2. Pemuja Rahasia

1641 Words
Bukan hal sulit untuk Sarif mencari tahu siapa nama gadis itu. Kesulitannya adalah apa yang harus Sarif lakukan. Mendekatinya tiba-tiba tidakkah itu benar-benar terkesan gampangan. Ini mungkin rasa sesaat Sarif yang tertarik pada Putri. Tapi ia tidak ada niat buruk sedikit pun. Saat ini yang Sarif inginkan hanya menyapanya, berbicara dengannya, mengenalnya. Sarif ingin meninggalkan kesan baik pada Putri. Apa Sarif terlalu tergesa-gesa. Atau haruskah Sarif menunggu. Menunggu dan tidak melakukan apa-apa sama saja dengan tidak memulainya sama sekali. Sejujurnya Sarif bukan tipe yang mudah terpikat seperti ini. Dalam dunianya selama ini yang sepenuhnya menguasai perhatian hanya sepak bola. Suka terhadap lawan jenis, tentu saja ada tapi itu bukanlah perioritas Sarif. Cinta adalah satu bagian dari kehidupan dan Sarif meyakini akan datang masanya sendiri nanti. Awalnya pun Sarif bukan yang sengaja tentang Putri, tidak sama sekali. Sesuatu dalam hati yang terasa tiap kali Sarif melihat Putri, mendorongnya untuk memberanikan diri. Lebih cepat dilakukan Sarif rasa akan semakin baik, dengan begitu bisa segera dipastikan keadaan apa sebenarnya yang ia alami saat ini. Menyapa dan mengajaknya bicara rasanya itu tidak mungkin Sarif lakukan. Sarif bukan orang yang biasa basa-basi atau mudah dekat dengan orang yang baru dikenalnya. Andai bertemu pun apa yang akan Sarif bicarakan pada Putri, mendatanginya tanpa keperluan pasti. Tidak mungkin juga Sarif mentah-mentah menyatakan perasaan yang ia rasakan pada Putri begitu saja. Satu cara yang terpikir oleh Sarif adalah menulis surat untuk Putri. Meski kuno tapi ini cara aman dan terbaik yang dapat Sarif pikirkan untuk memulai langkah pertama. Dengan menulis surat Sarif dapat memilah-milih perkataan yang baik dan tepat. Dan semoga ini tidak berkesan sebagai pendekatan yang gegabah bagi Putri. Isi surat yang Sarif tulis untuk Putri. Kehadiran yang tiba-tiba. Keberadaan bagai angin yang dapat dirasakan namun tidak tampak oleh mata. Begitulah arti hadirku bagimu.. Sebelum membaca lebih jauh surat ini, perkenalkanlah aku sebagai teman asing seperjalananmu. Di mana kita menumpangi kereta dalam rangkaian yang sama. Duduk di kursi sebelah dengan tempat tujuan yang masing-masing dari kita tidak saling mengetahui. Beberapa stasiun terlewat, aku hanya diam-diam memperhatikanmu dari kursi sebelah tempatmu duduk terdiam yang tengah membaca buku. Melihatmu yang terpikir olehku, ‘ke mana tujuanmu pergi seorang diri di malam dalam kereta yang berbahaya ini. Tidakkah kamu merasa takut pergi seorang diri?’ Aku ingin menyapamu tapi tidak ingin mengganggumu yang begitu tenggelam dalam buku yang kau baca. Maka kuurungkan niatku itu, lebih baik jangan karena tidak sopan dan kamu mungkin tidak berkenan. Kereta masih terus berjalan, terdengar sesekali peringatan pemberhentian di tiap stasiun. Kau tetap terduduk tanpa memberi tanda-tanda akan turun di stasiun berikutnya. Di luar hujan mulai turun, kamu menyadari dari tetes-tetes hujan yang membasahi kaca jendela. Sepanjang perjalanan, pertama kalinya kamu berpaling mengangkat wajah dari buku untuk mengamati tetes air hujan. Saat itulah aku berpikir, inikah saatnya untuk aku menyapamu? Maksud dari tulisanku di atas adalah, sejujurnya bagiku ini bukanlah kehadiran yang terjadi begitu saja secara tiba-tiba. Aku yakin kamu tidak tahu bahwa selama ini tanpa sepengetahuanmu aku selalu memperhatikanmu. Tapi aku tidak ingin selamanya memperhatikan secara diam-diam, karena itu akan lebih tidak sopan atau bahkan menimbulkan kesalah pahaman. Aku tidak ingin itu terjadi. Jika kamu tidak berkenan maka aku hanya akan tetap duduk diam sampai kereta tiba di tempat tujuanku. Setidaknya aku tidak akan merasa menyesal karena telah kucoba untuk menyapamu. Teman asingmu Sarif Surat Sarif telah siap. Permasalahan yang tersisa, bagaimana caranya agar surat ini bisa sampai ke tangan Putri dengan selamat. Bukan Sarif tidak ingin bertemu Putri karena tidak memiliki keberanian tapi Sarif berpikir di posisi Putri yang mungkin saja tidak merasa nyaman jika mereka bertemu. Lalu yang terpikir oleh Sarif adalah meminta bantuan dari satu-satunya harapan, seorang yang dia kenal dari kelas 1-4. Surat itu Sarif titipan pada Lia di pagi hari sebelum kelas dimulai. Menjelang siang saat jam istirahat, Lia menghampiri Putri untuk menyerahkan langsung surat titipan yang ia terima. Kebetulan Putri memang sedang beristirahat di dalam kelas saja, berdiam diri. Lia hanya berkata “Ada titipan.” Saat menyerahkan surat lalu pergi tanpa berkata hal lain. Putri agak bingung karena di amplop surat tidak tertulis nama si pengirim atau pun kepada siapa surat itu ditujukan. Takutnya kalau-kalau Lia salah orang. Ingin mengkomfirmasi pun Lia sudah berlalu pergi. Putri ragu apakah akan membuka surat itu untuk membaca isinya atau akan memastikannya lagi pada Lia saat ia kembali nanti. Di tengah kebimbangannya, bel pertanda istirahat selesai berbunyi. Putri simpan surat itu di selipan buku dalam tas. Jam pelajaran dimulai tapi pikiran Putri masih tertambat pada surat itu. Usai sekolah, di kelas 1-4. Sebagian besar anak kelas 1-4 telah meninggalkan kelas. Satu-dua orang anak tetap tinggal untuk menyelesaikan catatan pelajaran. Ada juga yang tengah membereskan barang bersiap pulang. Ada beberapa anak yang masih betah berlama-lama santai bercakap-cakap di kelas bersama teman. Juga ada Putri yang baru saja selesai membaca isi surat misterius yang di terimanya dari Lia saat istirahat tadi. Setelah dibaca Putri malah semakin bingung. Karena meski ada nama si penulis surat tapi tetap tidak ada kejelasan tentang kepada siapa tepatnya surat itu ditujukan. Jika benar salah orang, maka Putri telah melakukan keselahan dengan membaca surat yang bukan miliknya. Untuk memastikan sebaiknya Putri tanyakan asal-usul surat pada sang penyampai surat. “Benar itu untukmu, aku terima sendiri dari si pembuat surat.” Tandas Lia menghapus keraguan. Kalau begitu surat ini memang benar ditujukan untuk Putri. Tapi Sarif si pengirim surat, Putri tidak mengenalnya. “Kamu mengenalnya? Maksudku orang yang bernama Sarif?” “Iya, dia sepupuku. Aku pernah bercerita tentang dia padamu, apa aku tidak memberitahumu namanya?” “Cerita yang mana?” Putri merasa bingung. “Itu, cerita tentang orang yang kukenal. Yang mengejar Kak Dimas sampai ke sekolah ini.” “Cerita itu... Orang itu Sarif?” Putri mulai teringat. Tapi kini Putri semakin bertambah bingung. “Apa maksudnya Sarif menulis surat ini padaku?” “Memang apa yang dia tulis.” Kini Lia mulai penasaran. Untuk sejenak Putri mempertimbangkan antara memperlihatkan surat yang ia terima pada Lia atau tidak. Tapi Putri tidak bisa menemukan jawaban dari misteri surat ini seorang diri. Lia membaca isi surat Sarif. Ia menghela panjang begitu selesai membaca. “Jujur aku tidak bisa menangkap apa yang ingin Sarif sampaikan dari surat ini.” Lia menyerah. “Aku sudah katakan padamu, dia suka menulis puisi atau semacamnya. Tapi sejak dulu aku tidak bisa mengerti apa yang dia tulis.” Sayangnya Lia tidak bisa membantu Putri untuk mendapat jawaban. Tinggallah Putri seorang diri harus bergelut dengan teka-teki misteri surat dari Sarif untuknya. Apa yang harus Putri lakukan. Tapi jika diamati dalam surat, Sarif tidak meminta Putri untuk membalas. Kalau begitu apa akan baik-baik saja untuk Putri abaikan. *** Kehidupan tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan. Surat kedua datang tanpa diduga. Beberapa waktu berlalu sejak surat pertama, Putri sendiri hampir melupakannya. Kali ini surat datang dari siswa yang Putri tidak kenal, yang pasti bukan siswa satu kelas dengan Putri. Tahun ajaran baru dimulai sekitar dua bulan lalu, wajar jika Putri belum menghafal wajah teman-teman satu angkatan. Putri sendiri baru hafal nama teman-teman sekelasnya dan mendapat beberapa teman dekat. Tapi orang yang bernama Sarif si pengirim surat, Putri pribadi belum tahu rupanya seperti apa. Putri tidak berencana untuk sengaja mencari tahu selama ini. “Surat Put?” Tanya teman sebangku Putri. “Iya.” “Dari siapa?” Tanyanya lagi. “Oh! Em, seseorang.. yang kukenal.” Secara tidak langsung memang benar Putri mengenal Sarif. “Hemm.. Penggemar rahasia ya?” Kata teman lain mulai menggoda Putri. “Bukan, aku pikir dia hanya merasa bosan jadi menulis surat.” Putri dengan tegas menyangkal. Anna tersenyum jail. “Dari temanmu? Kalau begitu coba buka!” “Eh itu..” Bagaimana bisa Putri membuka suratnya di depan teman-teman. Egi senang melihat Putri gugup salah tingkah. “Nah lho dari siapa hayo? Kenapa disembunyikan?” Bukan Putri bermaksud ingin menutupi, hanya saja surat itu, Putri menganggapnya sebagai keisengan. Putri memang tidak memiliki alasan untuk bersikap sensitif, jadi Putri membuka surat dan mulai membacanya di hadapan teman-teman. Maafkan atas kelancanganku yang kembali mengirim surat seperti ini. Aku teramat resah memikirkan bagaimana tanggapanmu dengan perlakuanku padamu yang mungkin kamu menganggap tidak sopan dengan hanya mengirim surat seperti ini. Aku bukan tidak ingin bertemu denganmu, hanya saja maukah kamu bertemu denganku? Hal Itu yang membuatku ragu. Jika kamu berkenan untuk kita bertemu. Aku akan segera menemuimu langsung secepatnya. Namun tetap atas persetujuanmu terlebih dulu. Teman asingmu Sarif Putri bisa bernafas lega isi surat tidak terlalu panjang. Dan tidak ada perkataan yang perlu dikhawatirkan untuk dibaca secara umum di depan teman-temannya. Isi surat ini cukup aman, dan kali ini Putri dapat mengerti apa yang ingin Sarif sampaikan melalui surat. “Tertulis Sarif, si pengirim surat?” Tanya Egi yang sedari tadi duduk di samping Putri. “Setahuku ada beberapa nama Sarif atau yang serupa itulah di angkatan kita. Tapi tidak menutup kemungkinan orangnya bisa jadi kakak kelas.” Anna mengemukakan perhitungan layaknya seorang detektif. Putri merasa cemas ketika teman-temannya menganalisa surat dan mencoba menemukan keberadaan si penulis. “Kamu yakin mengenal Sarif si pengirim surat ini Put?” Rekan sebangku Putri curiga, menangkap Putri yang bersikap janggal. “Bagaimana maksudmu?” Putri malah balik bertanya. “Dari isi surat ini rasanya...” Egi berhenti. “Tidak. Lupakan saja.. Bukan apa-apa.” Egi mengurungkan niat untuk menyampaikan arti surat menurut firasatnya. Anna dan Egi beradu pandang, bertukar senyuman tipis. Untuk kedua teman Putri, niat dari pengirim surat dapat mereka tangkap sangat jelas tapi sepertinya tidak begitu dengan Putri. Bagi Anna dan Egi hal itu sangat menarik. Mereka tidak terpikir Putri akan sepolos ini. Sementara Putri tidak menyadari perilaku teman-temannya yang mengawasi dengan tatapan penuh arti. Putri terlalu mencurahkan pikirannya pada isi surat. Karena lagi-lagi isi surat tidak menyebutkan untuk menulis balasan. Apa jika dibiarkan nanti juga Sarif merasa bosan sendiri dan berhenti. Yang terpikir oleh Putri untuk dilakukannya saat ini yaitu segera mencari Lia untuk meminta saran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD