Part 2

1523 Words
Suasana mencekam terlihat dari wajah para anggota keluarga Setiyadi yang tengah duduk di sofa ruang kerja. Mereka bersiap untuk mengetahui hasil tes DNA yang dilakukan oleh Alfin dan bayinya kemarin. Berkat bantuan salah satu kenalan dokternya, tes DNA bisa dilakukan cepat. Pak Ali Setiyadi yang duduk di sofa tunggal dengan tangan bergetar membuka amplop yang dipegangnya sejak tadi. Pria berkumis tipis itu mengeluarkan selembar kertas putih kemudian membacanya dengan teliti. Ia khawatir terjadi kesalahan. "Cocok," ucapnya usai membaca kertas itu. Ia memberikan pengumuman penting yang ditunggun semua yang hadir di sana. Helaan nafas kasarnya terdengar seperti orang kelelahan. Perasaannya bercampur aduk. Senang, sedih, kesal, marah, kecewa entah apalagi untuk kehadiran cucu dan juga perbuatan b***t Alfin di masa lalu. Pria berkemeja coklat tua itu lalu memberikan kertas yang dipegangnya kepada putranya sebagai bukti jika ucapannya seratus persen benar. Ia tak menambah dan mengurangi. Alfin tak mampu berkata-kata. Ia sulit melukiskan perasaannya sama halnya sepertinorang-orang yang saat ini hadir di ruangan itu. Tidak, ini hanya mimpi kan. Teriaknya dalam hati. Bayi itu anaknya, anak kandungnya, hasil hubungan terlarang dengan kekasihnya. Mereka semua tampak kaget dan langsung mengarahkan pandangan ke arah Alfin yang tak mampu berkata-kata hanya diam menunduk dengan pandangan tak fokus. Jiwanya melayang entah kemana. "Tidak melakukan tes DNA pun dari pertama kali melihat bayi itu, dia sangat mirip Alfin. Coba saja kalian perhatikan!" Alex, kakak Alfin bersuara. Pria berusia 25 tahun itu sengaja datang jauh dari Malaysia bersama istrinya setelah menerima telepon dari orangtuanya. Tes DNA dilakukan karena Alfin yang kemarin memintanya. Pemuda itu bersikukuh menyangkal kehadiran bayi perempuan yang hampir seminggu ini di rawat oleh ibunya. Bu Sarah meneteskan air matanya. Entah perasaan apa yang hinggap di dadanya. Haruskah ia lega jika bayi itu benar cucu kandungnya atau kecewa karena Alfin benar-benar b******k telah merusak anak gadis orang dan mempermalukan keluarga. Perbuatannya sungguh b***t. Wanita itu bingung menghadapi berbagai pertanyaan keluarga besar suaminya nanti. Apa kabar juga dengan para tetangga yang pasti akan menggunjingkannya. Mengaku mengambil bayi di pantai asuhan atau mengarang cerita ada seseorang yang memberinya bayi. Semuanya membuat ia pusing tujuh keliling. Ia butuh minum Paracetamol dan memasang koyo di pelipisnya. Wanita setengah abad itu memasrahkan semua kepada Allah. "Kalian semua sudah lihat kan bahwa bayi ini keturunan keluarga kita. Anak Alfin. Walaupun secara agama nasabnya ada di bawah ibunya. Kita semua tidak tahu dAyah dan Bunda akan merawat nya dengan baik. Dia akan menjadi bagian dari keluarga kita." Pak Ali memeluk istrinya. Menumpahkan kesedihannya. Sebagai kepala rumah tangga, ia yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi kepada Alfin. Musibah dan anugrah. "Apa bayi itu sudah punya nama?" Alex baru menanyakan. Alfin bahkan tak terpikirkan. "Namanya Anisa." Bu Sarah memberi jawaban. "Anisa putri Setyadi." Pak Ali menambahkan. Sejak dulu ia mengidamkan seorang anak perempuan. Sayangnya sang istri tak bisa lagi hamil karena rahimnya sudah diangkat. Bu Sarah memang pernah dua kali keguguran calon adik Alfin. Kehadiran Anisa mungkin merupakan Rizki yang diberikan Allah ditenga musibah yang terjadi menimpa keluarganya. Ini merupakan takdir Allah. Ia hanya bisa pasrah dan akan berusaha tabah menghadapi cobaan ini. *** "Kami akan menjaganya dengan baik namun anak ini butuh status yang jelas." Bu Sarah menatap bayi berusia dua Minggu itu. Ia sudah memikirkan bagaimana masa depan cucunya. Kelahiran bayi di luar pernikahan itu sungguh hal yang pelik. "Dia butuh akta kelahiran untuk sekolah nanti." Pak Ali menimpali. Keberadaan akta sangat penting untuk identitas seseorang. "Bunda dan Ayah minta supaya Alex dan Serly mau menjadi orang tuanya. Mungkin dengan mencantumkan nama kalian di akta kelahirannya." Bu Sarah menatap anak sulungnya. Ia telah memikirkan hal ini sejak kemarin. Ia tak ingin cucunya diperlakukan buruk. Lingkungan sosial terkadang begitu kejam dengan memberikan julukan anak haram. Wanita paruh baya itu tak ingin itu terjadi. Tak ada anak haram di dunia ini, perbuatan orang tuanya lah yang diharamkan oleh agama. Mereka hanyalah buah dari perbuatan laknat itu. Alex tentu tidak keberatan. Ini jalan keluar yang dianggap tepat. Menutupi aib keluarga dan gunjingan di kemudian hari. "Alex setuju Bund." Ia menatap ibunya lalu istrinya bergantian. Ia dan sang istri baru setahun menikah dan belum memiliki anak. Keduanya memang menundanya karena urusan pekerjaan. "Iya, Serly juga setuju." Wanita berusia 25 tahun yang berprofesi sebagai pramugari itu tersenyum. Sama halnya seperti sang suami, ia pun sepakat dengan keputusan mertuanya. "Alhamdulillah." Pak Ali bersyukur karena ada jalan keluar untuk melindungi anggota keluarganya dari hinaan khalayak ramai. "Seandainya kami tidak sibuk, ingin rasanya kami membawa dan merawatnya." Serly terlihat penuh sesal. "Bunda yang akan merawat dan membesarkannya. Kalian tidak usah khawatir. Urus saja pekerjaan kalian." Bu Sarah tak keberatan jika harus membesarkan cucunya. Lagipula ia bukan wanita karir yang sibuk. Kegiatannya hanya mengurusi rumah dan sesekali ikut mendampingi suami keluar kota. Kegiatan sosial di kompleknya juga tidak terlalu sibuk. "Kelak ia tidak akan merasa malu atau bingung saat ditanya siapa orang tuanya. " Sekali lagi Pak Ali merasa lega. "Bunda harap kamu mau mengakuinya Fin. Walau bagaimanapun dia darah daging kamu. Lihatlah ia begitu mirip denganmu." Bu Sarah belum melihat respon positif dari Alfin. Sejak tahu kebenaran tentang bayi bernama Anisa. Anak bungsu keluarga Setyadi itu seolah menghindar. Ia sama sekali belum menyentuh dan menggendongnya. Alfin tak banyak bicara, mungkin ia masih shock. Jiwanya sedikit tergoncang. Ia sulit menerima kenyataan jika ia sudah menjadi seorang ayah. Berat rasanya. Ia memang mencintai Rara, tapi ia tidak siap untuk memiliki anak di usia muda. Melihat respon putranya yang hanya diam, Bu Sarah tak memaksanya. Alfin butuh waktu untuk merenung dan menerima kenyataan ini. *** Alfin tengah memasukkan barang-barang ke dalam koper bersiap untuk kembali ke London. Ia hanya tiga hari berada di Jakarta selain urusannya telah selesai ia juga tengah sibuk dengan kegiatan kuliah. Ayahnya pun telah mempersilakan dirinya kembali. Kedatangannya ke Jakarta membuatnya dilanda konflik batin. Setelah berusaha melupakan kekasihnya, ternyata kini ada buah cinta mereka. Bagaimana Alfin bisa kembali menata hidupnya. Diam-diam ia menyelinap masuk ke dalam kamar bayi. Bayi itu belum pernah disentuhnya. Di depan box, Alfin melihat bayi bernama Anisa itu tertidur dengan pulas. Ia sungguh lucu dan cantik. Ada desiran aneh di dadanya. Seketika kehangatan mengisi ruang kosong di hatinya. Alfin tersenyum. Bu Sarah sedang berada di luar menerima telepon. Sejak kemarin ia sibuk mencari babaysitter. Ia juga berencana untuk membuat acara syukuran cucunya. Tentunya Alfin tak akan dilibatkan. Pria berusia 19 itu menatap lekat Anisa. Ada dorongan ingin menyentuh, mengelus, mencium  dan menggendongnya. Namun ia ragu dan takut. Ia kembali mundur dua langkah. Perasaannya bercampur aduk. "Kamu berangkat kapan?" Bu sarah masuk kembali ke kamar bayi usai memutuskan sambungan teleponnya beberapa menit yang lalu. Tadi ia sempat melihat putranya masuk ke dalam kamar cucunya . Ada kecemasan melandanya. Takut jika Alfin melukai cucunya. Walaupun itu mustahil terjadi, namun ia tetap khawatir. Sejak tahu akan kebenaran itu, respon Alfin masih tetap biasa saja. "Nanti selepas Dzuhur." Alfin menjawab seraya berlalu dari hadapan ibunya. Ia melupakan keinginannya untuk menyentuh bayi itu, bayinya. Ingatkan dirinya bahwa ia seorang ayah. Ayah yang belum siap menjadi ayah, hidupnya saja masih bergantung kepada orangtuanya. Tak banyak yang diucapkan oleh ibu dari pria galau tersebut. Wanita itu lebih memilih menyibukkan diri mengurus cucunya yang terlihat menggeliat. Selang beberapa detik terdengar tangisannya. Sepertinya dia pipis. Sebenarnya Bu Sarah masih marah dan kesal kepada putranya, namun semua itu tak akan mengubah keadaan. Biarlah semua kekacauan ini berakhir dengan sendirinya. Lagipula putra bungsunya akan pergi kembali. Suasana rumah akan kembali seperti semula. Kehadiran Icha akan mengisi hari-harinya. Rumahnya akan kembali ramai dengan tangisan bayi. Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. *** Alfin telah berada di dalam pesawat dan duduk di kursi penumpang dengan memejamkan matanya. Anisa. Bayi mungil itu benar-benar menggangunya. Ia pergi meninggalkan anaknya. Seharusnya ia ada disamping bayi mungil itu. Betapa malang nasibnya harus terpisah dari ibu kandungnya dan juga ditinggal ayahnya. Selama belasan jam menempuh perjalanan menuju tempatnya menimba ilmu pikiran Alfin tidak tenang. Bayangan Anisa dan Rara berkelebat di kepalanya silih berganti. Bahkan hadir dalam mimpinya. Rara yang datang mengabari dirinya hamil dan juga suara tangisan bayi yang terus menerus memenuhi Indra pendengarannya. Segudang penyesalan menyelimuti hatinya. Dia mengakui dirinya jahat. Ia telah berlaku kejam dengan tidak bertanggung jawab kepada gadis yang dicintainya. Rara dimana sekarang berada. Batin Alfin berteriak. Gadis bernama Tania mengantarkan bayi ini di malam hari. Rara mengalami baby blues. Teringat kembali ucapan ibunya. Apa yang terjadi dengan Rara? Kenapa bukan dirinya yang datang ke rumah orangtuanya. Berbagai pemikiran muncul di kepalanya. Benarkah ia mengalami baby blues? Ini salahnya. Ia harus mencari tahu keberadaan mantan pacarnya, dimana dia dan kenapa Tania yang mengantarkan anknya. Ia berjanji jika bertemu nanti, ia akan meminta maaf dan langsung melamarnya. Ia ingin menebus dosa-dosanya. Bertanggung jawab atas perbuatannya dan membuatnya bahagia. Sampai detik ini ia masih mencintainya, walaupun banyak gadis yang berusaha dekat dengannya ia selalu menghindar. Ia tak siap menjalin hubungan dengan gadis manapun. Rasa percaya dirinya menurun drastis. Ia lebih suka menyendiri, jika pergi ke tempat ramai pun hanya untuk menghibur diri menonton pertandingan sepakbola kesukaannya. *** Tiba di apartemen, waktu menunjukkan pukul 10 malam waktu setempat. Ia langsung menyimpan barang bawaannya tanpa membongkarnya. Tubuhnya terasa lemas dan lengket. Ia perlu sedikit relaksasi dengan mengguyur tubuhnya. Usai mandi ia langsung menuju ranjang dan menarik selimut lalu menyalakan ponselnya. Sebelum tidur, ia membuka galeri foto. Di sana terpampang gambar putrinya. Bayi malang yang tak diinginkan kehadirannya. Alfin tersenyum. Besok ia akan mencetak dalam ukuran besar untuk dipajang di kamarnya agar ia selalu merasa dekat dan diingatkan bahwa ia sekarang seorang ayah. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD