40 - Mengatakan hal yang Terlewat

1133 Words
“Sebenarnya apa yang telah terjadi, polisi belum juga menemukan titik terang meski sudah menggunakan kamera yang tak sengaja menangkap insiden yang kau alami.” Aku memulai topik serius, menanyakan pertanyaan yang sudah terasa sangat lama kupendam dan kusimpan ini, rasa penasaran sangat menyiksaku. Liza segera berhenti dan keadaan ruangan ini hening sesaat. Aku menunggu jawabannya tanpa mengatakan apa-apa. Ekspresi Liza tampak serius, ia menunduk sedikit seperti kembali mengingat kejadian tempo hari, setelahnya ia mengangkat wajah memandangku. Kepalanya menggeleng satu kali. “Ini agak sulit untuk dijelaskan,” gumamnya pelan, ekspresi wajahnya menampakkan seolah dia sedang berusaha mengingat apa yang telah terjadi padanya, peristiwa yang membuat dia berakhir di tempat ini. “Sulit? Aku yakin ini memang sangat sulit, tak ada apa-apa di kamera, siapa pun atau apa pun yang menyerangmu, sama sekali tak tertangkap oleh kamera,” kataku memberi penjelasan dengan apa yang kudapatkan. Maka Liza segera menoleh padaku. “Benarkah?” tanyanya dengan nada yang terkejut. Aku melipat tangan di d**a. “Ya, kau seolah bertarung memukul udara.” Kujawab pertanyaannya dengan kalimat itu. Dia tiba-tiba malah tersenyum. “Aku keren, kan?” tanyanya dengan konyol. Juga senyumnya masih konyol. “Ya, sangat keren jika mengabaikan luka di kepala dan perut berlubang.” Kubalas pertanyaannya dengan ejekan dan cibiran. Tapi tampaknya ia mengabaikan ejekanku. “Ini kehebatannya, sehingga hanya ini luka yang kudapat, jika aku tak terlalu hebat, maka hanya mayatku saja yang tersisa di sana.” Dia menegaskan, tak menyangkal dengan apa yang kukatakan, malah dia sangat semakin berbangga diri. Astaga, sepertinya luka di kepalanya membuat dia menjadi tak waras. “Tidak, jika sesuatu yang menyerangmu itu langsung memakan dan menelan jasadmu, bahkan menjilati darahmu yang tercecer di sana. Kemungkinan tak akan ada yang akan kau tinggalkan sehingga semua orang mengira kau hilang ditelan bumi.” Aku segera menyangkal pernyataannya, itu membuat kepercayaan dan keangkuhan sebelumnya luntur seketika. “Itu menyeramkan,” balasnya. Aku terkikik pelan dengan itu. “Ih, benar-benar menyeramkan.” “Jangan dibayangkan makanya,” tegurku. “Itu terbayang dengan otomatis.” “Huh, dasar. Tukang khayal imajinasinya terlalu tinggi.” Aku bergumam mengejek sambil geleng-geleng kepala. Selama beberapa detik lamanya, keheningan terjadi di dalam ruangan ini. “Jadi, makhluk apa yang menyerangmu? Hanya kau yang pastinya dapat melihat penyerang itu.” Aku kembali pada topik awal dan mengajukan pertanyaan. Dia diam sesaat dan ekspresinya tampak serius. “Aku ... ya, kau benar. Hanya aku yang dapat melihatnya, itu adalah manusia yang berkulit putih, hampir tembus pandang.” Aku agak tersentak dengan jawabannya, ternyata Liza memang melihat si penyerang, kupikir makhluk itu benar-benar tak dapat dilihat. “Aku kira dia adalah hantu, tapi dia menapak di tanah. Air hujan sama sekali tak memengaruhinya. Itu memiliki telinga aneh dan tak normal. Aku jadi takut saat membahasnya.” Kali ini dia memberikan jawaban yang serius dan sungguh-sungguh. Meski untuk sesaat dia tampak kurang yakin untuk menuturkan semuanya. “Fey.” Aku refleks mengatakan satu kata itu, benar-benar tak sengaja mengucapkannya, tapi tampaknya Liza sama sekali tak terkejut dengan itu. Sebagai respons, ia hanya mengangguk singkat. “Sepertinya berita-berita yang kudengar itu sama sekali tak bohong, bukan hanya untuk cari sensasi dan mengada-ada, makhluk fey itu sungguhan ada dan sialnya salah satu dari mereka berhasil menyerangku.” Dia berujar dengan gerutuan yang tampak sangat kental, mungkin dia sangat kesal dan geram pada penyerangnya. Meski aku sudah mendapat jawaban atas pelaku di balik dari p*********n Liza, aku masih saja tak mau berterus terang dan bercerita padanya tentang hal-hal yang selama ini telah kualami. Padahal jika dipikir lagi, saat ini Liza pastilah sudah percaya akan adanya para fey, seperti apa mereka memiliki kekuatan, seberapa menakutkannya apa saja yang dapat mereka lakukan. Tapi entah kenapa aku tetap merasa jika semua ini tak perlu diketahui oleh siapa pun, cukup hanya aku saja yang tahu, sekalipun itu sahabatku, sebaiknya aku bungkam saja. Kami merenungkan apa yang baru saja dikatakan oleh Liza, ada beberapa hal aneh dan janggal memang. Dan pertanyaanku yang beberapa waktu lalu masih belum terjawab dan masih bergelut dalam benakku. “Nah, aku bertanya-tanya kenapa kau diserang, apa alasan makhluk itu melakukan serangan padamu?” Aku masih bertanya-tanya tentang apa yang menjadi alasan kenapa Liza diserang, itu tak mungkin hanya iseng atau serangan salah alamat di mana seharunya makhluk itu menyerangku. Kami jelas memiliki wajah dan penampilan yang jauh berbeda. Tinggi badan kami jelas berbeda jauh. “Entahlah, aku juga tak tahu,” katanya pelan sambil menggelengkan kepalanya. Kupikir dia hendak melontarkan lelucon atau semacamnya, tapi tampaknya saat ini ia sedang serius. “Menyebalkan.” Aku membalas dengan agak kesal. Ini benar-benar membingungkan, semoga saja suatu hari nanti atau bahkan secepatnya aku dapat mendapatkan jawaban dari semua ini. Keheningan lagi. “Jadi apa vonisnya?” tanyaku, aku ingin tahu apa saja yang dia derita dan cedera macam apa saja yang bersarang dalam tubuhnya. Kuharap itu tak parah dan akan segera sembuh dalam waktu yang dekat. “Vonis apa?” tanyanya balik, dia malah menjawab dengan pertanyaan lagi. Sepertinya dia tak mengerti maksud dari pertanyaanku, aku memandangnya dengan agak jengah yang dibuat-buat. “Kau, tentu saja. Bagaimana keadaanmu?” ujarku dengan menekankan. Pada saat itulah ia baru sadar dengan ucapanku. “Oh itu. Kukira kau ingin membahas soal ....” “Oh jawab saja.” Buru-buru aku menyela perkataannya. “Apa harus kukatakan semuanya?” “Ya, katakan saja, untuk apa menyembunyikan keadaanmu dariku.” “Ini hanya sepele, aku hanya mendapatkan trauma ringan, retak sedikit di tulang kepala, beberapa organ dalam memiliki cedera ringan, kekurangan darah, syok ringan juga. Selebihnya tak ada yang terlalu serius.” Dia menjelaskan kondisinya dengan rinci, sepertinya itulah yang dia dapatkan dari penjelasan dokter. Syukurlah hanya itu saja yang dia derita dan dapatkan, tak ada yang parah dan berat, dia hanya mengalami hal-hal ringan saja. “Tak ada yang patah atau hilang?” Itulah kalimat yang kukatakan setelah dia mengatakan semuanya, seolah aku kecewa karena hanya itu saja yang dia alami. “Kau mau aku kehilangan anggota badan?” tanyanya dengan kesal, aku segera tersenyum. “Bukan begitu, tapi itu memang terdengar lebih dramatis. Nanti akan ada pendonor tampan yang bersedia dan rela memberikan setengah bagian tubuhnya untukmu, dan ending ceritanya kau menjadi pengantinnya.” Segera saja kujelaskan maksudku. Tentu kusampaikan dengan senyum-senyum tak jelas. “Tinggi sekali khayalanmu.” Kami tersenyum dan tertawa ringan. “Oh dan satu lagi, aku sempat terkena hipotermia, kau tahu sendiri jika hujannya sangat deras saat itu.” Dia menambahkan sesuatu yang sebelumnya terlewatkan. Ya tentu saja aku ingat jika hujan saat itu terasa sangat dingin dan bagaikan batu es yang dijatuhkan dari langit. “Wajar saja, aku juga merasa sangat kedinginan, apalagi kau yang lebih lama berada di luar dengan perut berlubang dan mengeluarkan darah. Jujur saja aku lega karena tak ada bahaya yang mengancam nyawa dari luka yang kau dapatkan.” “Ya, aku juga bersyukur dengan kehebatanku bertarung sehingga aku masih hidup.” Di membanggakan diri, padahal ketika aku menonton video itu, Liza sama sekali tak bertarung, di melakukan perlawanan yang amat payah, hampir tak ada bendanya dengan anak balita yang dijahili. Aku tak berkomentar apa-apa mengenai itu, terlepas apakah dia serius atau bercanda mengatakan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD