apa." "Iya gak pa-pa, Bu. Minta doanya saja, agar kami selalu di sehatkan semuanya. Ibu akan menjadi Omah dan Ayah akan jadi Opah. Ai hamil, Bu." "Alhamdulillah … masya Allah, ini kabar baik, Nak. Ya Allah, terimakasih karena sudah kembali mempercayakan anak kami menjadi Ibu." "Ibu … doakan Ai selalu sehat ya." "Pasti, Sayang. Cantiknya Ibu. Jaga diri ya, Nak. Jaga kesehatan!" "Ibu juga ya." "Angga, Ibu titip Ai ya, Nak. Jaga dia seperti kamu menjaga diri kamu sendiri." "Pasti, Bu." "Ibu masih harus kerja, nih. Pokoknya kalian jaga diri baik-baik. Wassalamualaikum." "Semangat kerjanya, Bu. Waalaikumsalam." *** Sebelumnya, Ai pernah terpuruk di masa lalu, di perkosa oleh kekasih lalu berakhir depresi. Kekasih di masa lalu, Mas Vian namanya. Ia adalah kekasih b******k yang berhasil m*****i kesucian, Ai. Depresi membuat gadis itu ingin bunuh diri, tapi selalu gagal karena Vian berhasil menghalaunya. Akhirnya, dengan segala keputusan yang ada dan hanya disetujui oleh mereka berdua, mulai menjalani sebuah pernikahan siri. Keduanya saat ini belum berani untuk membicara semua pada kedua orang itu, sehingga membuatnya tak berpikir panjang dan mengambil jalan pintas. Selama hidup kurang lebih enam tahun bersama Vian, tak pernah ada kebahagiaan dirasakan oleh Ai. Kesakitan, air mata, kecewa dan sakit hati selalu hadir di dalam hidupnya. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi, bahkan sikap psikopat sang suami istri itu sudah mendarah daging. Ia tak segan-segan melukai Ai jika sedang marah. Bukan hanya hati yang terluka, tetapi juga fisik. Pernah suatu waktu, Ai hampir terbunuh karena ulahnya. Saat itu, Vian pulang dalam keadaan mabuk dan terjadi pertengkaran hebat, reflek lelaki itu melempar vas bunga tepat di kepala Ai. Tanpa merasa bersalah, ia tak peduli dengan tangisan dan darah yang sudah mengucur. Mbok yang saat itu terbangun tengah malam langsung mendengar teriakan dan tangisan Ai bergegas mendekat lalu membawanya ke rumah sakit tengah malam. Ketika Vian sadar, ia kembali berubah seperti biasa, lembut, seakan mencintai tapi ia akan berubah ketika marah. Bukan hanya itu saja, demi harta Vian menghalalkan segala cara. Malam itu, ada acara tanda tangan kontrak oleh beberapa perusahaan. Melihat kecantikan dan kemolekan sang istri, ia pun punya pikiran gila. Ketika saingan lain membawa beberapa jumlah uang, Vian justru membawa Ai untuk kepuasan. b******k bukan? Tapi itulah kenyataannya. Trauma yang dirasakan benar-benar sangat dalam. Mbok, Rahma dan Rahmi adalah saksi hidupnya. Itu yang membuatnya dulu takut untuk menikah setelah berpisah dengan Vian. Tapi, Angga berhasil menyakinkannya bahwa ia akan memperlakukan Ai sebaik mungkin dan tak akan pernah menyakiti hatinya sedikit pun. Selama ini Mbok yang berhasil menguatkannya untuk tetap sabar dan bangkit. Mbok selalu merengkuh tubuh rapuhnya dan memberikan ketenangan juga semangat. Tak mudah memang, sebab Ai memang tipe wanita yang mudah terpuruk. Namun, Mbok dengan tenang tetap memberikan kenyamanan, ketulusan dan menguatkan bahu yang sering kali rapuh. Mbok selalu punya cara untuk membangkitkan kembali semangat, Ai. Mbok memang yang terbaik untuk Ai, selalu ada dalam keadaan apapun, baik senang, bahagia dan juga buruk. Itu sebabnya, Ai sangat menyayangi Mbok dan menganggapnya seperti keluar sendiri. *** "Sayang, nanti sore kita periksa ke dokter kandungan ya." "Baik, Apih, Sayang." Sepasang suami istri sedang asik dengan dunianya. Mereka kembali bercanda dan tertawa bersama. Sikap Angga berubah seperti anak kecil, sejak tadi ia seakan enggan untuk jauh dari istrinya. Menempel dan meluk terus, itu yang dilakukan olehnya. Ai sampai merasa risih dengan kelakuan suaminya yang aneh itu, tetapi mau bagaimana lagi? Ai sendiri merasa bahagia walaupun risih dan ia tak bisa melepaskan diri dari pelukan suaminya. "Pih, lepasin dong. Sesak tahu!" "Kenapa sih, Mih? Apih rindu tahu." "Sayang, sebenarnya yang hamil ini tuh siapa? Kamu atau aku, sih! Kok malah jadi kamu yang manja banget? Harusnya aku dong yang manja!" protes Ai. "Hehe, iya kok aneh ya? Tapi gak pa-pa, ah. Aku mau dekat Amih dan Adik bayi." "Ya tapi gak begini! Sesak tahu, ih, Apih!" "Iya … iya … hu … pelit!" "Bukan pelit, kamu peluk aku kenceng banget sampai sesak, huft!" "Maaf, gak tahu kenapa aku takut sekali jauh darimu." "Lebay kamu, Mas!" "Gak lebay, Sayang. Suer tekewer-kewer, loh!" Ai memutar bola mata malas, ada aja alasan sang suami untuk dekat-dekat dengannya itu. "Nyonya, Tuan!" "Iya, Mbok. Masuk!" teriak Angga. "Ada apa, Mbok?" "Ini, Mbok bawakan buah, Nyonya." "Loh? Aku gak minta, Mbok." "Tadi, Mami dan Ibu telepon Mbok harus kasih Nyonya buah dalam jangka waktu tiga jam sekali." "A-apa? Mami sama Ibu ini ada-ada saja! Nanti aku muntah gimana, Mbok?" "Gak, Nyonya. Kalau buah justru bagus untuk janin." "Begitu ya, Mbok?" "Iya. Mbok letakkan dimana ini?" "Di atas nakas aja, Mbok. Makasih ya," sahut Angga. "Sama-sama, Tuan." Mbok meletakkan buah yang sudah dikupas olehnya di atas nakas. Sesaat, Mbok memandang Ai dengan sangat lekat, pasalnya beliau tak pernah melihat Nyonya Aina merasa bahagia seperti ini, masa lalu justru membuat Aina selalu merasakan sedih, sakit, kecewa dan air mata selalu hadir di setiap waktunya. "Mbok, makasih," ucap Ai lembut. "Sama-sama, Nyonya." "Di makan ya, ini spesial pesanan dari Mami dan Ibu. Kalau Nyonya gak makan, bahaya nanti Mbok yang di marahi," kekehnya. "Iya, Mbok. Pasti di makan, tenang saja. Ada Angga yang mengingatkan!" sahut Angga. Mbok mengangguk lalu keluar dari kamar dan mereka kembali bersenda gurau. Mbok tersenyum saat melangkah keluar kamar, bahagia yang dirasakan oleh Ai dan Angga juga dirasakan oleh Mbok, keluarga dan kedua sahabat mereka, Rahmi dan Rahma. Semua orang turut bahagia dengan kebahagiaan yang Ai rasakan saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD