Bab 2

676 Words
Malam itu rumah keluarga Pratama terlihat megah sekaligus dingin. Dari jalan utama, pagar besi setinggi tiga meter berdiri kokoh, dijaga dua satpam berseragam rapi. Begitu mobil Nurra memasuki halaman, lampu-lampu taman otomatis menyala, memperlihatkan rumah bergaya kolonial dengan pilar-pilar putih menjulang. Orang-orang sering menyebut rumah itu seperti istana kecil di tengah kota. Bagi Nurra, rumah itu lebih mirip museum. Segalanya terlalu sempurna, terlalu rapi, terlalu sepi. Pelayan membukakan pintu mobil, menunduk hormat. “Selamat malam, Mbak Nurra.” Nurra tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Suasana dalam rumah tak kalah megah—lantai marmer mengilap, lukisan pahlawan nasional berjejer di dinding, lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit tinggi. Aroma kayu cendana dari diffuser menguar, bercampur dengan wangi masakan dari dapur. Di ruang makan, meja panjang sudah disiapkan. Piring porselen, gelas kristal, sendok garpu berkilat. Ayahnya duduk di ujung meja, jasnya masih terpakai meski dasi sudah dilonggarkan. Tablet terbuka di depannya, menampilkan berita politik terkini. Ibunya duduk di sisi lain, gaun biru pastel membalut tubuh rampingnya. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya tampak cantik dan berwibawa—seperti sosok ibu negara di majalah. “Selamat malam, Nak,” ucap ibunya, tersenyum sekilas. “Duduklah. Kita makan.” Nurra menuruti. Suara gesekan kursi di lantai marmer terdengar terlalu keras, membuatnya makin sadar akan keheningan yang menekan. Makan malam keluarga Pratama jarang diwarnai percakapan hangat. Biasanya hanya suara sendok garpu bertemu piring, atau suara pelayan menuang sup. Sampai akhirnya, ayahnya angkat bicara. “Besok ada seminar nasional di Balai Kota,” katanya, matanya masih terpaku pada layar tablet. “Kamu harus ikut, Nurra. Duduk di depan, pastikan kamera menangkapmu. Itu penting untuk citra keluarga kita.” Nurra menatap ayahnya, mencoba bicara hati-hati. “Tapi… besok aku ada kelas, Yah. Kalau absen, nilainya bisa terpotong.” Ayahnya baru mengangkat kepala, sorot matanya tajam. “Kelas bisa ditinggalkan. Nama keluarga tidak. Orang lain belajar demi masa depan mereka. Kamu belajar demi masa depan keluarga besar kita. Bedanya jauh, Nurra.” Seolah hatinya diremas, Nurra menunduk. Ibunya menimpali, suaranya lebih lembut tapi tak kalah menekan. “Kakekmu dulu berjuang dengan darah dan nyawa untuk negara ini. Ayahmu berjuang di parlemen dengan kepala dingin. Kamu… tidak boleh gagal menjaga kehormatan itu. Ingat, satu celah saja bisa dimanfaatkan lawan politik.” Di benak Nurra, wajah kakeknya kembali muncul—foto hitam putih besar di ruang tamu. Seragam militer, tatapan tajam, senyum tipis penuh wibawa. Orang-orang menyebutnya pahlawan. Bagi Nurra, kakeknya simbol beban yang tak bisa ia lepaskan. Pelayan menghidangkan ayam panggang. Nurra menusuk dagingnya dengan garpu, tapi tidak benar-benar lapar. Ayahnya kembali berbicara, kali ini nadanya lebih serius. “Saya dengar ada keributan di kampus sore tadi. Ada perkelahian. Kamu ada di sana?” Jantung Nurra melonjak. Ia mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap datar. “Enggak, Yah. Aku langsung ke perpustakaan habis kelas.” Ayahnya menatapnya lama, seolah berusaha membaca pikirannya. Lalu akhirnya mengangguk kecil. “Bagus. Jangan pernah dekat-dekat hal semacam itu. Kamu bukan orang biasa, Nurra. Kamu simbol.” Simbol. Bukan anak. Kata itu menusuk hatinya lebih dalam dari pisau. Nurra mengangguk patuh, tapi di dadanya ada api kecil yang mulai berkobar. Setelah makan malam selesai, Nurra kembali ke kamarnya di lantai dua. Kamarnya luas, dindingnya putih dengan jendela besar yang menghadap ke kota. Semua terlihat sempurna: lemari kayu jati, tempat tidur king size, rak penuh buku hukum dan politik. Tapi baginya, kamar itu seperti sangkar emas. Ia membuka jendela, membiarkan angin malam masuk. Dari balkon, ia bisa melihat lampu kota Jakarta berkelip—seperti bintang yang jatuh ke bumi. Pelan-pelan, ia melepaskan sepatu dan duduk di kursi dekat jendela. Hening. Di balik hening itu, pikirannya kembali pada momen sore tadi. Tatapan itu. Tatapan Edi. Tatapan yang bukan hanya menantang, tapi juga seolah berkata: Lo bukan sekadar nama besar. Lo manusia. Gue liat lo. Untuk pertama kalinya, Nurra merasa dilihat bukan sebagai cucu pahlawan perang atau anak tokoh politik. Tapi sebagai dirinya sendiri. Dan itu… menakutkan sekaligus membebaskan. Tangannya menggenggam map biru erat-erat. Hatinya berperang. Apa artinya menjaga nama keluarga kalau itu berarti kehilangan dirinya sendiri? Pertanyaan itu menggantung di udara malam, tak berjawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD