“Sepertinya telingamu yang bermasalah, aku sudah tepat mengatakannya.” Dia keras kepala dan aku menghela napas, menggeleng.
“Oh terserahlah. Jadi apa memang tak ada perbedaan mengenai keadaan kota saat ini dengan yang ada di dalam mimpimu?” Aku memutuskan mengalah dan mengajaknya membahas topik sebelumnya, perdebatan sepele dan tak ada gunanya ini mungkin akan sangat panjang jika tak ada yang mengalah.
“Hmm, semua tampak sama, kecuali adanya banyak penyihir yang sepertinya menjauhkan diri dan menyembunyikan keberadaan mereka dari publik sehingga tak ada yang mengetahuinya. Aku curiga jika mimpiku merupakan visi masa depan, tapi seperti yang kau katakan, itu mustahil. Apalagi aku melihat jika
Meghan berteman dengan kita.” Entah kenapa aku merasa jika dia mengulang apa yang dia katakan sebelumnya, sepertinya kepalanya mesti diistirahatkan.
“Tepat sekali. Sesuatu seperti itu rasanya agak kurang menyenangkan untuk terjadi.” Aku mengangguk saja mengiyakan.
“Oh iya, aku juga menemui beberapa penyihir di bar yang khusus dimasuki oleh para penyihir saja.” Dia menambahkan lagi, sepertinya itu terlewatkan dari penjelasan sebelumnya.
“Oh ya, apa di sana ada warlock tampan?” tanyaku dengan penasaran. Warlock adalah penyihir pria, biasanya lawan jenis dari witch. Itu sih, yang k****a dari buku-buku. Entahlah seperti apa aslinya.
“Banyak. Berbagai jenis penyihir kota ini berkumpul di bar-bar sekitar. Aku bahkan ada niat untuk memastikan apakah mimpiku sungguhan atau tidak dengan mengunjungi tempat-tempat itu nanti jika sudah sembuh sepenuhnya.” Dia menjawab, tunggu, Liza ingin memastikan? Itu hanya mimpi, bukan? Untuk apa harus sampai sejauh itu melakukan pembuktiannya?
“Lupakan saja, kau hanya akan membuang-buang waktu.” Kugelengkan kepalaku karena tak setuju dengan apa yang dirinya ucapkan, aku mengusulkannya untuk menyerah saja.
“Kau mungkin benar, hanya saja aku agak penasaran.” Liza menggumam.
“Seperti itulah manusia, selalu dipenuhi rasa penasaran. Bahkan kadang rasa takut juga dikalahkan oleh rasa penasaran. Itu pada akhirnya membawa mereka pada musibah dan malapetaka, jadi sebelum kau menderita dan mengalami musibah, kusarankan kau jangan mencoba. Penyesalan selalu datang di akhir, dan itu tak ada obat yang akan menyembuhkannya.” Kujelaskan dengan panjang lebar dengan penuh perhatian.
“Uh, kenapa kau tiba-tiba menjadi bijak? Aku jadi terpesona dan benar-benar kagum padamu.” Segera saja aku memukulnya dengan bantal atas apa yang dikatakannya. Aku bicara panjang lebar, dan itukah jawabannya? Menyebalkan sekali. Aku sebal.
“Aku selalu bijak. Lagi pula, kau mendengarkanku atau tidak, sih?” dengusku. Dia malah tertawa saat melihat gelagatku yang seperti itu.
“Aku dengar, aku dengar. Hanya saja meski kau mengatakan itu, aku masih penasaran ingin mencari tahu,” balasnya dengan sedikit cengiran. Sepertinya aku tak bisa membujuknya untuk berhenti dan melupakan apa pun yang dia mimpikan itu.
“Begini saja, jika kau penasaran mengenai itu, maka jangan pergi sendiri, setidaknya bawalah aku bersamamu. Jika ada bahaya, kita bisa menghadapinya bersama.” Aku mengusulkan padanya, itu sepertinya bukan pilihan yang buruk, aku memiliki seseorang yang–kuharap—akan melindungiku jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi.
“Sok kuat, memangnya apa yang bisa kau lakukan?” tanyanya dengan ejekan.
“Kau lupa? Aku yang membuat Meghan dan antek-anteknya masuk rumah sakit.” Aku membalas menyinggung lagi mengenai apa yang terjadi pada Meghan padanya.
“Uh, aku benar-benar tak ingat, bisa kau ceritakan lagi dari awal?” pintanya dengan sok polos tanpa dosa.
“s****n. Untuk apa aku cerita banyak tadi?” Segera saja kugelitiki dia hingga dia menyerah karena perutnya sakit. Maka aku segera berhenti.
“Jadi, apa kita masih punya nama yang sama ketika kita jadi penyihir?” tanyaku berbasa-basi, agak tak sepi rasanya ketika percakapan di antara kami sudah berakhir.
“Aku sih punya nama julukan sendiri.” Ia menjawab dengan nada percaya diri.
“Apa itu?”
“Namaku adalah Tinea Eldearovir. Keren bukan?” tanyanya meminta pujian dariku. Aku hanya angkat bahu, namanya memang terdengar bagus, hanya saja nama itu mengingatkanku pada sesuatu.
“Entahlah, terdengar seperti nama penyakit kelamin menurutku.” Aku menyahut dengan nada yang acuh tak acuh.
“s****n!” Ia langsung mengguncang tubuhku. “Aku sudah memikirkan itu sejak lama dan kau aduh ... aduh, perut aku sakit.” Ia segera melepaksanku lalu memegangi perutnya, entah mengapa aku merasa geli melihatnya.
“Ahahahaha, jangan marah. Lagi pula itu memang seperti nama penyakit kelamin. Kau belum pernah mendengar yang namanya Tinea Cruris?” jelasku. Ya, nama yang ia katakan memang sama dengan nama penyakit kelamin.
“OMG, itu memang nama penyakit kelamin. Begonya aku, kenapa membuat nama seperti itu?” Ia tampak histeris sendiri. Nah, tampaknya ia juga baru sadar dengan itu, sepertinya ia tak bisa menyangkalnya.
“Ahahaha, kau baru sadar jika dirimu b**o?” Aku membalas dengan tawa puas.
“Hei! Berhenti menghina orang yang sedang sakit, kau bisa dikutuk melajang seumur hidup.” Ia memprotes dengan melontarkan kalimat yang ... tunggu, apa maksudnya ini? Kutukan macam apa ini?
“Ih, mengerikan.” Aku pura-pura bergidik.
“Makanya jangan macam-macam denganku.”
“Oke, aku hanya akan satu macam saja.”
Obrolanku yang simpang-siur bersamanya berlangsung sampai jam besuk berakhir, sepertinya kami akan terus mengobrol sampai larut malam jika jam besuk tak berakhir dan seorang perawat benar-benar mengusirku. Karena harus pulang dan membiarkan Liza beristirahat, maka dari itu aku mengucapkan beberapa patah kalimat untuk berpamitan, maka segera saja aku beranjak karena tanpa kusadari jika langit sudah gelap dan jam menunjukkan jika ini sudah larut malam.
“Sepertinya aku harus pulang.” Aku bergumam sambil memandang kepergian sang perawat yang menegur kami sebelumnya.
“Perawat di sini pada galak, mungkin jika kau tak patuh, anggota badanmu bisa saja dimakan,” bisiknya dengan horor dan menakut-nakuti. Aku tersenyum sambil menggeleng.
“Separah itukah? Kukira yang menjagamu adalah dokter ganteng yang seksi dan memesona. Karena jika itu iya, maka aku akan menginap bersamamu saja.” Aku menggodanya.
“Sudah ah, pulang sana, bisa-bisa kau menginap di sini.” Dia memukulku dengan bantal, ia segera mengusirku. Sepertinya ia sudah lelah berkelakar.
“Kau mengusirku?” tanyaku dengan protes.
“Ya, bagaimana rasanya diusir dua orang sekaligus?” tanyanya, sebelumnya aku memang sudah diusir oleh perawat, dan sekarang Liza juga mengusirku. Dia memiliki wajah yang jahat saat bicara seperti itu.
“Itu sakit, tapi tak sesakit seperti ditinggal menikah oleh pria yang kau cintai.” Aku membalas dengan gurauan.
“Mungkin sudah waktunya kau enyah dari sini.” Dia mengerling tajam. Sepertinya dia sudah benar-benar bosan dan jengah melihatku, dasar penjahat.
“Aku tahu, aku tahu.” Aku hendak pergi, karena ini sudah malam dan Liza perlu istirahat, aku sudah puas bercakap-cakap dengannya selama beberapa jam ini, sudah cukup bagiku melepas rindu dan membagi semua yang terjadi dalam tanda kutip, itu adalah kejadian normal dan masih bisa diterima nalar, sama sekali bukan kejadian yang melibatkan peri dan kekuatan mengerikan mereka. Yah, aku juga harus memaklumi jika dia perlu istirahat lebih banyak, lagi pula semua yang ingin kukatakan sudah tersampaikan semuanya, tak ada alasan lagi bagiku untuk tetap tinggal.
“Tunggu dulu,” katanya, dia menahanku. Aku berhenti dan menoleh ke arahnya, dia berada dalam posisi duduk.
“Kenapa? Berubah pikiran? Mau kutemani tidur?” tanyaku dengan jahil.
“Tidak, hanya saja dari segala mimpi aneh itu, aku dapat berita bagus untukmu.” Dia seolah baru ingat yang satu ini, sepertinya ini agak penting sehingga dia tak bisa menunda bercerita untuk esok hari. “Aku baru saja ingat barusan.”
“Apa itu? Kuharap ini penting.” Aku agak penasaran juga, dia segera tersenyum nakal.
“Tak lama lagi kau akan dapat pacar. Dia adalah lelaki ganteng yang tinggi dan seksi, rambutnya pirang dan badannya gagah. Aku tak yakin, tapi dalam mimpiku, aku melihat kau dipangku olehnya dan kalian bersama melarikan diri dari kejaran para penyihir. Kau memandanginya dengan penuh cinta dan nafsu un ....” Segera saja kubekap mulutnya karena apa yang dia katakan malah langsung terbayang olehku, pasti dia akan mengatakan hal yang tidak-tidak.
“Cukup, sepertinya kau salah minum obat. Sebaiknya tidur saja sana.” Dia melepas bekapanku dan tersenyum jahil.
“Kalau begitu aku akan tidur, enyahlah.”
“Kau mengusirku lagi!” tukasku dengan sebal karena pengusiran lagi.
“Karena kau tak mau pergi juga.”
“Aku akan pergi sekarang.” Aku bicara dengan sebal, sengaja aku pura-pura memasang ekspresi yang marah. Sayang sekali aku tak mendapatkan reaksi yang kuharapkan.
Ketika aku melihat keranjang makanan di atas meja, aku langsung menyunggingkan senyum nakal. Segera kurampas atau kucuri sisa apel dan pisang yang harusnya itu dimakan Liza. Tentu saja aku mengambil beserta keranjangnya sehingga tak ada yang tersisa untuknya.
“Pencuri! Itu makananku!” Dia berteriak. Aku segera berlari keluar pintu, kemudian menengok saja sesaat dari celah pintu.
“Aku juga mencintaimu. Istirahatlah dengan baik,” balasku. Segera saja aku melarikan diri, meninggalkan ruangan.
“Kembali ke sini!” Ia berteriak dari dalam sana sementara aku berlari kecil sambil tersenyum puas karena berhasil mencuri makanannya.