Saat aku merapikan barang-barang lalu memasukkannya ke dalam tas, aku mendapati ada sosok pria yang berdiri tepat di hadapanku. Aku menoleh mengangkat wajah dan mendapati jika itu adalah Xendar, lagi? Bukankah dia mengatakan akan menunggu di kantin? Kenapa dia malah datang ke sini? Selain itu, apa dia tak punya kelas atau kerjaan selain menemuiku? Pria ini benar-benar ..., sepertinya dia tak mau kecolongan lagi dan membiarkanku melarikan diri untuk ke sekian kalinya. Ide yang bagus untuk membuatku semakin dibenci banyak orang. Tentu saja saat kedatangannya ke arahku, aku merasakan hawa yang tak nyaman dari para gadis di sekitarku.
“Setelah kupikir, kantin bukan tempat yang biasa kau kunjungi. Dan aku yakin kau tak akan datang.” Tanpa diminta, ia segera menjelaskan alasan kedatangannya ke sini. Oke, ketahuan deh jika aku memang tak berniat untuk menemuinya. Aku memang berniat membuatnya menunggu, terserah jika dia akan menungguku sampai besok atau sampai lulus juga, aku tetap tak akan menemuinya.
Aku hanya mampu tersenyum lemah ketika rencanaku sudah ditebak dan diketahui olehnya.
“Ya, karena aku bawa bekal sendiri.” Aku menyahut dengan bohong dan jelas bukan itu yang dia maksudkan, aku juga tahu akan hal itu.
“Tapi tetap saja aku mau kita ke kantin. Masih ada beberapa tempat kosong untuk kita.” Sepertinya ini adalah ajakan memaksa secara tak langsung. Kupikir dia akan mencari tempat lain untuk mengajakku berbicara.
Sambil merapikan barang-barangku, segera kugelengkan kepalaku. “Aku tak lapar.”
“Kau berbohong, kau tampak lelah dan mengantuk. Tebakanku, kau kurang istirahat dan banyak pikiran, sarapan juga kau lupakan.” Oke aku benci dengan tebakannya yang sok tahu, apalagi harus kuakui jika itu semua benar adanya. Semuanya, apa-apa yang barusan dia katakan adalah kenyataannya.
“Seram. Kenapa kau bisa tahu isi kepalaku? Kau punya sihir ya?” Aku sengaja bercanda padanya, memasang wajah yang ngeri dibuat-buat. Aku selesai merapikan semua barang. Xendar tersenyum geli karena reaksiku.
“Sudahlah, kau jangan menolak dan ikut saja, aku akan mentraktirmu.” Ia segera menarik tanganku pergi tanpa seizin dariku. OMG, aku mohon jangan lakukan ini. Bukannya aku tak senang atau apa, tapi aku sangat takut dengan tatapan-tatapan mengerikan dari orang-orang yang melihat hal ini. Dasar para penggemar gila dan tak waras!
Aku hanya bersikap pura-pura tak tahu dan mengabaikan mereka saja. Perjalanan tak terasa lama, beberapa waktu kemudian kami sampai di kantinーtempat yang jarang kudatangi. Kantin adalah tempat kedua yang kudatangi di universitas ini, hanya saja aku jarang ke sini. Tentu saja alasannya dikarenakan aku tak memiliki banyak biaya, hanya jika Liza yang memberiku makan, aku akan datang ke sini. Uh, aku sadar jika sebagian hidupku ternyata tergantung pada Liza, terutama mengenai hal yang menyangkut dana. Aku jadi benar-benar merindukannya, semoga saja hari ini aku bisa menjenguknya tanpa ada halangan apa-apa dan tanpa ada masalah yang akan menimpaku. Semoga saja.
Xendar memesan makanan untukku dan untuk dirinya juga. Kami makan dalam keheningan, aku agak bingung dan gugup juga karena makan di depannya, aku tak bisa makan dengan bebas seperti aku makan di hadapan Liza.
Sekitar lima belas menit lamanya, aku menyudahi makanku, tentu saja aku tak langsung beranjak, sepertinya aku harus menjelaskan semuanya dengan rinci pada pria ini agar semua segera selesai. Aku agak gugup untuk memulai percakapan, tapi aku menguatkan diri untuk bicara.
Sayangnya saat aku akan buka mulut, tiba-tiba saja dia memulai. “Meghan akhirnya mau diajak bicara, ia juga sudah kembali masuk.” Oh ya, aku melihat dia pagi ini, wajahnya benar-benar tak ramah padaku.
“Aldrea dan yang lainnya juga sudah bangun, hanya saja mereka belum keluar dari rumah sakit. Saat mereka satu-persatu ditanya tentang kejadian apa yang menimpa mereka, tak satu pun dapat menjawab. Semua menggeleng dan mengaku tak mengingat dengan apa yang telah menimpa mereka tempo hari.” Tentu saja itu membuatku kaget dan tak percaya.
“Eh ... mereka tak ingat?” Pantas saja Meghan masih saja memandangku dengan penuh dendam dan permusuhan, sepertinya dia lupa jika dia sudah ketakutan setengah mati sampai kencing di celana. Uh, kukira apa yang terjadi di dalam toilet itu akan membuat ia dan teman-temannya akan jera, sayang sekali aku salah.
“Ya, karena mereka hanya mendapat luka ringan saja, juga karena tak ada yang ingat pula tak ada saksi, maka kasus ini ditutup. Apa kau benar-benar tak tahu tentang mereka yang menjadi seperti ini?” Kini ia memandangku dengan serius. Oh ya ampun, tatapannya memang membuat berdebar-debar, tapi tidak, aku harus berusaha bersikap senormal mungkin.
Lagi pula apa sih yang membuat mereka lupa? Aku yakin mereka tak bekerja sama untuk pura-pura lupa ingatan agar kejahatan mereka yang menindasku tak tercium siapa pun. Kebusukan dan kejahatan mereka padaku jelas dapat mereka sembunyikan jika sekarang mereka sedang bersandiwara. Dari reaksi dan ekspresi Meghan yang tadi kulihat, dia lupa sungguhan seolah aku–tepatnya wanita dalam tubuhku—tak pernah mengancamnya sama sekali.
“Ely! Apa kau tak mendengarkan?” tanyanya dengan halus, tanpa sadar ternyata aku sedang melamun.
“Maaf, tadi bilang apa?” tanyaku agak malu karena aku malah melamun saat ia bicara.
“Aku tanya, apa kamu benar-benar tak tahu tentang apa yang membuat mereka terluka dan melupakannya?”
“Oh, itu. Kamu mungkin tak akan percaya padaku jika aku mengatakan semuanya dengan rinci.”
“Kenapa aku tak akan percaya padamu?”
“Karena ini memang tak masuk akal. Tapi akan kukatakan semuanya agar kau tak menanyakan semua lagi padaku.” Sesaat aku berhenti bicara, menyiapkan diri untuk berbicara, aku melihat dia sabar menunggu aku berbicara.
“Apa kau percaya dengan adanya peri?” tanyaku secara tiba-tiba. Tentu aku tak akan memberi penjelasan yang dirinya inginkan. Aku hanya ingin tahu apakah ia benar-benar percaya padaku atau tidak.
“Peri?”
“Ya, peri, tapi yang ini tak berukuran kecil seperti yang ada pada kisah mitologi atau film, mereka bahkan tak bersayap, ukuran mereka juga bervariasi.” Aku menerangkan tentang perawakan para peri.
“Tunggu, lalu apa hubungannya dengan semua ini?” Ia langsung menyela. Sepertinya ia mengira jika aku melantur dan sengaja ingin mengalihkan topik percakapan. “Ely, sepertinya kau terlalu banyak pikiran.” Oke, aku tak menyangka jika ia akan menyalahkan fey, meski sebenarnya aku tak bermaksud mengarahkannya ke sana. Aku segera memutar mata agak jengkel.
“Sudah kuduga, kau tak akan percaya dengan apa yang kukatakan, aku pergi.” Aku sengaja memasang ekspresi dan gelagat yang kesal. Maka aku meraih tasku sebelum kemudian beranjak berdiri.
“Tunggu dulu, ini belum mendapat kejelasan. Juga kamu mau ke mana?” Ia segera menahanku.
“Liza, sahabatku diserang oleh para fey dan sedang terluka saat ini. Aku sudah mengatakannya kemarin bukan?” Meski aku tak yakin siapa pelakunya, tapi aku curiga jika yang melakukan p*********n pada Liza adalah fey. “Aku akan menjenguknya hari ini,” imbuhku.
“Jadi semua ini benar dan sungguhan terjadi?” tanyanya dengan ekspresi penuh ketidakpercayaan. Jadi apa selama ini dia mengira aku sedang membual? Oh, ya ampun.
“Untuk apa aku menipu?” Aku menjawab dengan pertanyaan lagi.
“Aku tahu, Ely. Kau tak pernah berbohongーkecuali ketika mencari alasan untuk menghindariku.” Oh, ya ampun, aku benar-benar ketahuan. “Hanya saja, ini sangat mengejutkan dan aku … aku sulit untuk memercayainya.” Ekspresi wajahnya benar-benar memperlihatkan dia yang dilanda kebingungan. Aku paham dengan apa yang dirinya rasakan. Aku sendiri perlu waktu untuk percaya juga yakin mengenai keberadaan fey, perlu waktu untuk meyakini segala hal magis benar-benar terjadi di sekitarku.