26 – Berada di Masa Lalu?

1170 Words
Aku tak sanggup berkata-kata tatkala melihat sosok wanita muda yang tengah duduk di depan meja kerja dengan lentera sebagai penerangan. Wanita itu sangat kukenal, dia adalah wanita yang hidup bersamaku selama bertahun-tahun lamanya. Aku melihat mamaku, Olivianne yang sedang duduk beberapa meter di hadapanku. Perawakan dan fisiknya masih sama seperti yang ada dalam ingatanku. Tentu saja aku tak akan salah mengenali seseorang, ini mamaku, orang yang sama dengan orang yang telah meninggalkanku untuk selamanya. Oh betapa aku merindukan dirinya, aku menangis dan bergumam, “Mama.” Tak bisa menahan diri untuk lebih lama lagi, segera saja kulangkahkan kaki berjalan ke arahnya. Namun saat aku akan menyentuhnya, tubuhku menebusnya, aku seperti roh yang tak dapat menyentuh apa pun. Oh s**l, kenapa ketika aku ingin menyentuhnya, hal seperti ini malah terjadi? “Apa yang terjadi?” Aku memandang tanganku, menyentuh dan mengamati seluruh tubuhku. Semuanya tampak berwujud, tak ada yang aneh atau semacamnya, aku tak tembus pandang, tapi sepertinya wanita yang ada di hadapanku juga tak bisa melihatku. Aku segera mundur satu langkah sehingga posisiku berdiri tepat di hadapannya. “Mama, ini aku. Ely.” Aku memanggilnya, tapi dia tampak tak mendengarku, seolah tuli atau memang keberadaanku di sini jelas tak ada. Aku hanya pengamat yang memasuki sebuah ingatan atau visi. Aku sekali lagi memperhatikan wajahnya, dia tampak fokus dan benar-benar tak menyadari jika aku ada di sini. “Bagaimana ini?” Aku mengacak rambutku. “Ini benar-benar menyebalkan.” Tampaknya dia sedang sibuk menulis pada sebuah kertas, menggunakan pena dari bulu unggas. Anehnya ibuku mengenakan pakaian kuno yang berupa gaun putih, kulihat jika sekelilingnya adalah perpustakaan yang memiliki sangat banyak buku di berjejer rapi pada rak. Oke, aku hanya penonton di sini. Segera saja kuseka air mataku, meski ini hanyalah gambaran atau apalah, tapi aku bersyukur ada di sini karena aku bisa melihat orang yang sangat kusayangi ada di sini. Aku tahu dan sangat sadar, ibuku sudah meninggal beberapa minggu yang lalu, yang ada di hadapanku mungkin adalah versi masa lalu dari ibuku. Entah bagaimana caranya, sepertinya buku itu membawaku ke masa lalu di mana ibuku masih hidup, meski aku masih bertanya-tanya mengenai tempat ini, ini di mana? “Hestovelia, kau sedang apa?” tanya suara seorang pria, sontak saja aku menoleh ke arah sumber suara yang mana mataku segera menangkap sosok seorang pria yang berdiri di depan pintu. Itu adalah seorang pria yang tengah menggandeng seorang anak kecil, keduanya tengah berdiri di sana. Aku kenal dia, pria itu papaku, Jared. Aku juga sangat merindukannya, aku ingin memeluknya saat ini, tapi aku tahu jika hal yang sama pasti terjadi padanya. Aku tak dapat menyentuh apa-apa. Ini sangat menyebalkan, padahal kakiku menapak pada lantai, aku tak melayang seperti hantu, tapi mengapa bisa aku tak mampu menyentuh apa pun? Semuanya kutembus begitu saja? Dan oh tunggu sebentar, sepertinya ada yang aneh, kenapa papa memanggil nama dengan nama aneh itu? Segera kutolehkan wajahku ke arah mama, ia tampak menoleh ke arah mereka berdua sambil tersenyum. “Iglarvius, aku sedang menulis catatan untuk perjalanan besok.” Mama memanggil papa dengan panggilan aneh pula. Oke, mereka punya nama samaran yang susah diingat, apakah mereka kriminal? Bagaimana bisa mereka memiliki nama seasing dan seaneh itu? Tak mungkin jika itu adalah panggilan sayang. “Kau tak seharusnya ada di sini, malam ini dingin, tak bagus untuk kandunganmu.” Papa membalas dengan nada yang khawatir, memangku anak kecil itu dan berjalan masuk. Dilihat dari ukuran dan tingginya, anak ini harusnya masih balita. Pakaiannya menandakan jika dia anak perempuan, meski penampilannya tidak menunjukkan itu, karena rambutnya masih pendek dan tak ada anting di telinganya, meski sebenarnya wajahnya cantik dan cocok menjadi anak perempuan. Papa membelai kepala anak kecil itu sambil memeluknya, membiarkan anak itu tidur di dadanya. Kudekati ke arah wajahnya, jujur aku ingin melihat lebih jelas wajah anak yang mencuri papaku. Emmm ... sepertinya anak ini adalah aku yang masih kecil, aku ingat jika wajahku yang masih kecil mirip seperti wajah anak ini. “Ya, aku kira dia adalah diriku dalam versi kecil. Meski kurang yakin juga sih.” “Aku baik-baik saja, kau bawalah Schleyreina tidur. Aku akan menyusul sebentar lagi.” Mama menyahut tanpa mengalihkan pandangannya, fokusnya tetap tertuju pada tulisan yang sedang dia kerjakan. Oke, itu pasti bukan aku, bahkan mereka tak memanggil namaku, pastilah ini anak orang lain, semoga saja. Aku berjalan kembali ke tempatku sebelumnya berdiri. “Kau keras kepala, aku tak bisa meyakinkanmu.” Papa tersenyum singkat. “Baiklah, jika sudah selesai kau harus segera tidur. Aku akan menunggu. Hanya saja ... apa kau yakin kita akan pergi dari sini?” Akhirnya pertanyaan itu membuat mama mengangkat wajah dan menghentikan tulisan, papa duduk tepat di samping mama. “Kenapa? Kau ragu?” tanya mama saat papa memandangnya. Emm dan aku berdiri di sini, berdiri dan menonton kalian, ini memang sudah biasa bagiku, hanya saja tanpa aku yang tak terlihat oleh mereka dan tanpa ada anak kecil itu di pangkuan papa, oh aku benar-benar penasaran siapa anak ini. Perasaanku campur aduk, setengah perasaanku mengatakan jika aku ingin anak ini adalah orang lain, tapi setengah lagi menginginkan jika itu adalah aku, aneh bukan? “Hanya saja, kau mungkin tak akan bahagia jika berada di tempat baru, tanpa harta, takhta, kekuatan dan dukungan dari keluarga. Lagi pula tempat yang akan kita tuju belum tentu baik dan aman bagi keluarga kecil kita.” Papa tampak murung dan menunduk saat bicara dan mengatakan kalimat itu, uh aku jadi tertarik dengan topik yang tiba-tiba saja mereka bahas. Apa yang sedang mereka bicarakan ya? Tangan mamaku meraih dagunya dan membelai pipi papa, menarik pandangan papa ke arahnya dengan gerakan yang lembut, oh suatu hari aku juga ingin melakukan itu pada suamiku. “Kita tak akan tahu sebelum mencobanya bukan?” Mama bicara dengan lembut, maka papa tersenyum. “Oh, apa kalian akan ciuman? Di sana ada anak kecil yang belum jelas apa itu aku atau bukan, kalian benar-benar tak tahu malu sejak dulu ternyata.” Aku membungkuk dan bicara tepat di hadapan mereka, setengah tubuhku menebus meja kerja. “Orang yang cerdas akan tahu jawabannya meski belum mencoba sama sekali, karena mereka yang cerdas dapat memperkirakan dan mempertimbangkan segala hal, mengira-ngira dan menyimpulkan sesuatu dengan tepat.” Maka dengan perkataan itu, mama segera menoyor dan menjauhkan wajah papa. Oh oke, aku salah, papa tak peka dan merusak momen. Maka sambil melipat tangan di d**a, aku juga melakukan hal yang sama, berhenti membungkuk dan berdiri tegap. “Dasar lelaki.” Aku mengumpat. Tampak mama juga sangat kesal, aku yakin jika sebelumnya mama sedang serius. Mungkin seharusnya saat ini mereka berciuman jika papa tak mengacaukan momen. Uh astaga. “Oh ya, jadi kau menganggap aku bodoh, Tuan Jenius?” tanyanya dengan nada ejekan dan ketus. “Wah, wah. Ada yang marah rupanya.” Papa seketika tersenyum dengan reaksi yang mama berikan, sepertinya ada yang sedang menggoda dan mengusili seseorang. “Siapa juga yang marah, huh. Kau selalu benar karena kau Tuan cerdas, dan aku si bodoh yang selalu salah. Tak ada alasan bagiku untuk marah.” Mama membalas dengan ketus, memanyunkan bibir dan ekspresi wajahnya jelas sedang sebal. Dilihat dari sisi mana pun, mama tampak marah. Sepertinya papa luas dan senang melihat gelagat itu. “Benarkah? Kalau begitu aku akan menciummu.” Akan apa? Oh dasar penggoda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD