2. Sulit memaafkan

3011 Words
Di lantai kamar hotel, barang-barang Aleta tersebar berantakan. Tangannya tidak berhenti membolak-balik lipatan baju, mengintip kantung tersembunyi dan celah mana pun yang memungkinkan sebuah kartu terselip. Tetapi setelah dia memeriksa semuanya tanpa terkecuali, kartu debitnya benar-benar hilang. Apa itu memang hilang saat di perjalanan? Padahal kartu itu adalah satu-satunya sisa uang yang dimiliki Aleta setelah sang ayah memblokir kartu kreditnya. Kalau begini jadinya, jangankan seminggu, satu hari saja Aleta tidak bisa bertahan. Sang ayah pasti sudah mengetahui bahwa dia bertukar peran dengan Arumi dalam pernikahan. Dan sudah bisa dipastikan beberapa orang suruhan akan datang mencari Aleta cepat atau lambat. Dia sekarang dalam masalah besar; dia kabur di detik terakhir pernikahannya dan bertukar dengan saudara kembarnya sendiri. Jika sang ayah tidak marah, itu hal yang mustahil. Sejak dulu, sang ayah, Adiyaksa Iskender Shihab, sangat disiplin dalam mendidiknya. Abiyaksa terbiasa tegas dan keras, hampir tidak mentolerir kesalahan yang diperbuat anak-anaknya. Namun, Aleta sekarang bukan anak remaja lagi, dia tidak bisa lagi hanya diam dan patuh ketika kebahagiaannya akan dipertaruhkan, dia harus melawan. Semasa SMA dulu, Aleta dipaksa untuk sekolah di luar negeri hanya karena dia ketahuan pacaran dengan Danu. Sebenarnya itu bukan alasan utama keluarga mereka pergi ke Turki, pada saat itu Arumi sakit keras dan harus segera menjalani perawatan terbaik, keluarga sepakat membawanya ke Turki. Selain karena keluarga mereka punya rumah sakit di sana, Turki juga merupakan negara kelahiran sang ayah dan seorang sahabat merekomendasikan pengobatan di sana untuk Arumi. Yang salah bukan Danu atau Aleta, melainkan keadaan mereka. Di sisi lain juga dipicu Abiyaksa yang melarang tegas Aleta untuk berpacaran di usia segitu dengan alasan dia akan mewarisi rumah sakit keluarga mereka dan dia harus mencari suami yang bisa membimbingnya dalam bidang itu. Itulah awal mula kenapa Aleta bisa putus secara sepihak dengan Danu. Jadi jika sekarang Danu mau menyalahkannya, Aleta tidak bisa berbuat apa-apa, karena Aleta tidak menjelaskan apa pun ketika dia pergi. Sekarang Aleta hanya berharap Danu mau mendengarkannya jika dia mengungkap apa alasannya pergi di masa lalu dan membiarkan Danu kembali menilai. Namun, sayang sekali, pikiran Aleta terlalu naif. Jangankan mau memaafkannya, bahkan untuk mendengarnya bicara saja Danu sangat enggan. Aleta sudah terlambat lima belas tahun untuk meminta maaf. Jadi apakah sia-sia baginya memutus perjodohan itu hanya untuk kembali pada Danu? Saat ini Danu tampan dan mapan, dia juga baik hati dan lembut, lelaki seperti dia mungkin sudah punya wanita di sampingnya, bukan? "Sadar, Al, dia nggak mungkin mau sama kamu lagi." Aleta tersenyum pahit. Dia mengambil ponselnya yang telah terisi sedikit baterai, melihat banyak pesan dari Arumi, lalu tanpa basa-basi meneleponnya. "Rumi?" "Astaga, Al. Kamu ke mana aja sih susah dihubungin? Di mana kamu sekarang? Apa Danu masih di situ?" Aleta menyandarkan dirinya di tepi ranjang. "Bukannya aku udah ngabarin kamu lewat HP Danu?" "Iya, tapi abis itu Danu nggak bales apa-apa lagi waktu aku kirim pesan." Aleta bergumam, tidak menjawab apa pun dan membiarkan sambungan tetap menyala sembari dia melihat isi koper yang berantakan. "Al, kamu baik-baik aja? Jadi apa kamu udah baikan sama Danu?" Suara Arumi terdengar cemas. Mata Aleta langsung panas mendapat pertanyaan yang menyentuh titik lemahnya itu. "Gimana aku mungkin aku baik-baik aja, Rum? Semuanya nggak semudah yang aku bayangin. Danu udah benci banget sama aku." Arumi mendesah. "Danu pasti masih butuh waktu." "Berapa lama lagi waktu yang dia butuhin untuk maafin aku? 20 tahun? 100 tahun?" Aleta tak habis pikir. Sesungguhnya jawaban itu sudah jelas di depan mata. Sebelum memutuskan untuk kembali ke Indonesia, Aleta sudah mempersiapkan diri pada penolakan ini, meninggalkan seseorang tanpa alasan selama lima belas tahun, tentu saja siapa pun akan marah. Tetapi entah kenapa rasanya masih begitu sakit. "Danu jadi tambah ganteng sekarang." Aleta tertawa di tengah air matanya. "Suaranya masih sama kayak dulu, tingginya, wajahnya, hidung, bibir dan semuanya. Aku kangen banget sama dia." Air mata Aleta kini tidak bisa ditahan lagi. "Kalau udah begini, apa kamu yakin untuk tetap tinggal di sana?" Arumi memberi pertanyaan lain. "Trus aku harus ke mana?" Nada Aleta meninggi. "Papa udah blokir kartu kredit aku, dia pasti udah tahu soal ini!" "Hah?" Arumi tiba-tiba memekik dan membuat Aleta harus menjauhkan ponselnya. "Papa udah tau? Trus gimana? Apa orang-orang Papa ngejer kamu sampe sana?" "Untungnya belum." "Apa kamu masih punya cukup uang? Papa seharusnya nggak setega itu untuk blokir kartu kamu yang lain dan—" "Telat, Rum. Walaupun Papa nggak blokir kartuku, kartu debitku udah ilang. Aku nggak tau apa yang harus aku lakuin sekarang. Aku mungkin harus cari pekerjaan di sini." Arumi kehilangan kata-kata. Mencari pekerjaan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika mereka ada di Turki saat ini, ada banyak koneksi yang bisa membantu Aleta keluar dari masalah. Hanya saja Aleta kembali ke Indonesia, tanpa sanak saudara dan teman, apalagi koneksi. Pekerjaan Aleta sebelumnya adalah mengurus rumah sakit keluarganya di Turki, dia tidak punya pengalaman dalam bidang lain, mencari pekerjaan di luar sana pasti sulit. "Gimana kalau aku minta bantuan Danu?" "Jangan, Rum." Aleta berkata cepat-cepat. "Jangan libatin dia, biar aku selesain masalah ini sendirian." "Nggak bisa gitu, Al. Tanpa uang kamu nggak akan bisa menopang diri kamu bahkan sehari. Di mana kamu tinggal sekarang dan seterusnya?" "Sekarang aku di hotel." "Kamu punya uang untuk bayar hotel?" "Danu yang bayar ini, dan aku janji bakal balikin uangnya. Aku punya waktu seminggu." Terdengar helaan napas Arumi yang kesekian kali. "Aku akan kirim uang ke kamu secepatnya, setidaknya bisa untuk biaya kamu makan beberapa hari." Aleta sangat berterima kasih, ini cara tercepat sementara untuk bertahan hidup sebelum Abiyaksa tahu bahwa Arumi mengirimkan uang padanya. Jika sang ayah sampai tahu, Arumi pasti bakal ikut dimarahi, Aleta tidak mau itu terjadi. "Maafin aku, Rumi. Kalau Papa dateng—" "Ssst, aku bantu kamu untuk kepentinganku juga. Kamu yang tahu gimana aku jatuh cinta sama Rasyad, yang bahkan aku nggak berani bilang langsung ke Papa." Suara Arumi melunak. "Masalah ini sejak awal salahku, kalau aku mengaku suka sama Rasyad, pernikahan ini nggak akan terjadi." Aleta hanya bisa tersenyum mengingat masa-masa itu, di mana Arumi begitu emosional saat dia mengungkapkan bahwa dia menyukai Rasyad Adskhan yang notabene dokter pribadinya selama dia menjalani terapi. Rasyad adalah dokter jantung berkebangsaan Turki yang dipilih ayahnya secara langsung karena kemampuan hebatnya. Dan begitu saja, Abiyaksa jatuh hati pada kecerdasan Rasyad, pada akhirnya berpikir untuk menjodohkannya dengan Aleta. Jika ini disebut perjodohan bisnis, ayahnya pasti tidak keberatan. Toh, dia memang menjodohkan keduanya dengan maksud meneruskan garis pewaris rumah sakit keluarga mereka. "Kamu jangan pikirin itu sekarang. Aku cuma takut Papa marah sama kamu. Aku bakal merasa nggak enak." "Kalau kamu ngerasa begitu, buktiin kamu bakal baik-baik saja di sana. Aku di sini baik-baik aja, Al. Rasyad sangat ngertiin aku, dia bakal bantu aku ngomong ke Papa." Aleta tersenyum dan keduanya memutuskan panggilan telepon. Pagi keesokan harinya, Aleta menarik uang yang diterimanya di akun bank melalui kliring. Dia pergi ke bank siang harinya untuk membuat kartu bank yang baru, kebetulan saat dia mengurus surat kehilangan kartu, dia bisa menunjukkan bukti kehilangan dan dalam beberapa hari, dia bisa melakukan proses pembuatan kartu baru. Saat itu, langit sangat cerah dan lalu lintas di Kota Jakarta sangat ramai. Aleta berjalan ke beberapa tempat dengan menyamar. Dia bermaksud untuk mencari tempat yang memungkinkannya bekerja. Aleta siap bekerja apa pun, dia sadar tidak bisa memilih-milih pekerjaan dalam waktu mendesak seperti ini. Karena pengalamannya dalam mengelola rumah sakit, setidaknya dia punya dasar untuk mengatur beberapa hal. Maka dia pergi untuk melihat gedung-gedung besar yang menjanjikan, sebelum akhirnya mencari info lowongan di website online. Tanpa koneksi sang ayah mungkin akan terasa sulit, tapi Aleta ingin punya pengalaman dengan mencari pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Ini juga bisa menjadi pembuktian untuk sang ayah nanti bahwa Aleta bukan anak kecil yang harus diatur dari A sampai Z. Dia adalah wanita mandiri yang bisa berjuang di kakinya sendiri. Dia pasti bisa. *** Di tempat lain, Danu baru saja keluar dari ruang rapat dan kembali ke ruangannya. Saat itu dia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Arumi, keningnya langsung berkedut. Ini sudah hampir dua hari sejak dia mengantar Aleta dengan selamat ke hotel, berhubungan dengan saudara kembar mantannya itu, membuat Danu tidak nyaman. Saat dia diam bermaksud mengabaikan panggilan telepon itu dan perasaan emosionalnya, Arumi meneleponnya lagi. Satu dua kali wajar, kalau sudah masuk ke lima kali, mungkin ada yang penting. Danu akhirnya menjawab telepon itu. "Halo, Rumi?" "Syukurlah kamu akhirnya angkat telepon juga. Aku pikir kamu sibuk," jawab suara lega Arumi yang bersemangat. "Aku memang sibuk dan ini jam kerja." Makan siang baru saja dilewatkan Danu karena rapat penting dengan investor saham yang baru. Ada proyek yang kebetulan sedang digarapnya bersama dengan beberapa kolega, dia sudah lembur selama berhari-hari dan kurang tidur, jelas Danu tidak sedang bersantai. "Lain kali kalau penting, tinggalin pesan aja," lanjut Danu kemudian, berusaha terdengar dingin dan tak peduli. Tetapi apa orang lain akan merasakan usahanya itu, tentu saja, bagi Arumi sendiri, dia mengerti mengapa Danu berusaha menghindar. Danu beralasan untuk mengirim pesan jika itu penting, tapi hanya Danu yang tahu apa dia akan membalas pesan atau tidak. Ataukah dia hanya akan melihat pesan dan menghapusnya tanpa melihatnya kedua kali. Dan Danu sudah melakukan itu sejak kemarin, Arumi tidak mau menyinggung. Arumi hanya berkata, "Kalau cuma pesan, aku takutnya kamu nggak sempat lihat dan menurutku lebih enak lewat telepon. Apa sekarang kamu lagi makan siang?" Danu berkata tak sabar, "Ada apa lagi, Rum?" "Danu, maaf banget, tapi aku butuh bantuan kamu lagi," kata Arumi pada intinya, "bisa nggak kamu bantuin cari kontrakan buat Aleta? Dia sekarang kekurangan uang, Dan. Tinggal di hotel bakal boros banget." "Arumi, sebenernya kamu mau aku bagaimana? Aku udah bilang, aku bisa bantu kamu sekali, tapi untuk berkali-kali apalagi untuk Aleta, aku nggak bisa. Apa pun niat kamu di belakang sana, tolong, Rum, aku nggak mau ada hubungan apa pun lagi sama Aleta." Arumi tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Wanita itu mungkin kaget karena tidak percaya Danu akan mengatakan hal ini. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Aku ngerti sekarang. Kamu belum maafin dia." "Apa kita akan bahas ini?" "Bukan begitu maksud aku, Dan. Oke, awalnya aku memang ingin bikin kalian berbaikan, tapi apa tujuanku itu sangat buruk? Kalian pisah tanpa penjelasan apa pun, aku hanya mau kamu tau alasan yang sebenarnya." "..." "Di sisi lain, aku juga khawatir sama Aleta, dia pergi ke Indonesia tanpa bekal apa pun. Kartu kredit diblokir Papa dan kartu debitnya juga ilang, jadi sekarang aku minta bantuan kamu semata-mata karena aku nggak tau siapa yang bisa aku mintain tolong, Dan." Danu mendengarnya dengan baik, tapi tidak membalas apa pun. "Dan, tolong maafin Aleta ya? Alasan dia pergi ninggalin kamu dulu itu karena aku. Bukannya aku udah bilang sama kamu alasannya kemarin?" Arumi menekan semua kata-katanya berharap Danu akan mengerti. "Tapi udah terlambat lima belas tahun untuk itu." "Kalau aja waktu itu aku nggak sakit, mungkin ini semua nggak terjadi. Salahku juga karena aku nggak kasih tau kamu secepatnya." Danu tidak habis pikir, untuk apa dia membahas masalah di masa lalu sekarang? Dia memang sudah mendengar bahwa Arumi sakit keras sehingga keluarga mereka pergi ke luar negeri untuk pengobatannya, tapi Aleta yang Danu tahu dalam keadaan baik-baik saja waktu itu, tidak memberikan penjelasan apa pun. Bahkan kalau Aleta memberitahunya, apakah Danu akan marah? Apakah Aleta tidak percaya bahwa Danu akan mengerti keadaan itu? "Kamu salah paham, aku udah maafin Aleta. Aku cuma nggak mau ada hubungan apa-apa lagi sama dia." "Tapi, Dan—" "Soal nyariin dia kontrakan aku bisa bantu, aku bisa minta teman aku untuk hubungin dia. Apa kamu puas sekarang?" *** Aleta masih tidak mengerti, dia hanya tidak memberikan alasan kepergiannya di masa lalu, tapi seolah-olah dia telah berbuat kejahatan berat. Memang dia datang kembali ke kehidupan Danu setelah lima belas tahun dan itu sangat amat terlambat, tapi apa perlakuan Danu pantas diterimanya? Pagi itu, ketika Aleta sedang menulis surat lamaran kerja di laptopnya, panggilan asing di telepon datang, mengatakan bahwa dia bernama Bagas dan akan membantu Aleta mencari kontrakan untuknya. Karena itu terlalu mendadak, Aleta menolaknya cuma-cuma. "Kenapa bukan dia sendiri yang hubungin aku coba? Berat banget buat dia untuk nelepon mantannya sendiri?" gumam Aleta kesal. Meskipun dia butuh kontrakan setelah check in hotel habis, dia tidak terima jika Danu tidak meneleponnya sendiri. Ngomong-ngomong, darimana Danu tahu kalau Aleta lagi butuh kontrakan? "Pasti Arumi," gerutu Aleta. Padahal dia sudah mengatakan pada Arumi untuk tidak meminta bantuan pada Danu. Sekarang setelah Danu tahu masalah ini, pria itu pasti berpikir bahwa Aleta sengaja meminta Arumi untuk menghubunginya. Danu pasti berpikir bahwa dia malas berhubungan dengan Aleta lagi dan melemparnya kepada orang lain. Baik! Danu tidak ingin Aleta menghubunginya lagi? Aleta tidak akan melakukannya. Danu masih butuh waktu untuk memaafkan Aleta? Itu juga tidak masalah, Aleta akan menunggunya, seratus bahkan seribu tahun dan dia akan berhenti ketika Danu akhirnya memaafkannya. Apa Danu pikir Aleta akan pergi setelah ditolak seperti ini? Tentu saja tidak. Tidak sampai Danu mendengar alasannya. Pada jam sepuluh, Aleta keluar dari kamar hotel untuk mencari sarapan. Dia baru saja selesai melamar di beberapa tempat dengan ijazah terakhir yang dimilikinya dan sekarang ingin jajan. Ketika baru saja akan turun ke lobi, resepsionis menelepon ke kamarnya dan berkata bahwa seseorang datang untuk menemuinya. "Apa dia datang dari tadi?" tanya Aleta pada petugas resepsionis. "Baru saja datang, Bu." Petugas itu menunjukkan ruang tunggu tamu yang berada di dekat lift. Aleta masuk ke sana hanya untuk berharap menemukan orang yang dikenalnya, tapi ternyata itu adalah wajah asing. 'Waduh, apa ini jangan-jangan orang suruhan Papa?' Aleta hampir lupa bahwa dia pasti akan dikejar ayahnya sampai ke ujung dunia. Dia baru akan pergi, tapi orang lain sadar akan kehadirannya. "Kamu yang namanya Aleta?" Orang itu bertanya sambil mendekat. Aleta kehilangan kesempatan untuk kabur dan berbalik. "Siapa kamu?" "Perkenalkan, saya Bagas Lefrando. Panggil saja Bagas. Pak Danu menyuruh saya ke sini untuk mengantar kamu melihat kontrakan baru." Benang kusut di kepala Aleta menyatu. Lelaki ini terlihat rapi dan berwibawa, perawakannya sedang, kulitnya putih dan cara bicaranya baik. Dia pasti bukan orang jahat, apalagi dia menyebutkan nama Danu. "Kamu yang nelepon tadi?" tanya Aleta. "Iya, benar." Aleta merasa lega. "Panggil aku Aleta aja, jangan terlalu formal." Setelah mereka berbasa-basi, ternyata Bagas adalah sekretaris pribadi Danu. Karakter Bagas yang cakap dan banyak bicara membuat keduanya akrab dengan cepat. Bagas berkata bahwa Danu sangat sibuk beberapa hari ini karena banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur. Aleta ingin percaya, tapi dia menduga Danu menyuruh orang lain karena dia enggan melihat Aleta. Ketika Bagas menjelaskan maksud kedatangannya ke sini, dia juga membawa Aleta ke sebuah gedung bertingkat tinggi dengan fasilitas lengkap dan terlihat bergengsi dari luar. Itu sebuah apartemen. "Kenapa kamu bawa aku ke sini?" tanya Aleta kaget. Dilihat dari perawatan gedung dan megahnya fasilitas; ada taman bermain, mall, tempat spa, lapangan olahraga dan lain-lain, ini pasti bukan apartemen murahan. "Pak Danu udah sewa satu apartemen di lantai 20 selama tiga bulan. Dan semua akomodasi pembayaran tagihan akan dilibatkan ke rekening beliau, jadi kamu bisa langsung pindah kapan pun." Bagas menjelaskan dengan baik. Hal itu membuat Aleta lebih tercengang. Apartemen sudah disewa selama tiga bulan dengan harga perbulannya yang tinggi. Ini jelas namanya boros uang. Aleta memang butuh kontrakan baru untuk dia tinggal sementara, tapi bukan tempat semahal ini. Apa Danu sengaja membuatnya berutang? "Kamu nggak perlu khawatir soal biaya. Pak Danu bilang, ini tidak perlu diganti." Apanya yang tidak perlu diganti? Danu jelas sedang menunjukkan betapa dia sangat sombong! "Nggak, nggak. Aku nggak bisa nerima ini!" Lift berdenting bersamaan dengan kalimat terakhir Aleta. Bagas sepertinya sudah menduga tentang penolakan ini dan dia tidak terusik, dia tetap berjalan menuju kamar yang telah disewa bosnya dan membukanya dengan kartu. Kamar itu lumayan luas dan layaknya rumah minimalis. Ada ruang tamu, satu kamar tidur terbuka di lantai atas, dapur, kamar mandi, ruang tengah dan beranda. "Pembayaran nggak bisa direfund, sebaiknya kamu jangan sia-siain ini. Baru kali ini aku lihat Pak Danu begitu buru-buru mencari kontrakan untuk seseorang. Pak Danu memang baik, beliau terbiasa melakukan semuanya secara terencana sehingga orang lain akan merasa nyaman." Aleta tak bisa berkata-kata. Begitu saja Bagas memberikannya kartu kamar dan pamit pergi. Sebelum pergi lelaki cakap itu berkata, ini mungkin akan jadi pekerjaan terakhirnya sebelum dia mengundurkan diri, dia berharap Aleta tidak membuat usahanya sia-sia karena awal bulan depan dia mungkin tidak bisa membantu lagi. Aleta tidak mengerti maksudnya. Sampai dua hari berikutnya dia tidak bisa berhenti untuk mencoba menghubungi Danu, tapi ponsel lelaki itu selalu dalam mailbox. Satu atau dua jam ponsel mati itu wajar, jika sampai dua hari, Aleta yakin bahwa Danu mengganti nomornya. Hari ini bertepatan dengan interview dari kantor tempat dia melamar. Kantor ini berpusat di Jakarta Barat dan punya gedung ganda dengan halaman luas dan akreditas yang bagus. Saat Aleta membaca informasi kantor, perusahaan itu bergerak di bidang properti dan memasarkan real estate mewah di tempat yang asri. Posisi yang kosong pada saat itu adalah menjadi sekretaris CEO mereka. Yeah, walaupun Aleta tidak berpengalaman, tapi dia tahu sedikit banyakan pekerjaan itu karena dia pernah menjadi direktur rumah sakit sebelumnya, jadi dia berpikir untuk melamar. Begitu dia masuk ke gedung, ada banyak pelamar yang juga datang dan digiring melalui pintu karyawan. Sebelum Aleta sempat pergi dalam rombongan, tiba-tiba tangan seseorang menariknya dengan kasar dan dia dibanting ke sudut yang sepi. "Sekarang apa lagi mau kamu, Al? Kamu bahkan ngikutin aku sampai sini? Belum puas kamu udah ngerepotin aku berkali-kali?" Suara berat yang letih terdengar saat Aleta baru mengaduh. Perlahan-lahan dia mendongak, dan menemukan Danu di sana. "Kamu di sini juga?" "Nggak usah basa-basi! Udah pasti kamu tahu aku di sini, makanya kamu datang untuk cari aku, 'kan? Apalagi mau kamu sekarang? Kamu belum puas sama apartemennya? Masih kurang mewah?" Aleta berusaha mencerna kalimat itu, tapi dia semakin bingung. "Apa maksud kamu, Dan? Aku ke sini bukan untuk nemuin kamu." "Bukan untuk nemuin aku?" Danu tertawa mencela. "Lalu untuk apa kamu ke sini? Kamu mau melamar kerja? Wah, kalau aku tahu kamu jadi kandidat di sini, bisa dipastikan aku nggak akan meloloskan kamu. Ingat itu, Aleta." Danu melepaskan cengkeramannya di lengan Aleta dan pergi dengan wajah marah. Setelah mendengar kata-katanya, Aleta tidak bisa tenang lagi. Danu juga bekerja di tempat ini? Jika saja Aleta tahu, dia juga mungkin akan menghindari tempat ini sebaik mungkin. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD