Rapat Organisasi
Ruang rapat lantai dua gedung B biasanya sepi, tapi sore itu penuh. Mahasiswa duduk melingkar, kertas agenda rapat berserakan, laptop terbuka, suara ketikan bercampur dengan percakapan. Nurra duduk tegak dengan map birunya, siap membacakan poin-poin untuk persiapan seminar nasional.
“Agenda pertama, pematangan konsep seminar minggu depan,” suara Raka, ketua rapat, terdengar.
Nurra mengangguk, sudah menyiapkan catatan.
Pintu berderit. Semua kepala menoleh.
Edi.
Ia masuk santai, kemeja putih dengan lengan tergulung, rambut sedikit berantakan. Di tangannya hanya ada selembar kertas kosong. Senyum tipisnya langsung mengubah suasana ruangan: beberapa mahasiswa bisik-bisik, beberapa terdiam kaku.
“Ediba?” Raka terdengar ragu. “Ada keperluan?”
Edi mengangkat kertas kosongnya. “Katanya butuh dokumentasi. Gue bisa pegang kamera.”
Alasan itu terdengar asal, tapi tidak ada yang berani menolak.
Tanpa menunggu izin, ia menarik kursi dan duduk tepat di seberang Nurra. Tatapannya sesekali menyeberang meja, membuat tangan Nurra salah menulis dua kali.
“Dia ngapain sih?” bisik Salma di sampingnya, kesal.
Vanya menahan tawa. “Kayak film. Bad boy nongol pas rapat formal.”
Nurra berusaha fokus, tapi setiap kali mengangkat kepala, matanya bertabrakan dengan milik Edi. Dan senyum itu… selalu menunggu.
Perpustakaan
Keesokan harinya, Nurra memilih perpustakaan untuk menenangkan diri. Ia sengaja mengambil meja di pojok, jauh dari pintu masuk. Tumpukan buku hukum perbandingan ada di hadapannya, catatan makalah sudah mulai ia tulis.
Hening. Sampai sebuah kursi berderit di seberang.
Edi. Lagi.
“Lo ngapain di sini?” bisik Nurra, berusaha tidak menarik perhatian.
“Belajar,” jawabnya santai, membuka buku tebal yang bahkan terlihat masih berdebu.
“Belajar? Lo?” Nurra hampir tertawa.
Edi menyandarkan dagu di tangan, menatapnya lurus. “Lo suka meremehkan gue, ya?”
Nurra buru-buru menunduk, pena bergerak di kertas. Tapi setiap detik terasa berat, karena tatapan itu menusuk, menolak pergi.
Beberapa menit berlalu. Lalu, sebuah buku hampir jatuh dari meja. Refleks, Nurra meraih ujungnya. Di saat yang sama, Edi juga mengulurkan tangan.
Jari mereka bersentuhan.
Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Nurra tercekat. Kulit Edi hangat, kasar sedikit, kontras dengan kulit halusnya.
Ia buru-buru menarik tangan, wajahnya memanas. “Maaf,” bisiknya cepat.
Edi tersenyum samar. “Lo selalu buru-buru kabur.”
“Karena gue nggak suka deket sama lo.”
“Bohong.” Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi jelas menusuk telinga Nurra.
Nurra menutup bukunya keras-keras, mencoba mengakhiri percakapan. “Lo nyebelin.”
Edi terkekeh pelan. “Tapi lo tetep duduk di sini. Bareng gue.”
Nurra tak menjawab, tapi detak jantungnya masih berlari. Sentuhan singkat itu membekas lebih lama daripada yang mau ia akui.
Bazar Seni Kampus
Hari Jumat, lapangan kampus berubah jadi bazar seni. Tenda makanan berjejer, musik akustik mengalun dari panggung, aroma sate bercampur dengan wangi kopi. Mahasiswa lalu-lalang, tertawa, berfoto.
Nurra datang bersama Salma dan Vanya, berharap bisa menikmati suasana normal.
“Yuk, beli es kopi. Panas banget,” ajak Vanya.
Baru saja mereka mengantre, Salma tiba-tiba mendesis. “Tuh orang lagi.”
Nurra menoleh.
Edi.
Berdiri santai di dekat panggung, rokok terselip di jarinya. Beberapa mahasiswa pria menyapanya dengan gaya kagum, beberapa perempuan melirik diam-diam.
Dan lagi-lagi, mata mereka bertemu.
Nurra buru-buru memalingkan wajah.
“Dia kayak bayangan,” gumam Vanya. “Selalu ada.”
“Bukan bayangan,” sahut Salma dingin. “Kutukan.”
Nurra ingin menyangkal, tapi langkah Edi mendekat.
“Lo lagi,” katanya saat jarak mereka hanya tinggal satu meter.
Edi menyeringai. “Kebetulan.”
“Ini bukan kebetulan. Lo sengaja muncul terus.”
“Kalau iya?” Tatapannya tajam, suaranya pelan tapi menusuk. “Lo takut? Atau seneng?”
Kata-kata itu membuat Nurra terdiam.
Sebelum ia sempat menjawab, Salma menarik lengannya. “Nur, kita pindah.”
Mereka bertiga berjalan cepat menjauh. Tapi Nurra tahu, tanpa harus menoleh, bahwa Edi masih menatapnya. Tatapan yang tak pernah hilang.
Malam di Kamar
Malam itu, Nurra duduk di tepi ranjang, lampu meja belajar menyala redup. Map biru terbuka, tapi tulisannya kosong.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan.
Edi selalu muncul. Di rapat. Di perpustakaan. Di bazar. Dimanapun ia berada, lelaki itu ada. Seperti bayangan yang menolak pergi.
Dan semakin ia mencoba menjauh, semakin kuat tarikan itu terasa.