Aku kembali menempelkan ponsel ke telingaku lagi lalu coba menenangkannya. "Tenanglah, Liz. Itu hanya mimpi kok." Aku berusaha menenangkannya, tak kusangka jika reaksinya benar-benar berlebihan seperti ini. Huh, astaga, aku benar tak menyangka jika ia akan berteriak, untung saja telingaku tak tuli seketika.
“Tetap saja mengerikan.”
“Memang, apalagi caramu mati itu sangat mengenaskan. Pada saat itu, kau sedang ....”
“Aaahh cukup, berhenti. Aku tak mau dengar!” Dia berteriak ketakutan dan itu sangat menggelikan meski sebenarnya aku tak dapat melihatnya. Aku menahan diri untuk tak tertawa, sayangnya aku tak dapat menahan tawaku dan itu bocor sampai ke telinga Liza. Tentu saja bocor karena jarak mulutku dan ponsel tak jauh, suaraku pasti sampai ke telinganya.
"Kau menipuku?" tukasnya, aku tak bisa menahan kikikanku saat ia mengatakan itu. Segera saja aku tertawa. Tidak lepas, hanya sedikit saja tertawa dengan puas.
"Ketahuan ya." Aku menjawab dengan sedikit tawa.
"Itu tak lucu. Jika tak mau cerita, jangan menakutiku!" sergahnya dengan keras yang lagi-lagi membuatku harus menjauhkan ponsel dari telinga.
Ya ampun, suaranya keras sekali. Apa di rumahnya tak ada orang? Harusnya dengan teriakan itu ada yang bangun dari tidur.
"Iya, iya, sayang. Maaf ya." Aku segera meminta maaf saat aku kembali menempelkan ponsel ke telingaku.
“Tidak ada maaf bagimu.”
“Hei, jangan begitu, aku bisa mengutukmu jadi jomblo seumur hidup.”
“Hei! Sembarangan! Kutukan durjana macam apa itu?”
Kami segera tertawa lepas setelah itu, beberapa obrolan kecil kami lontarkan hingga waktu berlalu sampai satu jam lamanya. Aku melihat jam yang menunjukkan saat ini telah pukul empat pagi. Aku juga bahkan sampai berpindah tempat untuk menyesuaikan posisi yang nyaman untuk mengobrol.
"Omong-omong apa kau punya waktu luang setelah kuliah hari ini?" Ia melontarkan pertanyaan tersebut, memulai topik baru, agak bosan juga karena kami sudah simpang-siur membahas hal-hal tak penting dan tak berguna.
"Em, benar juga. Hari ini hanya ada satu pelajaran saja. Aku tidak punya rencana apa-apa. Kenapa?" Aku menyahut dan balik bertanya, mungkin ia memiliki sesuatu yang menyenangkan.
"Bagaimana jika kita jalan-jalan di taman?" Ia mengusulkan, tepatnya mengajakku.
"Kencan?" tanyaku dengan polos.
"Maaf, kau sama sekali bukan tipeku, jangan terlalu percaya diri." Ia menjawab dengan nada yang jijik.
"s****n!" Aku mengumpat dengan sebal. Kami segera saja tertawa lepas dengan candaan yang kami buat sendiri. Seperti inilah seharusnya jika kau memiliki teman, akan ada yang membuat hidup tak akan terlalu monoton dan membosankan, sesekali akan ada candaan dan tawa yang menghiasi kehidupan penuh drama dan penderitaan seperti semua ini.
"Jadi gimana?" tanyanya lagi, ingin memastikan. Tentu saja aku akan pergi, lumayan karena pastilah dia akan mentraktirku makan.
“Kau akan mentraktirku?” tanyaku dengan candaan, aku bukan memastikan, hanya melontarkan candaan saja.
“Tentu saja, kita juga akan belanja. Kau harus ikut loh.” Dia seperti memberi iming-iming saja.
“Untuk menjadi tukang bawa barang belanjaanmu, ‘kan?” Aku menebak dengan ejekan.
“Kau ternyata tahu isi pikiranku.” Dia menyahut dengan tampang yang antusias dibuat-buat.
“s****n,” makiku yang segera dibalas dengan kikikan. Aku juga sedikit tersenyum saat mengumpat itu. Sesaat kami hening setelah tawa.
“Tawaran terakhir. Ikut atau tidak?”
"Kenapa tidak? Aku oke saja." Aku segera menyanggupi, lagi pula aku memang tak memiliki suatu jadwal khusus dan tak ada tugas juga pekerjaan. Bisa dibilang aku benar-benar tak memiliki kegiatan apa-apa hari ini.
"Sip. Aku akan membawa kendaraan. Kuhubungi lagi nanti.”
Setelah menyatakan kesanggupan, kami bercakap-cakap ringan kemudian mengakhiri panggilan. Hari ini hanya ada satu mata pelajaran di sore hari, maka dari itu pagi dan siang aku memiliki jam kosong dan akan sangat membosankan. Aku tak memiliki jadwal khusus, apalagi aku tak mau menghabiskan hariku di rumah dengan memikirkan dan mengingat semua yang telah aku alami selama sisa kemarin.
Aku segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku baru sadar jika tanganku dipenuhi darah kering. Ya, aku lupa jika tadi kedua tanganku memegang tubuh burung hantu salju yang keadaannya tampan memprihatinkan. Mengingat akan hal itu membuat kepalaku menjadi pusing. Segera saja aku membersihkan diri di dalam kamar mandi.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, aku tak mencari sarapan seperti biasanya. Aku tahu Liza akan mengajakku sarapan pagi, alhasil aku berniat bersih-bersih saja, ditambah ada pecahan kaca jendela di ruang tengah akibat tertabrak si burung hantu.
Saat aku memutuskan membersihkan ruangan tersebut, hal aneh kudapati.
Ini, apa aku tak salah lihat?
Semua tampak rapi dan bersih, tak ada kotoran apa pun. Semua tampak baru saja dibersihkan, bahkan pecahan kaca yang tadi berserakan kini sudah menghilang entah ke mana. Aku memutar mata ke arah jendela yang seharusnya memiliki lubang besar karena kacanya hancur, tapi apa-apaan itu? Kaca yang seharusnya rusak malah dalam keadaan baik-baik saja, masih utuh dan tak memiliki pecahan. Jangankan pecahan, retakan bahkan goresan tak ditemukan di sana.
"Oke, aku mulai takut." Aku memandang sekitar dan semua tampak baik-baik saja, si burung hantu dengan penampilan putih bersih tengah terlelap nyenyak di atas tenggerannya. Sama sekali tak ada setetes darah yang mengotori bulu putih bersihnya.
Bagaimana mungkin itu terjadi? Burung itu harusnya masih memiliki banyak darah pada bulunya!
"Apa mungkin aku mengigau dan berkhayal tadi pagi? Oh, s**l. Kenapa ini lagi-lagi terjadi padaku?" Aku mengerang frustrasi karena kejadian abnormal dan ganjil semacam ini. Buru-buru aku berbalik dan kembali ke kamar, mengambil tas dan memasukkan buku-buku yang kuperlukan ke dalam tas tersebut. Segera saja aku meninggalkan rumah dengan keadaan tergesa seolah takut ketinggalan angkutan umum.
Ini benar-benar tak dapat kupercayai, sayang sekali semuanya benar-benar terjadi dan kualami sendiri. Aku bisa menyembuhkan luka, tempat yang berantakan malah kembali utuh seperti semua seolah tak pernah terjadi. Tak ada bekas ada tanda-tanda jika kaca sudah pecah, andaikan saja tanganku tak berlumuran darah, maka aku akan menganggap jika semua itu hanyalah imajinasi atau mimpi buruk. Sayangnya darah yang kubersihkan sangat nyata dan berbau darah sungguhan.
Aku juga menangis sungguhan, sebelum aku mandi, pipiku terdapat bekas air mata, aku juga merasa agak lelah, apa mungkin karena aku sudah menyembuhkan burung hantu salju yang terluka itu? Memberikan setengah kehidupanku padanya? Sepertinya iya.
Mengingat tentang si burung hantu salju, dia bahkan sedang tertidur di tempat tenggerannya dengan keadaan baik-baik saja, bulu-bulu putihnya sangat bersih, tak ada bekas darah sama sekali padanya. Dia tampak tertidur dengan nyenyak seperti biasanya ketika dia kembali ke sini setelah berburu semalaman.
Burung itu membuat semua ini seolah hanya imajinasiku saja, sayang sekali aku lebih percaya jika semuanya bukan sebuah imajinasi atau mimpi buruk.
***