Part 4 Aku, Kembali!

1301 Words
Kelana menoleh, dilihatnya Gendis menatapnya prihatin. Beberapa kali Gendis juga melihat ke arah kakak dan ibunya yang sedang asyik bersama Lita. Anasyanda Jelita, mantan calon kakak ipar gak jadi. Saat Gendis akan beranjak menuju ke arah kakaknya, Kelana menahannya. "Ndis, tolong antar mbak pulang ke rumah bude ya. Kepala mbak pusing banget, perut mbak juga sakit." "Sebentar mbak, biar aku ke Mas Adjie dulu, dia harus diberi peringatan! Bisa-bisanya dia memeluk perempuan lain yang bukan istrinya. Ibu juga aneh, kenapa tak dilarang?" "Jangan... jangan beri tahu mas-mu. Perihal ini, tolong jangan sampai orang lain tahu. Cukup kamu dan aku ya. Sekarang tolong antar mbak pulang." Akhirnya mau tak mau Gendis mengantarkan Kelana ke rumah Bude Joko, memapah kakak iparnya yang baik hati itu ke kamar tamu. "Mbak istirahatlah. Aku buatkan teh manis hangat dulu ya." Kelana berniat membersihkan diri dan berwudhu, agar bisa sedikit menentramkan hatinya. Air matanya terus mengalir dalam diam. Disekanya perlahan. Tapi air matanya kembali mengalir dengan deras saat melihat noda warna merah di celana dalamnya. Padahal, dia sungguh berharap kali ini akan hamil. Jadwal tamu bulanan-nya sudah telat sepuluh hari. Dia sengaja tak memberi tahu Adjie, inginnya jadi kejutan. Badan Kelana meluruh di lantai kamar mandi. Runtuh sudah pertahanannya. Dia tak tahu untuk apa dia menangis, apakah untuk haidnya yang kembali hadir setelah 10 hari telat sehingga dia tak jadi hamil? Atau untuk suaminya, yang sedang berasyik masyuk dengan perempuan lain. Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu. Tapi siapa? Dan di mana? Kelana mengacak rambutnya, kesal! Disobeknya paksa gamis mahal yang dipakainya. Suara robekan baju yang terdengar membuat Gendis berlari menuju pintu kamar mandi dan menggedor heboh. "Mbak Lana... mbak... Mbak kenapa? Buka pintu kamar mandinya mbak! Bukaaa! Jangan berbuat aneh-aneh mbak. Mbak...!" Gendis kembali menggedor pintu kamar mandi itu. Karena khawatir tak kunjung dibuka, akhirnya Gendis mengambil ponselnya. "Mbak, aku telpon Mas Adjie ya, atau pakde atau bude." Tepat saat Gendis akan menekan nomor ponsel Adjie, terdengar suara pintu dibuka. "Jangan telpon mas-mu, Ndis. Mbak gak papa. Tolong belikan pembalut buat mbak ya." Suara Kelana bergetar. Gendis bahkan sempat merasa Kelana kesambet karena wajahnya tampak muram, mata yang memerah, dan rambut acak-acakan. Untunglah Kelana sudah memakai bathrobe-nya. "Iyaa mbak, Gendis beli dulu ya. Mbak Lana isirahat dulu. Teh manisnya diminum mbak." Jawab Gendis. Tak butuh waktu lama bagi Gendis untuk membeli pembalut. Bersyukurlah banyak minimart yang buka 24 jam walaupun di kampung. Gendis sempat membereskan gamis yang disobek paksa Kelana, dimasukkannya ke dalam kresek. Ya Tuhan... ini kan gamis mahal. Lihat saja merknya, desainer terkenal. Harganya sebanding dengan uang sakuku sebulan. Pasti Mbak Lana sangat shock gegara Mas Adjie tadi. "Mbak Lana sudah tahu siapa perempuan itu?" Tanya Gendis pelan, takut membuat perempuan ayu di depannya tambah shock. Kelana mengangguk tapi sedetik kemudian menggeleng. "Sepertinya pernah lihat, tapi lupa." "Dia Lita, Annasyanda Jelita. Mantannya Mas Adjie." "Lita? Mantan Mas Adjie?" Sesuai namanya, dia memang jelita, sungguh cantik. "Mbak... Gendis tahu bukan kapasitas Gendis untuk ini. Lita bukan hanya sekedar mantan, mereka dulu pernah hampir menikah. Bahkan undangan juga sudah disebarkan. Tapi entah kenapa, Mas Adjie membatalkan pernikahan itu." Gendis mencoba menelisik wajah Kelana yang tampak memperhatikan ceritanya. "Sisa cerita, biar Mas Adjie saja ya mbak. Gendis takut salah." "Ndis..., mbak tidak pernah mempermasalahkan masa lalu Mas-mu, siapapun dan apapun Lita itu, dia tetaplah masa lalu Mas Adjie. Tapi Mbak tadi heran, kenapa ibu sepertinya senang sekali dengan kehadiran Lita, beda dengan sikap ibu ke mbak. Bahkan Mas mu juga hanyut dalam pesona Lita. Mbak tadi lihat Mas mu akhirnya membalas pelukan perempuan itu, dan mencium keningnya. Hal yang seharusnya tak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kepada yang bukan mahramnya. Apalagi dia mantannya." Kelana menarik nafas panjang. "Mbak merasa diabaikan! Tak pernah mbak merasa serendah ini sebelumnya." Dering ponsel puluhan kali, tetap tak diindahkan oleh Kelana. Dia sempat melirik, tertera nama suaminya. Mungkin Adjie baru sadar bahwa dia tak ada di rumah Mbak Retno. Saat berhenti, Kelana segera menonaktifkan ponsel itu. Dan gantian ponsel Gendis yang berbunyi nyaring. "Mbak, Mas Adjie nelpon aku nih, gimana? Mau diterima atau ditolak?" "Terserah kamu saja. Tapi tolong jangan ceritakan hal yang tadi kita lihat bersama. Mbak menunggu kejujuran Mas-mu." Gendis akhirnya juga memutuskan tak menerima panggilan telepon itu. Dan akhirnya sekira seperempat jam kemudian, Adjie datang dengan wajah panik. "Kenapa telpon dari Mas tidak kamu terima sih?" Tegurnya pada Gendis yang sedang duduk di ruang tamu, agar sekalian bisa menjaga Kelana. "Gendis, Kelana mana? Kata orang-orang di rumah Mbak Retno, tadi mereka lihat Kelana pergi bareng kamu. Di mana Kelana?" "Oooh... akhirnya ingat juga ya Mas, kalau punya istri namanya Kelana. Kirain lupa gegara lihat perempuan cantik lain." "Apa maksud kamu! Yang sopan bicara sama Mas!" "Terserah Mas Adjie saja deh. Coba pikir, kenapa Mbak Kelana lebih memilih pulang sama aku, iparnya, daripada sama Mas, suaminya! Tuh, Mbak Kelana di kamar tamu, lagi nangis kesakitan dari di rumah Mbak Retno. Mas gak tahu itu kan? Suami macam apa itu!" "Gendis! Jaga bicaramu!" Adjie membentak, kesal. Padahal belum pernah dia membentak Gendis, adiknya yang beda tujuh tahun dengannya. "Mas yang harusnya jaga hati Mbak Kelana!" Kelana yang ikut mendengarkan perdebatan antara Gendis dan Adjie merasa tambah sedih. Adjie mengingkarinya. Bahkan malah memarahi Gendis adiknya, dan lebih membela perempuan lain. Perutnya terasa semakin melilit. Ya Tuhaaan... sakiiit... "Lana... Kamu kenapa? Kenapa gak bilang sama aku kalau kamu sakit perut lagi? Aku tadi kebingungan cari kamu." Tanya Adjie ketika akhirnya masuk ke kamar tamu dan melihat Kelana yang meringis menahan sakit. Lana diam saja, tak menjawab pertanyaan Adjie. Nyeri di hati dan nyeri di perut, membuatnya malas berinteraksi dengan siapa pun. Terdengar langkah kaki Adjie yang bersegera mendekati Kelana. Adjie melirik nakas dan melihat ada bungkusan pembalut. Aah... ternyata karena tamu bulanannya toh. Adjie duduk di sebelah Kelana, mengusap perut istrinya itu perlahan. Biasanya kalau lagi sakit pas haid, Kelana minta dielus perutnya sampai dia tertidur. Sekarang Adjie berharap seperti itu. Dia tak tega tiap kali harus melihat Kelana merasa sakit perut saat haid. "Urusan Mas sudah beres?" Kalimat pertanyaan yang ambigu dan hanya Kelana yang tahu. Adjie tak tahu apa maksud pertanyaan ini, jadi dia hanya tersenyum saja. "Jangan pergi lagi. Temani aku Mas." Kata Kelana dengan nada sendu. "Iya, aku di sini. Tidurlah... Aku temani." Adjie melihat Kelana yang sudah tenang. Tidak gelisah lagi. Dia berdiri perlahan dan menjauh dari Kelana, saat merasa ponselnya bergetar. Dilihatnya layar lcd ponsel pintarnya. Tertera nama Jelita. Adjie melirik ke arah Kelana. Dilihatnya nafas Kelana yang sudah teratur, sepertinya sudah tidur. Perlahan Adjie duduk di sofa di dekat jendela kamar. "Ada apa?" Katanya dengan nada berbisik saat menjawab panggilan telepon itu. "Pembicaraan kita belum selesai Di.." "Aku tak bisa Lita, tidak malam ini. Istriku sedang sakit." Aaah dia teringat masa-masa Jelita memanggilnya dengan nama kesayangan yang sengaja hanya untuknya, Didi. "Kenapa kamu tadi langsung pergi?" "Kamu tadi kan dengar sendiri waktu Pakde Joko bilang kalau Kelana tak ada di halaman depan. Dia bukan orang asli sini, Lita. Aku takut dia kenapa-napa." Aaah... jadi Mas Adjie tahu aku tak ada karena Pakde mengingatkannya? Bukan karena dia memang teringat akan aku? Kelana mendengarkan pembicaraan itu dalam diam. Hanya terdengar satu sisi saja dari Adjie, tapi dia bisa mengira apa pertanyaan penelpon dari reaksi jawaban Adjie. "Di... ada yang ingin aku beritahukan, tapi karena kamu tak mau bertemu malam ini, aku beritahu via telepon saja dulu. Dulu kita melakukan hubungan badan karena kita putus asa. Beberapa kali dan tanpa pengaman. Aku dulu hamil, Di! Dan sekarang aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi hakku, kamu!" Sontak Adjie berdiri dan suaranya menjadi normal, mendengar kalimat Lita. "Aa..apa? Kamu hamil? Sekarang di mana anak itu? Anak kita, Lita? Di mana?" Sementara Kelana merasa dunianya runtuh saat itu juga. Mas Adjie punya anak, dari perempuan lain. Matanya gelap, kepalanya pusing dan Kelana tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD