Part 2 Jangan Menangis, Kelana!

1750 Words
Kelana menarik nafas panjang, saat turun dari taksi online dan berjalan menuju ke rumah mertuanya. Sebenarnya dia suka kota kecil ini. Kota yang bersih, teratur dan ramah. Walau mertuanya tak seramah kota ini, tapi sebagai istri dia wajib mengikuti apa kata suami. Dia lihat, Adjie bahagia sekali jika pulkam. Tak seperti dirinya yang tak punya kampung karena lahir dan besar di Jakarta, yang bingung tiap kali Lebaran teman-temannya pada mudik, tapi dia tetap di Jakarta. Nungguin Monas, takut ada yang bawa lari emasnya tuh. Itu jawaban andalan Kelana kalau ditanya ngapain aja selama Lebaran di Jakarta. Adjie menggandeng tangan Kelana. Dia tahu istrinya setengah terpaksa ikut pulang kali ini. Apalagi tema mudik kali ini karena Mbak Retno, kakak sepupunya akan aqiqah anak ketiga. Dan pastinya keluarga besar mereka akan kumpul. Kalau sudah kumpul, pertanyaan tidak akan jauh dari kapan punya momongan? Sudah dua tahun kan nikahnya? Kok belum hamil? Jika sudah begitu, wajah ceria Kelana pasti akan berubah suram, walau dia tahu istrinya akan berusaha tetap tersenyum. Senyum kecut pastinya. Semalam Adjie setengah hidup menyemangati Kelana. "Mas, kalau aku ditanya kapan hamil gimana? Aku capek jawab pertanyaan yang sama. Toh bukannya aku gak mau hamil, lah wong memang belum dikasih. Padahal sudah setahun sejak aku keguguran, kok belum isi juga ya?" Kelana bertanya dengan nada lirih. Adjie mengelus rambut hitam panjang istrinya, mengecup pucuk kepalanya beberapa kali. "Ya kita akan jawab sama, adonan belum jadi, belum mengembang!" Candaan Adjie tak dihiraukan Kelana, yang sudah ada tanda kolam air mata, siap tumpah. "Hei... jangan nangis. Lana sayang, anak itu kan titipan Tuhan. Kalau kita belum dipercaya untuk diberi amanah anak, mungkin karena Tuhan mau kita pacaran dulu. Kan dulu kita gak pakai proses pacaran. Jadi Tuhan kasih kita waktu untuk saling mengenal lagi, biar puas sayang-sayangan. Gitu loh." Diusapnya dua bulir air mata yang jatuh. "Mas Adjie kan laki-laki. Biasanya pihak perempuan yang selalu disalahkan kalau seperti ini." "Hmm... atau mungkin usaha kita kurang maksimal ya? Mungkin kita kudu berusaha tiap malam? Apalagi kalau kamu pas lagi masa subur, kita mungkin bisa tiga kali sehari. Gimana ideku? Jenius kan?" Jawab Adjie dengan wajah m***m. "Bukannya malah usaha kita yang terlalu semangat? Gak aku lagi masa subur, Mas juga mintanya bisa sehari dua tiga kali. Apalagi pas masa subur." "Atau bilang sama sel telurmu jangan terlalu jual mahal. Kasian kan sel spermaku sudah ngebut larinya eeeh... ternyata tetap sel telurmu tak mau didekati." Adjie berimajinasi tapi tetap tak direspon Kelana. "Gini deh, besok kalau ada yang nanya tentang anak, biar aku aja yang jawab ya. Kamu santai aja. Jangan terlalu dipikirkan, jadi stress malah tambah susah payah nanti si sel s****a mendekati sel telur yang manyun." Melihat istrinya sudah tenang dan tak lagi meneteskan air mata, Adjie menjadi lega. Dielusnya terus rambut istrinya hingga Kelana tertidur. Dia paling tak bisa melihat perempuan menangis. Ada semacam trauma jika melihat perempuan menangis. Perempuan pertama, ibunya. Entah berapa banyak malam yang dihabiskan ibunya meneteskan air mata untuknya. Padahal dia sudah bilang tak perlu menangis, tak perlu merasa bersalah padanya. Toh dia ikhlas menjalani semuanya. Rasa bersalah karena mengkhianati janji yang sudah terucap, rasa bersalah karena meninggalkan perempuan yang dia cintai. Dia ingat pasti, hanya air mata yang terus menerus mengalir di pipi perempuan cantik, kekasihnya dulu. Membuat mereka nekat melakukan hubungan terlarang walau belum menikah. Adjie merasa menjadi laki-laki paling pengecut di dunia, saat meninggalkan kekasihnya beberapa hari menjelang pernikahan mereka, demi menikahi Kelana. Kekasihnya, kekasih cantiknya, hidupnya, cintanya. Lita. Anasyanda Jelita. Di mana kamu sekarang? Maafkan aku yang begitu menyakitimu. Aah, kenapa aku jadi teringat kamu? Bahkan setelah setahun setengah pernikahanku pun, aku belum bisa melupakan kamu. Melupakan tentang kita. "Eeh Mbak Lana sudah datang!! Bulek, Mbak Lana dan Mas Adjie sudah sampai." Suara seorang gadis memecah keramaian di rumah Pakde Joko. Kelana dan Adjie segera saja mencium punggung tangan tetua yang ada di situ kemudian bergabung dengan kumpulan keluarga besar itu. "Ibu mana Mas? Kok belum kelihatan?" Kelana bertanya pelan. Mendadak ada beberapa ibu-ibu yang berusaha bersalaman dengannya dan mencium punggung tangannya, membuat Kelana risih. "Duuh bu... mboten cium tangan kulo nggih. Mboten pareng ibu!" * Kata Kelana pelan, berusaha berkata dengan bahasa Jawa - logat Jakarta - sepatah-patah yang dia bisa. Dia merasa tak nyaman dibedakan. Darah biru tetaplah darah biru. Walaupun mamanya sudah tak mau menggunakan gelar Raden Ayu - Tapi ternyata unggah ungguh di kampung ini masih kentara. Suara deheman seorang perempuan berumur awal lima puluhan membuyarkan gerombolan ibu-ibu itu. Adjie dan Kelana segera menuju ke arah suara dan segera mencium punggung tangan Bu Lastri. "Ibu..." Kecup Adjie di kedua pipi ibunya. Dan dibalas hal yang sama oleh ibunya dengan mata berbinar. "Bagaimana kabarnya bu?" Kelana pun melakukan hal yang sama seperti Adjie. Sayangnya balasan kecupan di pipi kanan kirinya sungguh singkat. Kelana sudah mempersiapkan hatinya untuk hal seperti ini. Menerima perlakuan berbeda dari ibu mertuanya. Dari semenjak awal pernikahan mereka, Bu Lastri tak pernah ramah padanya. Tapi kalau ke yang lain, beliau selalu ramah. Entah apa sebabnya, Kelana pun tak tahu. Tidak galak sih seperti di sinetron, hanya tidak ramah, khususnya padanya. "Sudah pada makan?" Tanya Bu Lastri tapi wajahnya melihat ke arah Adjie saja, tak mau repot melihat ke arah Kelana. "Kalaupun sudah, makan lagi yuk. Ibu sudah siapkan sarapan kesukaanmu loh, nasi gudeg lengkap." Bu Lastri segera menggamit tangan putra kesayangannya itu, agar mengikutinya ke meja makan. Diacuhkannya saja Kelana, seolah tak ada. Toh, dia pasti akan mengekori Adjie. Kelana bingung harus bagaimana. Adjie sudah tampak asyik mengobrol dengan ibunya. "Loh Nak Kelana kok berdiri saja di situ? Sudah sarapan? Kalau ndak mau makan lagi, ikut bude saja ke dapur yuk, bantu-bantu masak di dapur, gak papa kan? Adjie sering cerita kalau Nak Kelana pinter masak loh. Eeh atau mau istirahat dulu? Kamar tamu sudah bude siapkan kok." Suara Bude Joko yang lembut membuyarkan lamunan Kelana, yang masih berdiri mematung, melihat ke arah Adjie dan ibunya. "Eeh bude... Maaf Adjie lancang nih, ditarik ibu untuk makan lagi. Pakai gudeg masakan bude sih, jadi lapar lagi padahal tadi sudah sarapan sebelum berangkat." Adjie berdiri dan menuju ke budenya itu, mencium punggung tangannya dan kembali duduk. Tapi, mendadak dia tersadar bahwa dia kembali tak sendirian saja. "Lana mau makan lagi, bareng?" Tawarnya dan meringis melihat wajah Kelana yang tampak kecut. Dia hanya sungguh kangen pada ibunya, dan kampungnya. Dan kekasih hatinya yang entah di mana. Senyumnya semakin kecut melihat Kelana menggeleng. "Aku bantuin bude dulu di dapur ya." Entah kenapa Kelana merasa Bude Joko jauh lebih ramah dan pengertian dibanding ibu mertuanya. Bude Joko menggandeng Kelana dan membawanya ke dapur dadakan yang mereka buat di halaman belakang. Acara aqiqah kali ini diadakan cukup besar karena akhirnya Retno melahirkan anak laki-laki setelah dua anak sebelumnya semua perempuan. Kelana tersenyum senang. Berada di antara ibu-ibu tetangga yang datang membantu, membuatnya malah merasa nyaman dibanding berada di dekat mertuanya. Kadang dia tertawa kecil mendengar lelucon ala ibu-ibu itu. Mereka tampak guyub, akrab satu sama lain. Badannya yang terasa sedikit capek, hatinya yang semula kesal, perlahan berubah riang. Dia tampak sangat menikmati keakraban ini. Hingga dia merasa, ada sebuah tangan kekar yang memeluk pundaknya. Sontak dia menoleh. Adjie sedang tersenyum melihatnya tampak kembali riang. "Duuh... Mas Adjie... baru juga sebentar istrinya ke dapur udah dicariin aja. Takut ilang digondol wewe ya?" "Gondol wewe?" Kelana bertanya dengan muka bingung. Sepertinya dia pernah dengar kalimat itu tapi lupa artinya. "Bukan takut digondol wewe bu.. tapi takut digondol tuh bapak-bapak di sebelah sana yang melihat ke arah istri saya sampai ileran hahaha..." Adjie ikut bercanda, lumayanlah bisa mengembalikan keriangan istrinya. "Laah habise bojone Mas Adjie ki uayuu tenaan. Koyo peragawati yo jeng. Kuwi lah laler menclok ya kepleset tho. Iya toh Jeng Sri?" Celetuk seorang ibu seakan minta pembenaran ke ibu-ibu sekitarnya. Kelana tertawa kecil karena tahu apa maksud kalimat itu. "Laah iya tho, wong putrine Ndoro Rekso, ya pastine terawat." Dan koor ooh terdengar di antara ibu-ibu itu. "Ayu-ne njawani ya jeng. Ra mboseni toh. Lah wis ayu, sugih, sumeh maneh. Mas Adjie beruntung banget. Ra koyo sing mbiyen toh, ayu sih, banget malah, tapi kok kayane sombong ya?" "Ehmm..." suara deheman membuyarkan gosip ibu-ibu itu. Mereka terdiam sebentar sebelum akhirnya melanjutkan kesibukan masing-masing, melihat siapa yang datang. Bu Lastri. Kelana tersenyum kecil ke arah mertuanya, tapi tak dibalas. Bu Lastri malah sibuk mengajak ngobrol Adjie, bertanya ini itu. Adjie menjawab pertanyaan ibunya sambil tetap memegang pundak Kelana. Mencoba memberi kehangatan. Kelana yang awalnya mulai sedikit ceria, kembali muram. Dia merasa tiba-tiba perutnya sakit, melilit. Tapi diabaikannya. Aaah mungkin psikosomatis saja, karena ada ibu di dekatku. Hingga aku merasa tak nyaman, tak pernah nyaman di dekat beliau. "Mbak Lana..." Tiba-tiba ada seorang gadis berlari kecil dan memeluk Kelana dengan semangat! Gendis. Adik Mas Adjie, salah satu teman ngobrolnya kalau sedang pulkam. "Aaah aku kangeeen sama Mbak. Sudah dari tadi datangnya? Maaf ya Gendis tadi bimbingan skripsi dulu. Tapi sekarang sudah beres." Gendis mengendurkan pelukannya, melihat ke arah Kelana. "Mbak tambah cantik aja siih... Resepnya dong!" "Istrinya siapa dulu?" Sebuah suara menjawab. "Resepnya... air wudhu!" Jawab Kelana sambil tersenyum. "Hahaha siyaaap mbak, Gendis akan banyakin wudhu dan sholat sunnah kalau begitu biar bisa flawless kaya Mbak Lana." "Percuma saja cantik tapi tak bisa kasih anak!" Celetuk Bu Lastri membuat Kelana terdiam. Kepalanya langsung berdenyut, serasa ada penabuh drum di kepalanya. Ya Tuhan... itu lagi. Kelana meremas tangan Adjie kuat, membuat Adjie meringis. "Lastri... ndak sopan kamu bicara seperti itu!" Tegur Bude Joko. "Eeeh tapi kok mukanya pucet gitu mbak? Kenapa meringis-ringis? Lagi sakit mbak?" Gendis bertanya dengan nada khawatir membuat Adjie sigap membalik badan Kelana dan memang istrinya terlihat pucat. "Iya kamu pucat Lana. Istirahat dulu ya di kamar tamu. Bude pinjam kamar tamu sebentar ya." Saat berdiri kepala Kelana terasa keliyengan membuatnya agak terhuyung. Sigap, Adjie segera memapah istrinya itu. Di kamar, Adjie menyelimuti tubuh Kelana dengan penuh kasih sayang. Diciuminya kening Kelana perlahan. "Jangan nangis, kumohon jangan menangis Lana." Bisiknya lembut saat melihat sudah ada bulir air mata yang meluruh. Ada Gendis yang datang dengan membawa segelas teh manis hangat dan Bude Joko yang membawa minyak kayu putih. Semua perhatian padanya, kecuali ibu mertuanya. "Maafkan ibu ya mbak... Mbak jangan tersinggung ya. Ibu memang orangnya suka ceplas ceplos gitu." Kata Gendis dengan wajah menyesal. Adjie tampak muram, ibunya masih saja membenci Kelana. Padahal menikahi Kelana adalah jalan terbaik bagi semuanya, saat itu. Hanya dia saja yang perlu berkorban untuk semua. Asalkan urusan perusahaan beres, karyawan tetap bisa bekerja, keluarga mereka juga bisa bertahan, dia rela menjadi tumbal. Mengorbankan cintanya. "Tidurlah, istirahat dulu, aku temani."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD