42 – Membawakan Sesuatu?

1403 Words
“Wow, ini lebih spektakuler daripada berita tentang presiden kita yang ternyata seorang pedofil.” Dia terlalu berisik dan apa maksudnya itu? Sembarangan sekali dia berbicara. Kiasan atau perbandingannya sangat jauh dan bisa membahayakan. Segera saja kupukul pundaknya. “Jaga bicaramu, bodoh. Ucapan yang kau lontarkan bisa mengirimkanmu ke penjara.” Dia hanya menyengir bodoh sambil mengusap-usap bekas pukulanku. “Jujur saja, aku tak percaya, ini adalah pencapaian.” Dia bicara lagi dengan bangga padaku. “Pencapaian?” ulangku, meminta kejelasan apa yang dia maksud dari itu. Liza segera mengangguk. ‘’Ya, kan selama ini kau yang selalu tertindas dan menjadi kain pel untuk mereka.” Dia menjelaskan, entah kenapa aku memiliki dorongan untuk membakar dan mencekik dia sampai mati. Aku juga jadi menyesal mengatakan hal sebelumnya. “Oh terima kasih.” Aku menyahut dengan sarkasme. Dan tampaknya itu yang dia inginkan dariku. “Hahaha, maaf, maaf. Lalu apa yang kau lakukan pada mereka?” Setelah tertawa kecil, maka dia mengajukan pertanyaan lagi, sepertinya dia mengurangi tawanya karena takut perutnya yang belum pulih langsung kambuh lagi. “Aku membuat lebam pada badan mereka, melukai tangan dan kaki Cassandra dan membuat Meghan pipis di celana. Oh dan hadiahnya, aku mencuri celana dan jaket Aldrea yang ternyata harganya setara dengan satu unit motor sport impor.” Aku memaparkan apa yang terjadi tempo hari, tentu saja tak menjelaskan dengan rinci, apalagi sampai mengungkap keberadaan wanita yang ada di dalam tubuhku. Ini jauh lebih baik menjadi rahasia yang hanya aku saja yang tahu. “Oh astaga, aku tak menyangka kau sangat menyeramkan. Ini gila, aku lebih suka mendengar teori konspirasi atau berita hoax lainnya, ini terlalu sulit dipercaya.” Bukan hanya meragukan ucapanku, dia tampak meledekku. Dasar Liza. “Kau sedang memuji atau menghinaku sih?” tanyaku dengan sebal. Dia hanya tertawa ringan sebagai jawaban. “Dasar.” “Habisnya itu memang sulit dipercaya.” Dia tetap meragukan apa yang kuceritakan, harusnya dia menonton secara langsung agar dia percaya dengan apa yang mampu kulakukan. Tapi jika dia ada di sana, aku yakin dia akan mengalami trauma yang tak akan sembuh dalam waktu yang dekat. Aku yakin terhadap itu. “Jangan remehkan kekuatan Elysse Nihaelrroline.” Aku menyahut dengan angkuh. “Oke, oke. Kau yang terbaik, nomor dua tentunya. Aku tetap yang nomor satu,” balasnya dengan memuji, tepatnya memuji diri sendiri. Segera saja aku menoyornya. “Omong-omong, apa kau benar-benar mencuri pakaian Aldrea?” Dia segera mengganti topik percakapan. “Kau mau lihat pakaiannya? Aku akan melelangnya jika kau tetap tak percaya,” kataku. Aku berpindah posisi sebelum kemudian mengeluarkan ponselku. Kuperlihatkan aplikasi situs penjualan barang online. “Uh, astaga kau sampai ingin menjual barangnya.” Dia meraih dan melihat apa yang kuposting di sana. Aku memang menjual benda itu sungguhan. Tak ada gunanya kukenakan lebih lama, pemiliknya akan menagih itu jika melihat aku mengenakannya. “Tentu saja, apalagi jika aku tahu bahwa harganya memang mahal, kau tahu sendiri keadaan ekonomi kurang, aku perlu pemasukan. Apalagi keadaan rumahku benar-benar berantakan.” “Ya, aku tahu.” “Niatnya aku ingin mengambil celana Meghan yang tampak lebih mahal, sayangnya dia malah kencing di celana, itu benar-benar menjijikkan.” Kupasang ekspresi jijik saat membayangkan jika Meghan benar-benar mengencingi celananya sendiri saat itu. Dia ikut mengernyit saat aku mengatakan itu. “Karena kau mengatakan itu, aku jadi penasaran bagaimana kau melakukan semuanya.” Tampaknya dia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana caranya aku bisa membuat mereka terluka dan pergi ke rumah sakit. Sayangnya aku tak akan bercerita lebih. Segera kuraih kembali ponselku. “Aku tak akan menceritakannya, kau pasti akan menghinaku habis-habisan.” Kubalas kalimatnya dengan penolakan keras. Dia memasang ekspresi yang sedih. “Sayang, kau terlalu berprasangka buruk pada sahabat baikmu, kapan aku pernah menghinamu?” tanyanya dengan nada rendah dan sedih seolah dia adalah orang tersakiti yang memiliki sakit hati. “Jangan pura-pura lupa!” tegurku, siapa yang sebelumnya tak percaya dan meragukanku? “Ehehehe, jadi apa kau mau cerita atau tidak? Aku perlu hiburan kecil di sini, rasanya sangat bosan jika harus duduk-duduk saja tanpa suatu kegiatan, lama-lama aku bisa bertelur.” Dia meminta lagi, seperti biasanya. Liza akan beberapa kali mengulang sesuatu untuk mengeraskan dan memastikan. “Mana mungkin kau bertelur? Paling juga kau buang kotoran di celana.” Aku sengaja melontarkan ejekan. Ia tentu tak terima, ekspresinya memperlihatkan itu. “Sembarangan, aku tak mungkin melakukan itu. Kalau kencing, sih, mungkin saja.” “Jorok!” “Oke, oke. Jadi bagaimana dengan ceritanya?” Ia kembali mengingatkanku. Maka aku menyerah dan bercerita tentang hari-hari di mana setelah ia mendapat kecelakaan, tentu saja aku mengubahnya beberapa bagian, aku menghindari topik yang mengarah pada para peri yang berbuat ulah denganku, aku juga menceritakan tentang keadaan rumahku yang tiba-tiba saja berantakan dengan entah apa penyebabnya. “Uh, jangan-jangan para fey menyusup ke dalam rumahmu.” Dia tiba-tiba saja berkata seperti itu, aku juga memiliki kecurigaan yang sama, hanya saja tak ada bukti apa-apa yang menguatkan. “Aku takut apa yang kau katakan itu benar. Serius.” Tubuhku sampai agak bergidik saat mendengar itu, jujur saja aku memang ngeri sungguhan. “Mungkin mereka akan menyelinap dan menidurimu saat tengah malam, tapi karena mereka terkejut dan jatuh, maka mereka tak sengaja melepaskan kekuatan sampai membuat rumahmu berantakan. Takut kegaduhannya diketahui, para makhluk seram itu mengurungkan niat lalu segera melarikan diri.” Ia menuturkan perkiraannya, benar-benar sesuatu yang teramat gila jika apa yang dirinya katakan adalah kenyataannya. “Jangan membuat opini seenaknya!” Aku menghardiknya, maka setelahnya kami kemudian mengobrolkan banyak hal yang bahkan hanya berupa khayalan dan apa-apa saja sama sekali tak terjadi. “Ini masih menjadi pertanyaanku. Waktu kau kecelakaan, kau ingin membawa apa untukku?” Aku memulai topik baru. Pertanyaan ini membuatku penasaran sejak beberapa hari ini, apa yang membuatnya begitu penting hingga ia rela hujan-hujanan untuk membawakanku sesuatu. “Oh itu, sebenarnya hanya pembalut merek baru.” Ia membalas dengan nada yang acuh tak acuh. Balasannya benar-benar tak kuduga. “Apa? Jadi kau mendapatkan semua ini dan rela hujan-hujanan hanya demi membawakanku pembalut?” tanyaku dengan penuh rasa tak percaya. Mana mungkin ia melakukan semua itu sampai kecelakaan akibat hanya untuk membawakanku pembalut saja. Bahkan aku belum bocor, jadi untuk apa? Ia tersenyum sambil mengangguk. “Aku heroik sekali bukan?” balasnya seperti minta dipuji. “Sebenarnya itu terdengar dungu.” Balasku dengan acuh tak acuh. “s****n!” Ia mendorongku sambil memasang ekspresi kesal, tentu ia tak mendorongku sungguhan karena aku tak sampai terjengkang. Aku tersenyum menanggapinya. “Oke, serius. Apa yang kau bawa untukku?” ulangku. Aku yakin jika itu bukan sesuatu yang dirinya bawa saat itu. “Emmm .... jawab enggak ya ....” Ia pura-pura menimbang untuk memberi tahuku atau tidak. “Haruslah, aku bahkan akan memanggil polisi dan detektif untuk menginterogasimu jika perlu.” “Ahahaha, tidak sampai seprti itu juga dong, memangnya aku narapidana?” “Mau jawab atau tidak?” “Oke, oke. Sebenarnya yang ingin kuberikan padamu adalah kue krim yang panas dingin.” Aku langsung terkejut mendengarnya. “Kau terus menginginkannya bukan? Aku memesan itu sebelum kemudian pagi harinya tiba. Niatnya aku mau memberikan itu padamu pagi-pagi, tapi malah lupa. Kurasa orangtuaku menyimpan jika tak dimakan Sylvia.” Ia menuturkan semuanya membuatku terkejut sekaligus kagum. “Ow, manisnya. Ini benar heroik dan so sweet.” Ia aku segera memasang raut yang tersentuh. Jujur saja aku memang selalu menginginkan kue krim yang Liza maksudkan. Siapa sangka dia membelikannya untukku, itu kan harganya hampir seharga ponselku, maka dari itu aku hanya berandai-andai saja tanpa mampu membelinya. “Jangan peluk.” Ketika aku mendekat ke arahnya sambil mengulurkan kedua tangan, ia segera menahanku. “Apa? Aku sudah mandi.” “Oh, kukira kau belum mandi. Eits, bukan itu, perutku bisa sakit lagi jika kau memelukku.” “Mana ada. Sudahlah, mau peluk atau tidak?” tanyaku dengan kedua tangan masih terulur hendak memeluknya. “Tidak ah, nanti kamu malah terangsang dengan tubuhku.” Ia mundur dengan ekspresi jijik sambil memeluk dirinya sendiri. Apaan itu? “Mana ada! Aku masih suka lelaki tampan.” Aku langsung memukulnya, setelahnya kami langsung tertawa bersama. Seperti inilah Liza, dia terlampau sering bercanda dan bicara melantur seenaknya, tapi hal itu adalah salah satu yang kusuka dari dirinya, hidupku yang suram setidaknya menjadi sedikit lebih berwarna-warni berkat keberadaannya. Aku bersyukur bisa mengenalinya, aku senang bisa berteman baik dengan gadis seperti dirinya. Rasanya meski hanya dia seorang sebagai temanku, aku sudah merasa cukup dan sudah puas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD