Revisi Peraturan

3393 Words
Daniella mengendikkan bahu sedangkan Nash hanya tersenyum mendengar adiknya itu bertanya seperti itu. Ia dapat menebak, adiknya itu pasti tengah berusaha menguping di depan pintu kamarnya. “Kau membuatku merasa seperti w************n, Nash!” bentak Daniella tiba-tiba. Nash berbalik, terlalu kaget dengan reaksi tiba-tiba Daniella. Ia memikirkan alasan wanita itu marah lalu memikirkan mengapa mereka sekarang ada di sini. “jangan lupa, kau juga sudah membuatku sebagai pria yang merayu bosnya demi kedudukan dan memanfaatkan situasi,” balasnya. Daniella tersentak, apa Nash sedang mengatakan kalau ia sedang balas dendam? “Tapi aku tidak melakukannya dengan sengaja, Nash,” “Dengan menghilang dan tidak bisa dihubungi selama aku mendapat perlakuan tidak enak dari semua orang kantor dan dipecat tanpa hormat?” “Nash, aku tidak sengaja menghilang!” suara wanita itu meninggi, “ponselku bahkan benar-benar mati dan aku memang sengaja meninggalkannya di sini supaya liburan kami benar-benar jadi quality time.” Jelas Daniella. Ia mendekati Nash, meraih salah satu tangan Nash untuk digenggamnya. “Aku sudah menjelaskan semuanya pada mereka,” “Dan kamu tidak mungkin dipecat karna kamu adalah pemilik aturan itu, iya kan?” Daniella mengerang. Dulu ia sempat bertanya tentang pelanggaran aturan itu dan apakah ia akan dipecat kalau ia melanggar. Tapi siapa yang akan memecatnya dari perusahaannya sendiri? “Kalau kamu ingin aku juga keluar dari sana,” “Itu tidak mungkin,” Nash memotong ucapan Daniella. “Kamu bosnya. Akan jadi apa perusahaan tanpa pemimpin?” tanya Nash lagi lebih pada pertanyaan angin lalu. “Sudahlah. Aku akan mencari pekerjaan lain,” “Tapi kamu bisa kembali Nash. Mereka sudah menerima soal kita,” “Kurasa tidak,” Daniella memandang Nash dengan frustasi. Ia tahu, sulit bagi Nash buat kembali lagi setelah apa yang terjadi. Apalagi keadaan yang membuat mereka memang benar-benar menjalin hubungan. Ia memikirkan segalanya. Tentang dirinya dan Nash. “Kalau kamu keluar,” Daniella meragu dengan kata-kata yang tertahan di ujung lidahnya. “apa-apakah kesempatanku juga sudah habis?” ia menjeda, “maksudku, bagaimana dengan perasaanku, Nash?” “Urus sendiri perasaanmu.” Jawab Nash ketus. Daniella spontan menjatuhkan tas yang sedari tadi menggantung di tangannya. “Ya ampun, Nash, itu benar kata-katamu?” ucapnya tak percaya. Ia memang menjadi pihak yang mencintai di sana, tapi bisakah pria itu sedikit memikirkan perasaannya. Bukankah waktu itu ia mendengar kata cinta dari Nash? “Mengalami ini semua membuatku sadar kalau kita memang tidak seharusnya melakukan ini, Ell,” “Kenapa?” tanya Daniella lebih tegas, wajahnya sudah keruh dan bersiap menumpahkan kesesakan yang ia rasakan. “Tidak perlu bertanya kenapa. Kita memang tidak pantas. Lihat,” Nash menunjuk dirinya sendiri kemudian mengarahkan pandangan ke segala isi ruangan kecil itu. “jika kamu amati ruangan ini, kamu pasti akan melihat banyak sekali perbedaan dengan apa yang ada di rumahmu.” Gadis itu terdiam. Ia memikirkan maksud dari perkataan Nash hingga jawabannya muncul. Rupanya perbedaan itu yang tidak bisa menyatukan mereka. “Kenapa pikiranmu sempit sekali, Nash?” ia bertanya sambil terkekeh, “kupikir selama ini kau pintar hingga hal-hal seperti ini takkan ada di otakmu.” “Jangan menganggap sepele hal ini, Ell. Orang-orang kantor bahkan,” “Persetan dengan mereka, Nash, aku tidak peduli!” Daniella membentak, ia menghempaskan dirinya ke atas kasur kecil di ruangan itu. “Bahkan ayahku menikahi ibuku yang hanya gadis jalanan yang bekerja serabutan demi bertahan hidup. Ibuku yang tidak berpendidikan dan hidup sebatang kara, kau tahu?” katanya dengan membentak di pertanyaan terakhir. “Aku tidak dibesarkan untuk memiliki pikiran sesempit itu, Nash,” lanjutnya. Nash mengerang membayangkan kisah di balik orang tua Daniella. Jika memang dengan bersatu adalah jalan menuju bahagia, harusnya materi bukanlah sesuatu yang penting. “Nash,” bisik Daniella, air mata sudah jatuh di pipinya. “pernah tidak kamu mencoba untuk membalas perasaanku?” Nash diam. Selama waktu yang terlewat tanpa suara, jawaban Nash tak kunjung terdengar. Daniella mungkin harusnya menyerah. “Baiklah, aku akan mengurus perasaanku ini sendiri.” Daniella beranjak dari posisi duduknya. Punggung tangan kirinya mengusap air mata di wajahnya tanpa berhasil menghilangkan bekas. “Perusahaanku masih membutuhkan karyawan dan kembalilah jika kamu tidak keberatan. Aku akan menjelaskan semuanya dan kamu tidak usah khawatir, semuanya akan baik-baik saja setelah ini.” Akhirnya ia memilih meninggalkan ruangan itu. Pintu di depan Nash sudah menelan punggung Daniella. Pria itu masih berpikir. Apa sih Nash yang masih kamu pikirkan? _ “Ada apa lagi sih, Nash?” Daniella menjerit, memberontak pada Nash yang menyeretnya seperti sapi hendak disembelih. “Nash?” ibunya pun bertanya-tanya ketika melihat kejadian itu. “Abang?” ditambah jeritan Nagita. Nash mengabaikan pertanyaan bertubi-tubi dari tiga wanita itu. Fokusnya ada pada Daniella. Ia terpaksa menyeret wanita itu karena perlawanan yang diberikannya. Maafkan Nash .. maafkan. “Sumpah, Nash, kamu benar-benar b******k!” Nash mengabaikan bentakan Daniella dan memilih mengunci pintu kamar yang baru beberapa menit yang lalu ditinggalkan Daniella. Sekarang wanita itu malah kembali berada di sana. “Pada awalnya kamu memperlakukan aku seperti w**************n dan sekarang dalam sejam kamu sudah membuat aku terlihat murahan di depan ibu sama adikmu sendiri, Nash!” Daniella tak habis pikir. Beberapa menit yang lalu ia masih berbincang sebentar dengan ibu Nash sekalian pamit. Tapi tiba-tiba saja pria itu datang dan menyeretnya tanpa alasan yang jelas. “Kenapa sih kamu suka memberikan istilah murahan, Ell?” tanya Nash. “Karna kamu yang membuatku berpikir tentang diriku seperti itu!” “Tapi aku tidak pernah berpikir ke sana sekalipun,” Nash mengutarakan pembelaannya. Daniella yang selalu mengatai dirinya murahan, bukan dia. “aku saja bahkan benci mendengarmu bicara seperti itu.” Daniella tidak peduli. “Ada apa lagi?” tanyanya to the point. Antisipasi seorang wanita langsung dilakukan Daniella ketika Nash bukan menjawab pertanyaannya melainkan mendorong tubuhnya hingga terduduk di kasur. Bahkan bekas ia duduk tadi masih membekas di sana rasanya. Dalam waktu sebentar Daniella merasa dunianya sudah menjelajah jauh. Dari tadi bermacam perasaan sudah berganti-ganti di dirinya. Sekarang ia bahkan tidak tahu perasaan apa ini. “Aku menarik kata-kataku tadi,” “Hah!” Daniella tertawa, “bahkan hitungan jam saja belum, Nash, kamu sudah mau menjilat ludahmu sendiri,” “Persetan,” balas Nash, mendorong Daniella hingga telentang di kasur dengan kaki menggantung. “aku bahkan sudah membalas perasaanmu sejak dulu, kamu saja yang tidak sadar,” bisik Nash. Bibir pria itu membelai kulit wajah wanita di bawahnya. “aku bahkan tidak sadar dengan besarnya godaan ini selama ini,” ia mendaratkan bibirnya di bibir Daniella. “Nash,” Nash menekan wajahnya lebih dekat pada Daniella, “Ell..” ia menyerah pada akhirnya. Sejak Daniella menciumnya ia sudah menyukai rasa manis itu. Tangannya bergerak menelusuri punggung wanita itu, bergerak naik turun dengan usapan-usapan lembut. Perlahan menjelajah pada titik-titik tertentu hingga Daniella tiba-tiba mendorongnya. “Nash, ini di rumah ibumu!” ia berseru setelah berhasil mendorong Nash menjauh dari tubuhnya. Kini Nash berbaring telentang di sampingnya. Ia mengancingkan kemejanya yang terbuka. “Maafkan aku,” Nash mengusap wajahnya. “Tidak, Nash, aku hanya tidak enak dengan ibumu.” “Aku,” “Aku takut ibumu berpikir buruk tentangku, Nash, dan mereka malah menolakku nantinya,” Daniella benar-benar memikirkan itu dan Nash masih belum paham. Nash mengambil posisi menyamping, mengamati wajah Daniella yang merona. Bibirnya yang bengkak membuat Nash senang. “Aku mungkin terlalu jauh, Nash, tapi aku benar-benar berharap padamu dan ibumu menerimaku. Maafkan aku,” ia memutus tatapannya dengan Nash. Daniella benar-benar merasa di titik terendah gengsinya. Nash tersenyum senang, tidak menyangka keyakinan wanita itu sejauh itu. “aku yang harusnya minta maaf,” Nash mengucapkannya, menarik Daniella hingga berbaring di atas tubuhnya dan menghujani wajah Daniella dengan kecupan-kecupan. “aku akan menjelaskan pada ibu setelah ini,” ucapnya. Hujan menjadi teman bagi dua anak manusia itu. Daniella untuk pertama kalinya merasa benar-benar dicintai. Rasa bersalah itu menghilang oleh godaan Nash. “Nash,” Daniella mengerang memanggil pria itu. “Aku mencintaimu, Ell.” _ Daniella mengekor di belakang tubuh Nash saat mereka berdua keluar dari kamar. Nagita dan ibu Nash langsung menghentikan aktivitas bersih-bersih mereka dan mengalihkan padangan pada dua orang yang baru saja membuat ibu dan putrinya itu bertanya-tanya. Bahkan dengan iseng Nagita mencoba menguping beberapa saat lalu sampai ibu Nash mencubit lengannya dan meminta Nagita membantunya membersihkan ruang tamu. “Ibu,” kata Daniella pelan, mencari cara aman untuk berbicara dengan Nash sebelum pria itu mewakilinya berbicara. “maafkan Daniella yang sudah bertingkah tidak sopan sejak datang ke sini. Sungguh, Daniella tidak bermaksud, hanya saja, mmm..” Daniella melirik Nash. Wanita cukup rumit untuk mengartikan apa yang tadi mereka ributkan. Nash berdehem sebelum memulai menjelaskan. “Jadi begini ibu, Daniella ini adalah bos Nash di kantor Nash dulu, dan Nash dipecat karena Nash berhubungan sama Daniella.” Penjelasan Nash spontan saja membuat ibu Nash dan Nagita membelalakkan mata.  Sebelum keduanya berpikir macam-macam, Daniella buru-buru maju dan memberikan penjelasan yang lebih masuk akal. “Itu, Bu, maksudnya bukan berhubungan yang anu..” Daniella menggaruk tengkuknya, “jadi ada aturan di kantor yang tidak menginjinkan antar karyawan menjalin hubungan, lalu kedekatan saya dan Nash ada yang membocorkannya di kantor. Yah begitu, Bu, Nash akhirnya dipecat.” Kata Daniella dengan sangat menyesal. “Tapi kan itu hubungan antar karyawan dan bos, bukan antar karyawan,” ucap Nagita beberapa saat kemudian. Nash dan Daniella yang mendengarnya menyadari sesuatu lalu mengalihkan perhatian satu sama lain hingga mereka saling berpandangan. “Ah iya benar juga,” kata Daniella pada akhirnya dengan kerlingan menggemaskan, sedangkan Nash hanya geleng-geleng. Nagita tertawa, “berarti abang nggak jadi dipecat donk?” tanyanya. Nash melirik Daniella. Semoga keputusannya kali ini tidak salah. “Tapi Nash tidak ingin kembali ke sana lagi. Lebih baik Nash mencari pekerjaan lain. Begitu lebih baik untuk hubungan kami.” Putusnya. Daniella meski merasa tidak rela karena kemampuan Nash juga diperlukan di perusahaannya terpaksa menerima keputusan Nash. “Ya sudahlah jika itu yang terbaik menurut kamu.” Daniella berucap pasrah. _ Nagita mengucapkan sampai jumpa kepada teman-temannya ketika busway yang hendak ditumpanginya sudah tiba. Ia mendesah ketika orang-orang di dalam bus yang ditumpanginya begitu    penuh. Gadis itu bahkan berada di bagian belakang bus yang semua penumpangnya laki-laki karena di bagian depan sudah sangat penuh. Resiko hidup di pusat kota terkadang tak terduga. Sudah banyak sekali tingkah-tingkah manusia yang tidak masuk akal. Seperti sekarang ini, Nagita sepertinya akan menjadi sasaran empuk dari bapak-bapak yang berdiri di belakangnya. Nagita mulai merasa risih saat sentuhan-sentuhan mulai dirasakannya di lengan dan punggungnya. Gadis itu mencoba maju untuk menjauh, namun terlalu penuh, dan gerakan yang bisa ia lakukan sangat terbatas. Saat tiba di halte berikutnya, kerumunan orang berlomba-lomba untuk masuk. Jika sebelumnya masih ada ruang untuk Nagita, kini ia menemukan tangannya telah diusir secara paksa dari pegangan. Ia berusaha mencari-cari sesuatu untuk diraih jika seandainya keseimbangannya goyah. “Sini, pegang lenganku,” Seseorang menarik tangan kanannya dan memberikan sebelah lengannya untuk dipegang Nagita. Nagita yang sebelumnya kaget hanya terdiam mematuhi saat ia melihat siapa orang itu.   Part 9   “Kalau penuh begini kenapa dipaksa masuk?” “Ini jam pulang kerja, Kak. Jadi setiap bus pasti akan penuh.” Jawab Nagita. Ia mengeratkan genggaman tangannya di lengan pria itu ketika bus akan berhenti. Pria itu adalah Rios. Rios sengaja menunggu Nagita pulang tadi karena ingin bersama gadis itu pulang. Entah sudah berapa hari ia sudah tidak bertemu Nagita karena pekerjaan barunya lumayan menyita waktunya. Sedangkan menemui Nagita sepulang kantor ke rumah gadis itu sama saja mencari perkara dengan Nash. “Kak Rios darimana? Bukannya tempat kerja kakak sama kak Nash sama ya?” tanya Nagita yang dibalas anggukan oleh Rios. Pria itupun tahu apa maksud dari pertanyaan gadis yang kini memegang lengannya. “Hmm, itu, kakak kangen sama kamu. Mau tidak mau cara ini satu-satunya yang bisa kakak lakuin supaya bisa ketemu sama kamu.” Jawab Rios dengan jujur. Bukan rahasia lagi buat Nagita dan juga Nash atau Jonathan soal perasaannya pada adik sahabatnya itu. Tapi sayangnya tak semudah harapan untuk bisa mendapatkan hati Nagita. Belum lagi harus meluluhkan Nash terlebih dahulu karena Nash benar-benar sangat selektif soal siapa saja yang boleh menjalin hubungan dengan adiknya. Nagita tersipu malu dengan jawaban Rios. Begitupun dengan Rios  yang terlihat mengusap punggung lehernya. Sedikit mencengangkan memang mengingat usia Rios yang sudah jauh di atas Nagita, namun pria itu masih malu-malu. Untung saja tidak separah Nagita. Karena jika iya, maka akan sulit mempertemukan dua sifar malu-malu di antara mereka. Bisa-bisa sampai kisah ini tamat pun, tidak akan ada hubungan di antara Rios dan Nagita. __ “Kakak tidak mampir dulu?” Rios menggeleng. Mengingat Nash akan banyak bertanya nantinya jika ia sempat dilihat pulang bersama Nagita. “Akan panjang urusannya kalau kakak ikut masuk.” Jawab Nash. Nagita mengukir senyum, pahan betul dengan maksud pria tampan di hadapannya. Gadis itu sekarang bingung, antara ia langsung masuk saja atau harus berbasa basi sebelum Rios pergi dari sana. “Uhm, kalau begitu aku masuk, Kak.” “Ya, masuklah, sudah malam.” Rios mengusap ujung kepala Nagita kemudian mendorong pelan punggung gadis itu agar masuk. Ketika Nagita akan menutup pagar, Nash memanggil gadis itu dengan pelan, namun Nagita masih bisa mendengarnya sehingga gadis itu berbalik. “Kamu harus ingat kalau kakak sangat mencintaimu. Jadi kakak harap kamu tidak akan berpaling sampai kakak bisa membuat Nash yakin sama kakak.” Kata Rios. Meskipun Nagita tak menjawab, melainkan langsung berlalu dari sana, namun Rios berharap gadis itu akan mengabulkan permintaannya. __ Rasanya memberikan gelar monsterday pada hari senin memang pantas. Bukan hanya bagi anak-anak sekolah yang harus menghadapi upacara namun hampir buat semua orang. Misalnya buat pasangan yang masih menggebu-gebu ini; siapa lagi kalau bukan Nash dan Daniella. Daniella terlihat mondar mandir di sekitar tangga darutat. Tadi pagi ketika ia bangun ia sudah memberi tahu Nash agar datang lebih cepat. Rupanya ketika ia melirik jam di tangannya yang jelas-jelas sudah menunjukkan jam 08.00, Nash belum juga tiba di sana. Akan sangat memalukan kalau karyawan-karyawan yang lain melihatnya seperti itu. Biar bagaimanapun Daniella masih bos yang harus di segani. Sosok tinggi dengan kemeja putih yang melangkah menuju tempat ia berdiri akhirnya membuatnya menghela napas. Kakinya menghentak menandakan jika wanita itu sedang kesal. “Darimana saja kau?” katanya dengan menahan jeritannya di tenggorokan. Matanya berkelana ke sekeliling takut-takut jika ada karyawan yang melihat mereka. Nash dengan statusnya sudah dipecat dari sana tentu saja akan membuat gosip lain muncul. Ditambah lagi dengan Daniella yang belum buka mulut perihal hubungan mereka. Nash langsung menarik tangan Daniella memasuki lift. “Kau tahu, aku tidak yakin dengan keberadaanku di sini.” Jawab Nash gusar. “Apa yang akan orang-orang pikirkan tentang aku?” “Kau hanya mengunjungi kekasihmu.” Jawab Daniella santai. “Hanya itu?” Daniella mengangguk. Nash menghela napas. “Astaga, kupikir kau butuh bantuan makanya kau menyuruhku datang pagi-pagi. Aku sekarang pengangguran. Harusnya aku melamar pekerjaan saat ini, bukannya menemui kekasih yang bahkan baru satu hari yang lalu menghabiskan waktu seharian denganku.” Nash layaknya berpidato panjang lebar dengan merungut. “Jadi kau tidak suka menemuiku?” Nash menghela napas lagi ketika melihat ada kemungkinan Daniella ngambek. Jika dipikir-pikir Daniella ini lebih labil dari Nagita adiknya, padahal Nagita saja belum genap dua puluh tahun. Jangankan dibandingkan Nagita, dibanding dengan dirinya sendiri saja Daniella masih lebih tua. Nash menjaga mulutnya untuk tak mengeluarkan apa yang di pikirannya. Masih ingat kan ada peringatan keras yang tak boleh dibahas dengan wanita. Yang pertama tentang berat badan dan yang kedua tentang usia. Wanita cukup sensitif dengan dua topik itu. “Maksudku bukan itu.” “Lalu?” “Apa yang harus kulakukan di sini? Lagipula orang-orang pasti akan menggunjingkanku.” Nash mengeluh. Pria menatap Daniella memohon. “Kalau begitu kembali saja bekerja di sini.” “Kau tahu itu bukan pilihan yang akan aku pilih.” Bantah Nash cepat hingga tanpa sadar suaranya meninggi. “Maaf,” ucap pria itu kemudian. Lift berdenting. “Kau boleh pulang, Nash.” Ucap Daniella sebelum melangkah keluar dari sana. Wanita itu marah. Nash terlalu menyukai hal-hal yang menyakitinya. Iya, Daniella tahu jika Nash tidak bermaksud membentaknya. Namun harusnya pria itu bisa sedikit peduli pada perasaannya. Bahkan seumur hidupnya Daniella tidak pernah dibentak orang tuanya. Dan Nash melakukannya. Nash menyusul Daniella, meminta Sea menunda kebiasaanya yang segera menyusul Daniella setiap wanita itu sampai di ruangannya. “Aku butuh berbicara dengannya sebentar,” ucap Nash yang dibalas Sea dengan duduk kembali di balik meja kerjanya. Pandangannya tak luput pada Nash sampai pria itu lenyap di balik pintu ruangan Daniella. Nash mendorong pintu dengan tulisan CEO itu dengan kasar. Daniella yang sedang membereskan pakaiannya yang sedikit berantakan tersentak. Ia akan memaki jika seandainya ia tidak melihat Nash yang berdiri di sana. Laki-laki yang membanting pintunya dan mata Daniella menangkap tangan Nash yang mengunci pintu dari dalam. “Jangan coba-coba kurangajar, Nash!” Daniella memperingatkan. “Apa yang bisa aku perbuat, Ell?” pancing Nash. Daniella mengerut keningnya. Ia benci senyum menggoda Nash. Saat Nash dengan sikap judasnya saja bisa membuatnya tetap terpesona, apalagi dengan senyum manis itu. “Jangan tersenyum seperti itu!” katanya tidak tahan. Namun Nash mempertahankan senyumnya. “Kuperingatkan, Nash! Aku membenci senyum itu?” “Kau semakin menyukaiku Ell kalau aku memiliki senyum ini. Iya kan?” pancing Nash. Pria itu berjalan menghampiri meja Daniella. Daniella masih berdiri di samping mejanya, kemudian Nash mengambil alih tempat duduk sang CEO dan dengan kasar menarik Daniella hingga terjatuh di pangkuannya. “Kau membuatku gila, Ell.” Ucap Nash frustasi. Pria itu berbisik di telinga Daniella. “benar-benar gila dengan sikapmu.” Lanjutnya. Nash meniupkan napasnya di leher Daniella seraya jemarinya membelai rambut panjang wanita itu. Usapan-usapan pelan tak luput di pinggak Daniella hingga gadis itu mengernyit geli. “Nash, apa yang mau kau lakukan? Ini kantor.” “Aku tahu.” Jawab Nash tak berniat menghentikan apa yang dilakukannya. Tangan pria itu malah semakin nakal menyingkap kemeja Daniella dan kini jemarinya telah bersentuhan langsung dengan kulit perut Daniella. Alhasil Daniella terjingkat, kedua tangannya memeluk leher Nash erat. Jika ia melepaskan pegangannya, ia tak yakin bisa duduk di sana bahkan dalam satu menit. Daniella tidak terbiasa dengan sentuhan pria. Nash adalah orang pertama yang memperlakukannya seperti itu. Hal pertama yang sangat manis. Daniella mendorong bahu Nash. Ia menatap kedua mata Nash yang juga menatapnya. “Aku akan memaksamu menikahiku kalau kau terus berbuat seperti ini.” Katanya. Nash yang terkaget buru-buru menarik tangannya dari perut Daniella. Respon spontan yang berhasil membuat Daniella bertanya-tanya. Terdengar keributan di luar ruangan Daniella. Keributan yang membawa Daniella kembali ke alam sadarnya setelah terlarut dengan respon Nash. “Aku harus membuka pintu.” Daniella turun dari pangkuan Nash. Gagang pintu yang bergerak-gerak dan suara-suara gaduh di luar yang sangat familiar baginya membuat Daniella buru-buru memutar kunci untuk membuka pintu. Dalam hati wanita itu bersyukur Nash berinisiatif mengunci pintu tadi. Jika tidak, ia yakin akan dinikahkan besok. Atau mungkin tidak diperbolehkan lagi bekerja di sana. Ketika Daniella membuka pintu, dua orang tua langsung masuk lalu berhenti ketika pandangan mereka jatuh pada Nash yang baru beranjak dari kursi tahta Daniella. Wanita yang paling dihormati Daniella itu menatap Nash dan Daniella bergantian hingga berakhir dengan tatapan horor pada Daniella. “Kalian berusaha saling menelanjangi di dalam kantor? Di ruanganmu, Daniella?!” Daniella, Nash bahkan Daniel yang baru akan duduk di sofa tersentak kaget dengan teriakan Alena. Daniel menatap putrinya sejenak kemudian terkekeh ketika pandangannya jatuh pada Nash. “Ayah?” Daniella meminta pertolongan. Daniel terkekeh lagi. “Aku khawatir ini terjadi karna putriku yang memulai.” Daniella melotot. “Aku tidak … bukan Ell tapi,” ia melirik Nash sebal. Daniella menghampiri ayahnya. “Dia yang memulai, Ayah. Ell jujur.” Nash berdehem seakan membenarkan. Daniel tampak kesal. “Ayah kira putri ayah menuruni sifat ayah.” Katanya tampak kecewa. Alena yang merasa tak dianggap dan terancam akan muncul cerita lama segera mendekati ayah-anak itu. Alena memukul bahu Daniel. “kau mau putrimu menggoda pria?” katanya kesal. Bagaiamana bisa suaminya itu malah berharap putrinya melakukan apa yang pernah dilakukannya dulu saat mendekati dirinya. “Setidaknya itu akan membuktikan gen-ku dominan pada Ell.” Jawab Daniel masih belum bisa menghilangkan tawa gelinya. “Tidak bisa!” Alena membentak. Wanita paruh baya itu menghampiri Nash yang terdiam di posisinya. Rambut pria itu terlihat berantakan akibat ulah Daniella. Alena menelisik menilai Nash. Wanita itu menggeleng dengan penampilan Nash yang jelas-jelas menandakan bahwa pria itu bukan pegawai di sana atau bahkan klien Daniella. “Apa pekerjaanmu, Nak?” tanya Alena dingin.   Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD