Curiga

1382 Words
Pertemuan memang tak selalu mulus, selalu saja ada yang tidak baik. Maka berusahalah menjadi baik setiap kali ada sebuah pertemuan. Namun kali ini, pertemuan yang mereka hadapi memang bukanlah pertemuan yang baik. Mimi merasa kesal, sehingga membuatnya lepas kendali. Memang di antara mereka bertiga hanya dirinya yang sangat pemberani. Mimi selalu menjadi tameng dan penolong untuk kedua adiknya itu. Ia adalah orang pertama yang paling tidak terima jika ada sesuatu yang terjadi dan ia akan menjadi berapi-api untuk menyelamatkan harga diri adiknya. "Oh, sakit ya? Kupikir gak sakit!" ucap Mimi penuh tekanan semakin mengencangkan jambakan di rambut wanita itu. "Kak!" tegur Ai. "Dam! Aku paling tidak suka ada manusia lancang yang tak punya sopan santun dan abad! Apalagi sampai berani menyakiti adik-adikku!!" "Sa-sakit! Le-lepakan!" "Tidak akan!! Rambutmu ini akan rontok jika kau tidak meminta maaf pada Ai!!" "Untuk apa aku minta maaf padanya? Salah juga gak!!" "Dasar ular!! Susah memang kalau urusan sama wanita tak punya otak dan adab!" "Kak, sudah! Lepaskan! Jangan seperti ini! Malu! Lihat banyak sekali orang yang memperhatikan kita!" tegur Ai lembut. Ia menatap sekelilingnya banyak sekali pasang mata yang memperhatikan mereka. Mungkin beberapa orang itu penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi ada juga beberapa orang yang justru masa bodo dan tak peduli dengan pertengkaran itu. "Biarkan wanita ini minta maaf terlebih dahulu, Ai!" "Tidak akan pernah!" "Aw!" teriaknya saat merasa kepalanya semakin sakit. "Kak, sudah! Aku tidak apa-apa. Jangan seperti ini!" "Mi, ayo sudah! Kita pergi saja! Malu! Banyak yang memandang sinis!" ucap Angga. "Kak, ayo dong! Jangan begini! Ini rumah sakit! Gak baik ribut-ribut seperti ini!" "Kak, ayo pulang! Kita harus menjaga Ai, 'kan? Dan dia juga harus banyak istirahat! Kalau kakak terus mengutamakan emosi, masalah sepele ini tak akan selesai dan waktu Ai untuk beristirahat terbuang sia-sia," jelas Ama memberi pengertian. "Lepaskan aku!! Dasar wanita bar-bar!!" makinya. Awalnya emosi Mimi sudah mulai stabil, tapi wanita di hadapannya ini memang sepertinya ngajak perang. Ia seakan sengaja untuk mencari masalah. "Ada apa ini? Ini rumah sakit! Bukan arena tanding! Jangan membuat onar! Banyak pasien yang sedang berobat karena sakit, jadi tolong jika punya masalah selesaikan di luar! Jangan di dalam!" tegur Pak Satpam. "Maaf, Pak. Kami minta maaf, ya," ucap Angga pelan. Pak Satpam bernama Supri itu mengangguk dan meminta mereka untuk menyelesaikan masalah di luar dan meninggalkan rumah sakit secepatnya. "Mimi! Ayo pulang! Jangan bikin masalah lagi! Biarkan wanita itu pergi! Percuma mau berurusan dengannya sampai kapanpun tak akan pernah selesai!" "Wanita licik akan selalu berbuat licik," tutur Angga membuat wanita itu melebarkan matanya. "Sudah, ayo! Aina harus banyak istirahat!" lanjutnya lagi. "Cih! Pantas saja, wanita licik toh! Menjijikan! Jangan-jangan dia adalah salah satu barisan sakit hati karena kamu menikah, Ngga!" sindir Mimi tersenyum sinis sambil memiringkan kepala. "Kurang ajar!" "Ah pantas saja tak dilirik bahkan Angga enggan untuk melirik, modelnya aja seperti ini, hahaha! Mau saingan sama Ai? Mampu gak, woi!" sindirnya kembali lalu melepaskan tangannya dari kepala wanita itu dengan gerakan cepat lalu membuatnya terhuyung jatuh ke belakang. Mimi berbalik arah mendekati sahabatnya lalu mereka melangkah pergi meninggalkan wanita itu yang sedang dibantu berdiri oleh beberapa orang. "Urusan kita, belum selesai!" ucap Mimi saat ia kembali menoleh ke belakang. Ama da Ai hanya menggelengkan kepala saja melihat sikap Miimi yang seperti itu. Rasanya susah sekali untuk menghilangkan sikap buruknya itu. Ya, walaupun mereka berdua sangat paham sekali dengan salah satu tabiat kakaknya itu. Tapi, tetap saja ada rasa ingin merubahnya menjadi lebih baik lagi. Pokoknya, bersahabat dengan dia itu sungguh mengharukan. Mimi tidak akan pernah terima jika orang-orang yang sangat disayanginya itu dihina atau disakiti oleh orang lain. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, Mimi akan berdiri paling depan untuk melawannya dan membelanya. Rasa kesal, muak dan amarah belum juga sirna dari hati dan pikiran Mimi. Beberapa kali ia mengumpat dan mengoceh membicarakan sikap wanita itu dan Mimi menyebutnya ular melata. Kenapa? Karena berani memeluk suami orang tanpa rasa malu! Layaknya ular yang selalu melilit mangsanya untuk menerkam. Mereka kembali melangkah menuju parkiran. Benar-benar Mimi tak ada lawannya, selama perjalanan menuju tempat parkir, gadis itu tak ada hentinya memaki dan menghina. Ama hanya menggelengkan kepala saja sedangkan Ai menghembuskan nafas kasar. "Kak, jangan seperti tadi! Harusnya bisa jaga sikap! Jadinya 'kan malu dilihat banyak orang bahkan sempat ditegur satpam." "Loh kenapa memangnya? Bukannya wanita ular itu pantas diberikan pelajaran? Biar gak makin ngaco dan makin keterlaluan, baik itu pada kita atau orang lain." "Nih ya, masih untung dia itu berurusan dengan kita! Coba kalau berurusannya dengan orang lain, mungkin saat wanita ular itu memeluk suaminya akan diteriaki pelakor," lanjutnya. Mimi memang luar biasa, ia menyelamatkan aku dari wanita ular itu. Semua yang diucapkan olehnya memang benar adanya, ucap Angga dalam hati. "Memang dasarnya kau itu terlalu baik, Ai! Suami dipeluk-peluk sama wanita kekurangan bahan seperti itu malah diam aja! Harusnya lawan!" "Please deh, Kak. Ai itu bukan kakak. Kakak selalu menyelesaikan emosi dengan amarah sedangkan Ai menanggapinya dengan santai. Ia akan diam selama itu tidak keterlaluan dan ia akan melawan jika sudah terkuras habis rasa sabarnya," jelas Ama. Ai beberapa kali terdengar menghembuskan nafasnya kasar, ia sebenarnya bukan tak marah hanya saja merasa tak ingin berurusan, itu sebabnya lebih baik diam terkecuali jika sikap wanita itu sudah sangat keterlaluan maka ia membalasnya dengan elegan. Mimi itu tipe orang mudah emosi dan marah. Jadi ya, tidak heran jika melihatnya tadi sangat amarah. Bahkan sampai sekarang, efeknya masih terasa. Kenapa? Ya karena Mimi terus ngoceh, memaki dan mengumpat. Ah, memanglah gadis itu jika sifat aslinya keluar maka akan sangat bar-bar sekali Lihatlah, bahkan sampai saat ini pun ia masih belum berhenti mengumpat. Padahal, kejadiannya sudah berlalu tapi tetap saja u*****n dan sumpah serapah tak terlepas. Melihatnya begitu Ai hanya mampu menggelengkan kepala saja. Ingin menegur juga rasanya percuma, sebab akan semakin panjang urusan. "Kak, sudahlah! Jangan buang-buang waktumu! Kau terus saja marah dan mengumpat, padahal kejadiannya sudah berlalu dalam beberapa waktu. Mungkin saja, dia juga sekarang justru sedang tertawa bahagia karena berhasil membuat emosimu membara." "Lagian ya, ini hanya hal sepele dan tak seharusnya di perpanjang, Kak. Aina tidak apa-apa, lihatlah! Terkecuali, Aina sampai kenapa-kenapa maka aku akan membantu kakak menyerangnya juga," tukas Ama. "Iya, Kak. Sudah ah, jangan diperpanjang! Ini masalah sangat amat sepele! Mungkin, dia juga tak sengaja menyenggol aku," timpal Ai. "Nih, lihat aku baik-baik saja! Tak ada yang terluka! Sudah, hentikan ocehanmu itu, Kak! Aku baik-baik saja! Jangan terus ngoceh, Ai pusing!" Ai mendengus kesal melihat sikap kakaknya berlebihan. "Tapi, Ai--" "Sudah, Mi! Sudah ya, jangan memperpanjangnya terus-menerus," tegur Angga. "Tapi aku gak suka! Wanita ular itu sungguh sangat sombong! Memangnya siapa sih, dia! Berasa paling cantik gitu? Cih! Menjijikan! Merasanya paling cantik padahal aslinya mengerikan!" "Hah? Mengerikan? Memang kenapa, Kak?" tanya Ama polos. "Iya-lah sangat amat mengerikan! Kamu tahu gak kenapa, Ama?" Adiknya itu menggeleng lemah. "Karena wajahnya macam boneka santet! Apalagi saat tatapannya itu memandang Angga. Beuh, tatapan seakan ingin menerkam layaknya dan terlihat menjijikan!" "Memangnya, Kak Mimi sudah pernah melihat boneka santet?" tanya Ama dengan wajah polosnya. Mimi yang mendengar ucapan bodoh adiknya itu hanya mendelik tajam. Ia merasa adiknya itu bloon dan polos sangat berbeda tipis sekali. Ai dan Angga menahan tawanya melihat kepolosan Ama dan kemarahan Miimi. "Terserah, Ama!" ucapnya penuh penekanan. "Ish, kakak ini! Lah wong beneran aku tanya, kok!" "Dan aku malas jawab!" "Ish, ya sudah! Kakak jangan marah-marah terus, dong! Kepala aku pusing tahu mendengar ocehan kakak yang gak mutu itu!" seloroh Ama. Hening. Setelah ucapan Ama membuat mereka diam dan tak ada lagi ocehan di antara mereka semua. Langkah kaki mereka semakin cepat menuju parkiran. Mereka berempat melangkah besar-besar agar untuk sampai di parkiran dengan cepat. Aku, merasa ada yang aneh dengan pertemuan tadi. Sikap wanita itu terlihat sangat aneh sekali, sorot dalam matanya memancarkan cinta. Aku sangat penasaran, siapakah gerangan wanita itu? Apakah dia salah satu mantan suamiku dulu? Tatapan matanya begitu berbinar saat melihat suamiku tepat berada di hadapannya. Aku cemburu? Pasti, istri mana yang tidak cemburu melihat suaminya ditatap dengan tatapan penuh cinta oleh wanita lain? Wanita itu seakan enggan memalingkan wajahnya dari Mas Angga dan ketika ia mengetahui bahwa aku adalah istrinya, sikap wanita itu langsung berubah drastis. Aku harus mencari tahu, tapi bagaimana caranya? Apakah nanti sesampainya dirumah aku sindir-sindir saja ya Mas Angga biar ngaku? Kurasa ide itu tidak terlalu buruk, ucap Aina dalam hati dengan perasaan kacau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD