02 - Muncul Bahaya

2615 Words
Langit masih kelabu, angin berembus dengan kencang. Aku mendorong sepedaku saat sudah mencapai wilayah universitasku. Tempatku menempuh pendidikan berada di wilayah pinggiran, di mana masih terdapat banyak pohon dan ada wilayah penuh pepohonan yang dapat disebut sebagai hutan. Aku melangkah dengan pelan, memikirkan hal-hal yang baru saja terjadi. Seumur hidupku aku belum pernah merasakan hal semacam itu, ada suara di dalam kepalaku yang memberi peringatan. Aku tak tahu peringatan terhadap apa karena memang tak melihat apa pun, segala sesuatu yang berbahaya sama sekali tak kulihat saat itu, tapi aku merasakan sesuatu, sesuatu yang amat berbahaya mendekat, entah apa itu. Itulah yang membuatku jadi memikirkannya. Meski pada awalnya aku memutuskan untuk tak ambil pusing, tapi entah mengapa jika naluriku mengatakan bahwa peringatan itu benar, ada sesuatu yang berbahaya. Ini aneh dan benar-benar tak bisa dipercaya. Pertama, aku bermimpi pindah ke zaman sejarah. Kedua, aku mendengar ada suara wanita di dalam kepalaku, suara yang memperingatkanku terhadap entah apa itu, berikutnya apa? Kucing persia yang memerhatikanku seperti seorang manusia dewasa yang sedang mengawasi anaknya saat bermain? Tidak, tunggu dulu, kenapa ada kucing di sini? Aku melihatnya, tak jauh di dekat sebuah pohon besar di halaman bangunan ini, aneh. Bagaimana bisa ada kucing persia putih ? Dan gelagatnya lebih aneh lagi. Benar-benar tak terlihat seperti seekor kucing. Aku menggelengkan kepalaku, jangan sampai mimpi itu membuatku berhalusinasi tentang banyak hal konyol dan tak masuk akal. Aku memutuskan mengabaikan hal itu, kulanjutkan langkahku. Aku sampai di jajaran sepeda yang terparkir. Ada beberapa orang yang juga menggunakan sepeda sebagai kendaraan mereka, sama sepertiku. Tak banyak orang yang hidupnya serba ada, mayoritas hanyalah orang biasa dan mereka menggunakan transportasi umum jika tak memakai sepeda. Beberapa lainnya membawa kendaraan pribadi berupa mobil dan motor. Mereka yang bisa dibilang berkecukupan dan memiliki orangtua yang mampu, biasanya membawa kendaraan pribadi. Sebuah Jeep putih dengan atap terbuka dan ban yang besar meluncur masuk diikuti Maserati merah di belakangnya, suara dua kendaraan itu terdengar dengan jelas. Aku melihat beberapa orang memandangi dua kendaraan itu. Berada di daerah pinggiran membuat kendaraan seperti itu jarang dilihat, rata-rata mereka yang memiliki mobil pun biasanya membawa mobil butut yang bisa kapan saja mogok, tak seperti dua kendaraan ini. Mengilap dan tampak baru. Aku kenal mereka para pemilik mobil itu, para wanita yang terkenal. Mereka turun dengan gaya ala model. Ya, beberapa dari mereka memang memiliki tubuh seperti model pada majalah wanita. Aku tak bisa menyangkal hal itu. Si pemilik mobil Jeep adalah Meghan, dan yang bersamanya adalah Irina. Pemilik Maserati adalah Aldrea dan yang bersamanya adalah Cassandra. Mereka terkenal karena kaya, mereka terkenal karena berprestasi dan mengharumkan nama Universitas ini. Keren bukan? Mereka bisa dibilang sempurna karena memiliki penampilan yang bagus dan otak yang dapat bekerja dengan baik. Aku mengalihkan tatapanku dan buru-buru pergi, tapi itu terlambat, keempatnya sudah berjalan dan menubruk badanku sampai jatuh. Mereka tertawa cekikikan, selalu seperti ini, apa yang lucu memangnya? "Bermain di tanah? Yah, itu wajar dan cocok sekali dengan gelandangan sepertimu." Aldrea menghinaku secara terang-terangan. Aku tak mau menjawab, aku sudah belajar dari pengalamanku yang sebelumnya, berurusan dengan mereka akan berakhir dengan buruk. "Kayaknya dia mau latihan bakat barunya." Meghan menambahkan membuatku tambah kesal dan malu. Tahan dirimu, Elysse. Jangan terprovokasi. "Bakat apa? Menggali tanah dan makan cacing?" Aldrea membalas dengan ejekan yang membuatku geram ingin mencakar wajahnya. Aku tak tahan dan segera berdiri, menubruk mereka dan melarikan diri. Samar aku mendengar u*****n dan cacian dengan nada jijik yang jelas semua tujukan untuk diriku. Setelah merasa jauh dari mereka, aku berjalan menuju kelasku yang terletak di lantai tiga. Karena sudah biasa, rasanya tak melelahkan meski harus naik terus beberapa anak tangga, dengan jalan kaki biasa tentunya, aku tak akan kuat jika harus berlari. Banyak orang yang berlalu lalang, sendirian atau berkelompok. Suasana ramai seperti biasanya, aku menunduk dan berjalan lebih cepat agar segera sampai menuju kelas pagiku tanpa menarik perhatian siapa pun. Masuknya aku ke kelasku langsung disambut oleh panggilan Liza, temanku. Satu-satunya orang yang bisa kupanggil sebagai seorang teman hanyalah dia orangnya. Nama lengkapnya Haverelizza Countweill, aku suka memanggilnya Liza atau Liz. Lebih mudah untuk diucapkan dan diingat. "Hey, El. Bagaimana dengan Aldrea? Apakah si centil itu masih mengganggumu? Ak …." "Sudahlah, biarkan saja dia nanti lelah sendiri," kataku memutus perkataan Liza, seperti biasa ia membahas topik utama saat bertemu adalah tentang itu. Ya, aku segera menyelanya, karena aku tahu dia akan berceloteh dengan sangat amat panjang. Kadang telingaku sampai mengeluarkan air dan kepalaku sampai sakit. Yah, tidak juga, tidak sampai seperti itu. Tapi biasanya dia akan berceloteh panjang lebar sampai berbusa mulutnya, dan itu tak akan berhenti sampai dia lelah sendiri. Apalagi jika dia mengetahui kejadian tadi, mungkin dia akan langsung murka seperti kesurupan dan melabrak mereka, itu hal yang tak kuinginkan. Ia punya keberanian yang jauh lebih tinggi dan lebih besar dari ukuran tubuhnya sendiri. "Oke, oke. Kalau itu yang kamu mau, tapi awas saja dia kalau mengganggumu lagi, akan kupastikan dia mendapatkan balasan." Ia mengepalkan tangan seperti membulatkan tekad dan siap melakukan apa yang ia katakan. Gelagatnya membuatku geleng-geleng lemah, dilihat dari sisi mana pun ia tampak tak akan tega melukai seseorang, apa yang akan dia lakukan pada mereka? "Sebaiknya kita diam sebelum pak tua itu mengeluarkan kita dari kelas." Saat pelajaran pertama selesai, aku dan Liza makan bersama. “El, aku mimpi aneh. Rasanya konyol dan menggelikan juga.” Ia membuka percakapan dengan mengisahkan mimpi, sangat kebetulan aku juga bermimpi aneh. “Mimpi?” tanyaku. Ia mengangguk. “Dalam mimpiku, aku melihat banyak sekali penyihir di kota ini, banyak roh aneh menyeramkan dan para penyihir itu melakukan kejahatan pada penduduk kota ini.” Ia menceritakan mimpinya dengan ekspresi seolah sedang mengingat-ingat. Terkadang, hal yang dimimpikan akan langsung terlupakan ketika seseorang terbangun dari tidur. Tapi, ada kasus lain di mana mimpi yang dialami akan terus teringat. Mimpi memang bisa dikatakan merupakan sesuatu yang aneh dan masih misteri, ilmu dan pengetahuan zaman sekarang masih belum mengetahui teka-teki mengenai mimpi. “Penyihir ya, aneh juga. Tapi kurasa itu hanya bunga tidur, jangan terlalu dipikirkan.” Aku tak akan menganggap apa yang diimpikannya terlalu serius. Kami sering membahas dan membicarakan mengenai penyihir dan segala hal berhubungan dengan mitologi, wajar jika sesekali sampai memimpikannya. “Inginnya sih, seperti itu, tapi ada hal yang lebih gila lagi mengenai kisah itu.” “Apa?” “Aku menjadi penyihir jahat yang memimpin semua penyihir itu tuk menguasai semua makhluk hidup di sini." Ia memaparkan itu dengan ekspresi serius. “Astaga, itu mengerikan. Aku bahkan akan langsung kencing jika aku yang mengalami mimpi itu," balasku dengan ekspresi sok serius juga. “Kau mengejekku, kan?” tanyanya dengan sewot. “Iya.” Kami segera tertawa lepas, setelah makan maka pelajaran terakhir kami hadiri. Pelajaran pagi usai, Liza meninggalkanku karena perutnya mendadak sakit dan harus segera membuang beban di dalam perutnya itu, maka aku berada di kelas sendirian, merapikan semua alat tulis milikku dan miliknya, tentu saja. Saat suasana ruangan ini sepi, seseorang tiba-tiba saja datang, dia pria ganteng dan jelas salah satu pria dan senior yang punya banyak pengagumnya. Dan ya, sebenarnya si ganteng ini beberapa kali coba mendekatiku sejak kecelakaan tak sengaja itu, itu memang drama biasa dan agak monoton hingga ke sananya jadi membosankan. Saat itu adalah kegiatan ospek, penerimaan calon mahasiswa baru, ketika itu aku dapat hukuman untuk membersihkan satu ruangan. Entah kebetulan, kecelakaan disengaja, rencana seseorang atau memang sudah jadi takdir, pria itu datang masuk begitu saja saat lantai masih penuh dengan sabun. Semua tahu sendiri hasilnya, yap, pada akhirnya dia jatuh dengan tangan terkilir, karena ketika terpeleset, dia refleks menahan jatuh dengan kedua tangan, meski tetap saja debaman pantatnya mengenai lantai terdengar jelas. Aku tahu jika reaksi itu adalah gerak alami yang manusia lakukan saat jatuh ke arah belakang, tangan otomatis bergerak menahan kejatuhan, dan biasanya tangan akan ikut sakit karena terkilir. Karena aku merasa itu adalah ulahku yang menjadi penyebab ia jatuh, aku segera menolongnya dan membantu membawanya ke ruang kesehatan. Sejak saat itu, dia sering mendekatiku dan aku tak senang karena .... Sudah jelas para penggemarnya menganggapku seperti benalu atau kotoran yang menempel pada sepatunya. Tanpa aku memulai, aku sudah punya banyak musuh dari kaum perempuan dan terang-terangan mereka menunjukkan kebenciannya padaku. Mungkin tak sedikit gadis yang suka didekati cowok ganteng dan kerenーtermasuk aku. Tapi jika efeknya seperti ini – mendapat banyak masalah dan dimusuhi banyak orang, maka kurasa aku lebih suka hidup sendiri dan mengagumi pria tampan secara diam-diam. Lihat ‘kan? Itu adalah kejadian yang sangat biasa dan sederhana sekali. "Hai, Ely. Ada yang bisa kubantu?" Ia tersenyum dan menawarkan bantuan. Aku memang senang karena ada cowok ganteng yang dengan senang hati mendekati bahkan menawarkan bantuan. Tapi aku ingat jika berada lebih dekat dengannya lagi, maka hidupku tak akan berakhir dengan baik dan akan terus mendapatkan siksaan dari mereka yang membenciku. Aku memandangnya sesaat dan kembali pada pekerjaanku. "Tidak, terima kasih atas tawarannya, sudah selesai." Aku memang sudah selesai mengemasi semuanya dan membawa dua tas, tapi Xendar dengan cepat mengambil tas milik Liza dan tersenyum padaku saat aku menoleh memandangnya. "Terlalu kerepotan dengan dua tas, huh. Kukira menerima bantuan dari orang lain itu bukan kesalahan." Ia menggerutu yang dibuat-buat, dan itu membuat dia tampak lucu. "Tapi, senior." Mendapat bantuan darimu memang bukan kesalahan dan itu hal yang baik. Tapi yang salah adalah keadaan ini, kau yang populer dan aku yang terasingkan, bukan pasangan yang serasi dan aku tahu itu. Aku bukan gadis yang tak tahu diri dan tak punya malu. "Tak apa, ayo." Ia segera mendahuluiku pergi, oke kita emangnya mau pergi ke mana? Siapa di sini yang menjadi bosnya? Aku berjalan dengan perasaan yang gugup. Bukan merasa gugup kesenangan karena sedang bersama cowok ganteng yang terkenal, tapi gugup karena aku merasakan jika tiap pasang mata memandangku. Perasaanku mengatakan, jika terlalu banyak pasang mata yang ingin membuatku menjadi bubur daging dan menelanku secara bulat-bulat, bayangkan sendiri rasanya, jelasnya sangat horor. Untungnya itu tak berjalan dengan lama karena Liza langsung datang dan menyapaku. "El, aku minta maaf. Orangtuaku mendadak menelepon dan aku harus ... eh, hai senior." Liza memandang ke arah Xendar dan menyapanya dengan grogi. Apa dia langsung melupakanku ketika melihat ada pria tampan? Oh, yang benar saja, ia bahkan melupakan kalimat yang sebelumnya terpenggal. Kulihat Xendar hanya tersenyum singkat menjawab sapaan dari sahabatku. "Oke, enggak apa-apa kok. Aku juga enggak ada banyak kerjaan di sini." Aku menyahut perkataannya, membuyarkan gelagat aneh menggelikan dari sahabatku. Tentu saja aku tak bisa mengatakan jika aku juga mau pulang, bisa-bisa Xendar menawarkanku untuk ia antar pulang. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi dia sudah beberapa kali melakukan itu saat dia tahu jadwal pulangku. Liza menoleh ke arahku dan tersenyum minta maaf. "Oh oke, kalau gitu aku pergi dan emmm … senior. Itu tasku." Liza grogi lagi saat memutar mata ke arah Xendar dan menampilkan senyum tak jelas saat memandangnya. Reaksi wajar para perempuan yang dekat dengannya, tentu saja temanku ini bukan pengecualian. "Oh ini, maaf." Xendar segera menyerahkan tas itu pada pemiliknya, Liza menerimanya dengan gelagat konyol, ia berpamitan padaku dan langsung pergi. Syukurlah kau tak mempermalukan diri sendiri lebih lama lagi. "Senior, aku juga harus pergi, ada hal yang harus kulakukan." Tanpa mendengar jawabannya dan balasan darinya, aku langsung melarikan diri. Hal terbaik yang harus kuperbuat. "Tapi …." Aku tak mendengar ia berkata lebih setelah aku sudah jauh darinya. Huh, oke aku menyesalinya, tapi ini jauh lebih baik, aku merasa tak terancam maut lagi. "Hah, aku minta maaf. Tuan tampan, tapi ini yang terbaik bagi kita. Kau tak tahu betapa sulitnya hidupku karena disebabkan oleh para penggemar gilamu." Aku mengumpat pelan-pelan, seolah sedang merapal mantra penangkal kesialan saja. Sesuatu yang akan sia-sia dan percuma. Mata kuliah hari ini sudah selesai, jadi aku memutuskan untuk langsung pulang. Toh, tak ada kegiatan apa pun lagi dan aku juga tak berniat berlama-lama di sini, apalagi aku sedang tak berminat berada di perpustakaan dan akan langsung pulang saja, aku benar-benar tak memiliki alasan tuk tinggal lebih lama di tempat yang rasanya membuatku selalu terancam ini. Saat sampai di halaman, aku yang niatnya langsung pulang, tiba-tiba pasang mataku melihat sepedaku sudah ringsek dilindas sesuatu yang besar dan jelas itu pasti dilindas mobil Jeep milik Meghan. Tentu saja itu kendaraan miliknya, tak ada kendaraan sebesar dan sebagus jeep itu, itu adalah kendaraan terbesar di sini. Kenapa lagi dengan wanita itu? Segera saja aku berlari menuju ke arah tumpukan besi yang sudah ringsek itu. "Yang benar saja, ini satu-satunya kendaraan yang kumiliki." Aku berjongkok melihat bentuk sepedaku yang sudah tak karuan, ini lebih mirip tumpukan logam berkarat dari pada sebuah sepeda. Air mataku tanpa bisa kutahan mengalir. Bagaimana bisa mereka sekejam ini? "Oh, lihat ada Tuan Putri yang sedang main drama." Dari kejauhan aku dapat mendengar suara Aldrea. Ya, saat aku memandang ke arah sumber suara, kulihat mereka berada di dalam mobil masing-masing dengan menatap jijik ke arahkuーkecuali mereka yang berada di atas mobil jeep terbukaーmereka berada di depan pintu gerbang. "Oh astaga, mengharukan sekali sampai aku mau muntah." Cassandra ikut mengejek. Sungguh, aku ingin merobek wajahnya saat ini juga. "Kasihan sekali, kenapa kau tak memberinya satu milikmu?" Meghan menggeleng dengan prihatin yang dibuat-buat saat mengatakan itu, ia melirik pada Irina. "Jika aku kasih, dia bakal bersujud dan mencium kakiku. Aku, kan enggak mau kena kuman." Irina membalas dengan seringai jahat. Oke, sudah cukup. Aku tak akan diam kali ini. Melupakan segala konsekuensi dan masalah yang akan kudapat, aku tak memikirkan hal lain selain balas dendam. Aku beranjak dan berjalan dengan langkah besar menuju mereka, tepatnya menuju ke arah Meghan yang duduk di belakang Jeep terbukanya. Tentu saja dia sasaran utamaku, terlepas dari ejekannya, dia adalah tersangka terbesar yang menjadi pelaku atas sepedaku yang hancur. "Oh lihat, dia datang." Aldrea tersenyum miring saat melihat kedatanganku. "Mungkin dia mau minta tumpangan dan m******t kakimu." Irina membalas dengan sarkasme. "Amit-amit." Aldrea bergidik jijik, semua menertawakan itu. Apa itu lucu? Tentu saja aku tak memedulikan mereka, aku segera memandang ke arah Meghan. "Kau yang melakukannya?!" Aku berteriak sambil menunjuk wajah Meghan. Ia menyeringai masih duduk dengan santai menumpang kaki. Seingatku, ini pertama kalinya aku berbuat seperti ini, jelas para penonton juga pastinya tak menyangka jika aku akan berani kali ini. "Jauhkan tangan kotormu dariku." Ia menendang tanganku dengan kasar, jujur saja, itu sakit. Aku memegang pergelangan tanganku dan melotot padanya. "Kau pikir apa yang kau lakukan? Apa salahku?!" "Siapa suruh kau dekat-dekat dengan Xendar, dia milikku," katanya menjawab dengan menantang. Ia tampak sangat kesal padaku. Oh, aku belum mengatakannya, Meghan adalah salah satu penggemar gila dari Xendar. Saking gilanya, ia sampai mengklaim jika pria itu adalah miliknya, tak mengizinkan gadis lain mendekatinya. "Aku tak pernah dekat-dekat dengannya dan tak pernah terbesit sedikit pun dipikirkanku untuk mendekatinya!" Aku membalas dengan sengit, jadi hanya karena itu sepedaku menjadi korban? "Bohong, jelas-jelas aku melihatnya tadi. Ini peringatan untukmu, sekali lagi aku melihat kalian bersama, maka giliran badanmu yang akan terlindas!" Ia bicara dengan suara dingin saat mengatakan ancaman itu, kakinya menendang dadaku sampai aku terhuyung jatuh. Ya, badanku memang lemah sehingga tendangan biasa saja dapat membuatku jatuh. Karena sangat kesal, akhirnya tanganku refleks meraih kakinya yang tergantung berayun itu untuk berdiri, itu membuatnya jatuh ke atas kubangan air dan lumpur dekat ban mobilnya. Aku sengaja menariknya sangat kuat. "Hei!" Semuanya meloncat turun dan aku segera melarikan diri sebelum mereka menangkapku dan melakukan hal memalukan padaku. Aku langsung menggunakan seluruh kemampuanku untuk melangkah dan berhasil, sebelum mereka dapat menangkapku, aku sudah lolos dan berada jauh dari jangkauan mereka. Aku menghela napas dan menghentikan kaki untuk berlari, itu melelahkan meski langkahku tak terlalu jauh meninggalkan mereka. Samar aku mendengar mereka berteriak marah atas apa yang telah kuperbuat. Kemudian berikutnya mereka berteriak jijik dan mengumpat tentang burung yang menjatuhkan kotoran pada mereka. Bagus, hadiah tambahan bagi mereka untuk menjadi badut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD