Bab 2 Gosip

1655 Words
Kupeluk tubuh Habib yang kurus dengan erat sambil menangis. Membelai lembut, lalu mengusap rambutnya yang hitam lurus. Berusaha untuk menenangkan, agar tidak terlalu bersedih karena kepergian ayahnya. Mata para tetangga mulai menatapku dengan pandangan dingin, dan kaku. Kasak-kusuk terdengar cibiran dari mulut mereka. “Habib, ayo kita masuk, Nak! Tidak baik terus berada di luar,” ucapku lirih. “Ayah, pergi Bunda,” kata Habib sembari memelukku. “Duh, ada janda baru di kampung kita, nih. Ibu-Ibu harap waspada dengan Ayi sekarang. Dia baru saja mendapat gelar janda baru karena suaminya menceraikannya sewaktu pulang,” sela Bu Lina tetangga sebelah kananku. “Kasihan, sudah ditinggal merantau lima tahun pulang malah diceraikan,” ucap Bu Irma menimpali. Wanita bertubuh tambun tersebut suka gosip. Aku hanya mengelus d**a mendengar cibiran para tetangga. Ada rasa perih yang mengalir dalam hati ini. Seperti diperasi air lemon. Segera kubawa Habib masuk ke dalam rumah untuk menghindari fitnah, dan ghibah para Ibu-Ibu. Sesampai di dalam rumah, kututup pintu dengan rapat. Aku segera membawa Nara untuk mandi karena hari semakin senja. Habib masih duduk di kursi bambu yang sudah mulai lapuk, dengan memeluk lututnya. “Nak, bantu Bunda untuk mengangkat kain di luar. Sebentar lagi akan turun hujan,” ujarku. Habib melangkah dengan gontai menuju jemuran belakang. Mendung menutupi awan yang gelap di langit. Di atas sana terlihat menghitam seperti asap yang mengepul. Sebentar lagi akan turun hujan. Kalau dilihat dari gelapnya mendung dari arah barat. Awan hitam bergulung-gulung menyelimuti langit, seperti hatiku yang kini dilanda badai kehancuran. Dari rumah tangga yang selama lima tahun aku bina. Hampir sebelas tahun hidup dengan Mas Anan, dalam suka dan duka. Semuanya sirna begitu saja. *** Malam yang dingin terasa menembus kulit dari dalam. Hujan turun dengan deras, hingga membuatku harus banyak menampung air dari genang hujan. Atap rumah semuanya pada bocor. Ember dan baskom plastik pun berjejar, di atas lantai semen yang sudah mulai retak sana-sini. Kupeluk erat tubuh Nara yang mulai kedinginan karena tertetes air hujan. Sementara Habib mulai terlihat menggigil juga karena menahan dingin. Akibat guyuran air dari atap yang bocor. “Habib, kemarilah, Nak! Mendekat sama Bunda biar baju kamu tidak basah,” ucapku. Habib segera bangun dari tidurnya. Kemudian mendekat ke arah pojokan tempat tidur. Tanpa ranjang hanya beralaskan tilam busa yang sudah tipis. Tilam pemberian dari Bu Helmi sewaktu mengantar cucian. Bu Helmi adalah istri kepala desa. “Bunda, dingin,” keluh Habib. Dia meringkuk menahan rasa dingin yang kian menusuk ke tulang. “Pakai ini, Nak!” Kusodorkan baju hangat yang dipakai agar dia bisa merasa nyaman. “Bunda, kenapa Ayah benci sama kita dan tidak mau pulang,” ucapnya polos. Jantungku terasa nyeri ketika dia mengatakan kalimat itu. “Ayah gak benci sama kita, Nak. Mungkin hatinya belum terbuka, kita doakan saja agar Ayah diberi hidayah dan menyadari kesalahannya.” “Bunda, Adek haus,” ucap Nara. Segera aku beranjak dari tempat tidur, untuk mengambilkan air minum buat Nara. “Ini minumlah!” kuberikan segelas air putih untuk putri kecilku. Dia meneguknya hingga habis, dan memberikan gelas bekas minumnya padaku. “Makasih, Bunda,” balasnya. Kembali Nara melanjutkan tidurnya. Kemudian ku balutkan selimut ke tubuh mungilnya. Malam ini kami tidur dalam keadaan meringkuk menahan dingin, hingga menjelang waktu subuh sampai hujan reda. Rasa beku yang menusuk tulang masih terasa akibat guyuran hujan semalam. Aku bangkit untuk menunaikan salat subuh sebelum akhirnya kubangunkan Habib. Untuk melaksanakan kewajiban lima waktu juga. “Habib, bangun, Nak! Ayo kita salat subuh!” ucapku sembari mengguncang tubuhnya pelan. “Sakit, Bunda,” keluhnya. Kusentuh kening Habib refleks. Badan Habib panas, dia demam. “Habib, kamu demam, Nak. Astagfirullah, badan kamu panas banget Bib.” Berulang-ulang kutempelkan punggung tanganku untuk mengukur suhu badan Habib. Aku segera berlari ke dapur menyiapkan air dingin, untuk mengompres kening Habib. “Bunda akan mengompres mu, Nak. Untuk sementara agar panasmu sedikit turun. Nanti Bunda akan membelikan obat di warung Bu Tini kalau sudah pagi,” ujarku. Habib hanya mengangguk pelan. “Iya, Bunda.” Memastikan keadaan Habib baik-baik saja aku segera melaksanakan salat subuh. Dan membereskan ember serta baskom yang dipakai untuk menampung air hujan semalam. Pukul tujuh pagi aku bergegas ke warung Bu Tini. Rumahnya yang terletak lima ratus meter dari gubukku. Rencananya membeli beras, dan lauk tempe untuk dimasak hari ini. Setelah berjalan beberapa menit akhirnya tujuanku tiba di warung Bu Tini. Banyak para Ibu-Ibu sudah mulai memadati warungnya. “Bu, beli berasnya satu kilo saja. Bayam seikat dan tempe satu bungkus,” ucapku. “Sebentar ya, Ayi!” Bu Tini segera mengemas belanjaan yang aku minta. “Ini semuanya delapan belas ribu.” “Ini uangnya, Bu. Kembaliannya kasih obat penurun panas saja,” ujarku. “Siapa yang sakit, Ayi?” tanya Bu Lala menimpali. “Habib, Bu. Semalam dia demam,” jawabku singkat. “Kalau panas bawa ke dokter atau puskesmas Ayi. Biar diperiksa,” potong Bu Izah. Aku hanya meremas ujung hijab yang menutupi kepala sembari menunduk. “Mana mungkin, Ayi bisa membawa anaknya berobat Bu. Dia’ kan miskin,” sela Riri yang baru saja datang ke warung. Aku terdiam. “Makanya jadi istri kudu dandan kayak aku biar suami gak selingkuh. Kamu, sih tiap hari Cuma pakai kerudung panjang dan gak modis. Pantesan suamimu kabur dan menceraikanmu,” cibir Riri memajukan ucapannya. Dengan bibir yang diolesi lipstik merah merona, bibir seksinya terlihat mengerucut saat mencibirku dengan gamblangnya. “Eh, sudah Ibu-Ibu. Masih pagi jangan menggosip. Kasihan’ kan Ayi baru tertimpa musibah,” ucap Bu Tini membelaku. “Halah ... jangan kasihan Bu. Bisa-bisa nanti ngelunjak dia,” lanjut Riri. Para Ibu-Ibu yang mendengar ucapan Riri semuanya tertawa sembari mencibirku. “Hahaha ... benar tuh, Ri. Sekarang kan, Ayi janda jangan sampai suami kita tergoda dengannya,” sela Bu Izah menimpali. Sakit rasanya mendengar mereka mengejekku. Para tetangga begitu saja menyudutkan tanpa memikirkan perasaan. Kalau bisa memilih, sejujurnya aku juga tidak ingin menjadi janda. Kutahan air mata yang sedari tadi terasa perih. Ingin meluncur deras begitu saja. “Eh, sudah Ibu-Ibu jangan bergosip lagi! Ayi juga gak mau hidup miskin dan menjanda,” sahut Bu Helmi yang tiba-tiba muncul di warung. Bu Helmi wanita yang sangat baik selalu memberi pertolongan padaku, saat dalam keadaan terdesak seperti ini. Beliau wanita separuh baya yang berumur setengah abad, tetapi mempunyai sifat yang ramah dan baik hati. “Ayi, nanti datanglah ke rumah Ibu untuk mengambil cucian,” ucapnya. Aku mengangguk. “Iya, Bu.” Segera aku berlalu dari hadapan para ibu-ibu yang masih bergosip ria. Menggunjingkan kehidupan pribadiku. Samar kudengar Riri masih mencibir, dan memojokkan statusku yang baru menyandang janda. “Bu Helmi, gak usah terlalu baik sama Ayi. Nanti bisa-bisa Pak Kades malah kepincut dengannya,” cibir Riri. Samar kudengar dia menggibah tanpa takut dosa. Aku segera menjauh dari warung dan mempercepat langkahku menuju ke rumah. Di depan rumah aku berpapasan dengan Ustaz Rahman. Dia berhenti di jalan tepat di depan gubuk reotku. “Ayi, dimana Habib? Apa dia tidak sekolah?” tanyanya sambil melihat ke dalam rumah. Wajahnya terlihat mencari sosok Habib. Biasa habib berangkat ke sekolah selalu di bonceng Ustaz Rahman. Menggunakan motor matic miliknya. Jarak dari rumah ke sekolah bisa dibilang jauh. Hingga memakai waktu tiga puluh menit untuk berjalan kaki. “Habib sakit, Pak Ustaz,” sahutku cepat. “Sakit? Sakit apa, Ayi?” tanya Ustaz Rahman. “Demam, badannya panas hingga tidak bisa pergi ke sekolah,” jawabku. “Sudah dibawa ke dokter, Ay?” tanya Ustaz Rahman. Aku menggeleng pelan. “Belum.” Ustaz Rahman menghela napas berat. Kemudian merogoh saku celananya, dan memberikan uang selembar berwarna biru kepadaku. “Ini ambillah untuk berobat, Habib!” Ustaz Rahman menyodorkan uang lima puluh ribu. “Gak usah, Pak Ustaz,” tolakku. “Aku tahu kamu sangat membutuhkan biaya untuk pengobatan Habib, Ayi. Ambil saja! Aku ikhlas memberikannya padamu.” Sekali lagi aku hanya menggeleng menolak pemberiannya. Ustaz Rahman adalah pemuda tampan yang menjadi idaman gadis desa. Tidak jarang para gadis akan menyapanya dengan senyuman manis, atau sekedar cari perhatian darinya agar bisa mendapatkan perhatian lebih. “Gak usah, Pak Ustaz,” sergahku. “Aku gak mau merepotkan,” ucapku sembari berlalu dari hadapannya. “Tunggu, Ay!” Ustaz Rahman menahan langkahku. Aku berbalik dan menoleh ke arah Ustaz Rahman, yang masih berdiri di depan rumah. “Anggap saja ini gaji Habib yang dibayar di muka. Jadi kamu tidak perlu sungkan menerimanya,” ujarnya sembari menyodorkan uang itu kembali. “Habib pasti bersedih, Pak Ustaz. Jika uang gajinya aku pakai buat biaya berobat.” “Rezeki pasti ada yang lain, Ay. Percayalah. Tidak dari tanganku pasti dari tangan orang lain. Terimalah! Segera bawa Habib berobat biar cepat sembuh dan bisa sekolah lagi. Dan juga membantuku mengajar mengaji anak panti,” ucap Ustaz Rahman mengulas senyum. Dengan ragu-ragu kuterima pemberian Ustaz Rahman. “Terima kasih, Pak Ustaz,” ucapku. Ustaz Rahman mengangguk pelan. “Iya.” Setelah memberikan uang, dia pun berlalu dari hadapanku dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah untuk mengajar. Ustaz Rahman berprofesi sebagai guru PNS di kampung ini. Juga mengajari anak-anak yatim mengaji secara gratis tanpa dipungut biaya sepeser pun. Para orang tua serta warga kampung mempercayakan anak mereka pada Ustaz Rahman. Untuk membimbing dan mengajari ilmu agama dunia, dan akhirat. Warga kampung membayar Ustaz Rahman seratus ribu per bulan. Ada banyak murid yang diajari mengaji oleh Ustaz Rahman. Bila sepulang sekolah tepat jam empat sore, mereka sudah berkumpul di rumahnya untuk belajar mengaji. “Bunda,” sapa Nara yang baru bangun dari tidur. “Kamu sudah bangun, Nak?” tanyaku tersenyum. Kugendong tubuh mungil Nara yang baru bangun tidur. Kucium pucuk kepalanya dengan lembut. “Laper,” ucapnya. “Sebentar ya? Bunda akan masak di dapur,” ucapku. Kududukkan Nara di atas balai-balai bambu. Sesaat kemudian menyalakan kompor dengan pemantik. Memasak dengan bahan yang ada biar anak-anak tidak kelaparan. Kemiskinan sudah membuatku jatuh bangun. Dalam menghidupi Habib dan Nara. Meski kehidupan kami terbilang miskin, setidaknya aku masih bersyukur. Kedua anakku tak banyak mengeluh dengan keadaan. *** Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD