Aku membuka mataku secara perlahan, secara refleks mulutku terbuka untuk menguap ringan, sepertinya aku ketiduran setelah hal-hal mengerikan yang terjadi. Uh, kuharap aku melihat langit-langit kamar, bukan pepohonan gelap yang menyeramkan seperti ini. Hal itu akan membuatku yakin jika semua yang kualami adalah mimpi buruk saja, tapi nyatanya aku bangun dan melihat pemandangan hutan gelap yang bahkan langitnya saja tak dapat kulihat dengan baik dan jelas. Aku benar-benar tak bida memungkiri jika semuanya sudah terjadi padaku.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar sambil mengerjapkan mataku untuk membuat penglihatan lebih jelas. Dalam keadaan tubuh bersandar pada pohon, aku mencoba mengawasi keadaan sekitar lalu di depanku pasang mataku mendapati seorang pria sedang duduk di dekat api yang membakar tanah bulat. Ah, dan bau apa ini? Banyak bau gosong yang tertangkap oleh hidungku.
“Sudah bangun?” sapa pria itu, aku mendesah dan mengernyit sambil berusaha mengembalikan seluruh kesadaranku.
Suara itu, ya aku ingat jika dia adalah Chadrish, pria yang menemaniku sejak beberapa waktu yang lalu dan menolongku dari kejadian gila yang tak masuk akal ini. Dia yang ada di hadapanku dan sedang menghangatkan diri. Aku sadar jika di sini keadaan ternyata dingin dan lebih banyak kabut lagi, daerah ini tampaknya berbeda dengan yang tadi. Dan astaga, bau macam apa ini sebenarnya? Tak mungkin ini kentut Chadrish.
“Apa itu?” Bukannya menjawab pertanyaan yang ia lontarkan, aku malah balik bertanya. Jujur aku memang agak penasaran dengan sesuatu yang dia bakar, apa mungkin itu adalah sumber bau tak sedap yang kucium ya? Rasanya bukan.
“Telur.” Dia menjawab singkat, pandangannya tertuju ke arah api yang membakar benda yang katanya adalah telur. “Anggap saja ini adalah sarapan kita. Ia menambahkan.
Aku segera beranjak dari dudukku lalu berusaha berdiri. Dikarenakan aku sudah mendapatkan seluruh kesadaranku dan sepertinya aku sudah sedikit pulih, tak sulit untukku dapat berdiri, aku melakukannya dengan mudah, kuperbaiki posisi tasku lalu segera berjalan ke arah api dan berhenti tak jauh di samping Chadrish, lalu kemudian duduk seenaknya.
“Sarapan? Apa ini sudah pagi? Terlihat sama saja menurutku.” Mendengar kata sarapan sontak membuatku mengalihkan perhatian ke atas langit sana. Tentu saja aku tak bisa melihat langit, di sana hanya ada kegelapanーyang kupikir sepertinya itu adalah kabut tebal saja. Maka aku segera menoleh lagi ke arah api itu.
Setelah tertidur, aku merasa jika kelelahan dan keletihan berkurang, tubuhku seperti sedang memulihkan diri sendiri, apa mungkin aku memang menyerap mana di sekitar sini sehingga aku mampu memulihkan diri? Rasanya agak menyeramkan dan agak keren juga.
“Em, kupikir begitu. Aku tahu ini sudah pagi melalui firasat.”
Firasat? Apa maksudnya itu? Aneh sekali kedengarannya. Maksudku, apa mungkin itu bisa terjadi? Memperkirakan waktu melalui firasat dan perasaan lainnya? Aku sama sekali tak memercayainya.
Tanganku terjulur ke depan lalu menunjuk tanah yang dibakar itu. “Aku hanya melihat itu seperti tanah yang dibakar, apa itu sungguhan adalah telur?” tanyaku sambil menoleh ke arahnya, aku juga kembali menurunkan tanganku.
“Tentu saja ini telur, hanya saja aku melapisinya dengan tanah basah.” Ia menjawab lagi, aku masih agak ragu sehingga kuperhatikan telurnya dengan saksama.
“Besar sekali, binatang macam apa yang memiliki telur sebesar itu?” tanyaku dengan terkejut, aku memandang benda yang ada di dalam kobaran api itu. Dia bilang itu adalah telur, tapi itu seukuran dua tanganku yang digabungkan membentuk lingkaran, tingginya hampir satu meter jika penglihatan dan pengukuranku tidak salah, terlalu besar ukurannya untuk sebutir telur. Ini ... seperti telur dinosaurus saja.
“Banyak, binatang di siniーterutama beberapa jenis serangga berukuran besarーyang memiliki telur dengan ukuran yang sangat besar.” Ia menjelaskan. Aku menggigil dan terlonjak jijik, serangga kecil saja bisa membuatku merinding, apalagi yang besar. Chadrish segera melanjutkan, “Ini adalah telur burung, bukan serangga. Aman dan bisa dimakan.” Sepertinya dia tahu ekspresi wajahku, dia juga mungkin tahu jika aku mengira telur yang dia bakar adalah telur serangga. Tentu aku segera lega dengan apa yang dia katakan, aku tak bisa membayangkan jika telur serangga bisa sebesar itu, maka induk serangganya sebesar apa? Aku pasti akan merasakan ketakutan luar biasa jika melihatnya secara langsung.
“Oh, kukira .....” Kujeda sesaat, aku sengaja tak melanjutkan ucapanku, lalu aku mengangguk isyarat menunjuk ke arah benda bulat agak lonjong itu. “Lalu kenapa kau melapisi itu dengan tanah?” tanyaku. Chadrish menoleh memandang telur berlapis tanah itu, lalu tangannya melemparkan ranting ke dalam api.
“Oh, soal itu. Api yang dibuat dari sihir memiliki suhu yang lebih panas dari api biasa, aku tak mau sampai ini gosong, dengan tanah juga aku membuat telur ini matang merata karena suhu panas yang sesuai,” tuturnya dengan sedikit senyum. Dia tampak lebih cerita dan lebih polos dari sebelumnya, aku merasa seperti sedang berbicara dengan orang lain saja.
“Memangnya telur itu enak?” tanyaku dengan agak ragu-ragu, Chadrish buru-buru mengangguk. Anting di telinganya berayun, melepaskan kilapan pantulan cahaya api. Aku sadar jika antingnya cantik juga, sepertinya benda itu memiliki harga yang mahal. Selain karena bahannya, nilai seni dan artistik dari benda itu menambah nilainya.
“Oh, tentu saja, telur ini memiliki rasa jauh lebih enak dari telur berukuran kecil yang ada di dalam rumahmuーyang ada di dalam lemari yang memiliki kekuatan membekukan itu. Aku tak tahu kenapa manusia di duniamu menyukai makanan yang rasanya hambar seperti itu, bahkan ayamnya saja memiliki tekstur alot dan keras,” cecernya dengan panjang, bahkan mengomentari makanan di duniaku juga pengonsumsinya. Untung saja dia tak berbicara seperti itu di depan koki-koki ternama yang luar biasa hebat dalam memasak, bisa-bisa karena ucapannya, dia akan dibunuh dan dijadikan sup oleh mereka yang tersinggung.
Aku jadi agak penasaran dengan rasa telur itu, seberapa enak benda itu sampai ia membandingkannya setinggi itu. Tapi tunggu dulu, kenapa dia bilang rumahku? Jangan bilang jika dia masuk ke dapurku dan ikut memakan makanan yang ada di sana? Karena itulah, sontak aku menoleh ke arahnya.
“Kau masuk ke dalam dapurku?” tukasku dengan agak melotot. Seingatku, burung hantu salju itu selalu tidur di pagi hari sampai senja, lalu saat bangun pada malam hari, dia akan pergi keluar sepanjang malam dan kembali esok harinya ketika sudah pagi, maka dari itu aku tak menyangka jika dia masuk ke dalam dapur.
“Ya.” Dia menjawab dengan jujur, aku jadi ingin menggigitnya. Serius, ini bukan candaan atau kiasan, aku gemas ingin menggigitnya, terutama pipi dan hidungnya. Sayang sekali aku tak mau dicap agresif.
“Kau juga makan makananku?” tanyaku lagi dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.
“Cuma mencicipi saja.” Itu juga terlihat dan terdengar seperti jawaban yang jujur. Mencicipi termasuk memakan makananku.
“Yang lain juga?” Chadrish mengangguk lagi dengan pertanyaanku. Semoga saja dia cuci tangan terlebih dahulu sebelum mengambil makananku, karena aku tak bisa membayangkan jika makanan yang belakangan ini kumakan ternyata bekas orang lain, mungkin tak sampai seperti itu juga, sih. Karena aku selalu mendapati setiap makanan berada dalam keadaan yang utuh, tak ada yang namanya bekas, terlebih aku tak pernah menyimpan makanan sisa.
“Ya, Xeraine, Smmera dan Le'theo suka dengan makanan yang ada di rumahmu. Apalagi buatanmu.” Ia mengakui dengan ekspresi terlalu polos. Apa maksudnya? Aku tak ingat pernah menyimpan sebagian masakanku, tapi siapa sangka apa saja yang dapat dilakukan oleh para penyihir? Aku hanya mampu geleng-geleng kepala dan menepuk jidat atas pengakuan itu, apa lagi yang bisa kulakukan? Memarahi dan menghajarnya sama sekali tak akan membantu dan mengubah apa-apa, meski sebenarnya itu cukup membantu mengubah suasana dan keadaan perasaanku.
“Oh astaga, dasar pencuri. Ah, lupakan saja tentang semua itu, sudah berlalu juga.” Aku menunduk lalu menarik napas pelan berusaha menenangkan dan mengatur nada bicaraku, oh dan sepertinya aku sudah tahu nama-nama tiga penyihir lainnya, meski aku belum tahu mana yang namanya Smmera dan mana yang namanya Xeraine.
“Yang terpenting, apa tak apa-apa beristirahat di sini? Apa keadaan kita sudah aman? Bagaimana jika asap dan cahaya api malah memancing perhatian para monster?” Aku bertanya mengenai situasi saat ini, dengan nada waswas dan agak takut tentunya. Chadrish tak langsung menjawab, ia menggaruk kepala dengan serba salah. Aku masih memperhatikannya seperti sedang memilih kalimat yang tepat untuk dirinya sampaikan padaku. Dia juga memang mengarahkan wajahnya ke arahku dan sesekali melihat telurnyaーtelur yang sedang dibakar tepatnya, bukan telur miliknya.