Semua memudar, lenyap ditelan cahaya yang menyilaukan. Visi-visi itu pergi bersama dengan seluruh cahaya putih yang membuat aku kembali ke ruang perpustakaan, tentu saja dalam keadaan duduk di lantai. Tangan kananku yang kugunakan untuk memegang buku tersebut tampak merah pada bagian telapak yang menyentuh buku. Masih agak kesemutan rasanya, tapi selebihnya baik-baik saja, tak ada luka bakar dan tak ada bekas kesetrum.
Diam-diam aku tersenyum sendiri, mereka adalah orangtuaku. Seperti itulah biasanya mereka bersikap di rumah ini, selalu mengumbar kemesraan meski ada putri mereka yang sudah beranjak dewasa tepat di hadapan mereka. Ini membuatku bernostalgia. Terlepas dari apakah mereka salah orangtuaku atau bukan, tapi aku senang melihat mereka yang kurindukan.
Tapi bagaimana bisa kenangan dan gambaran itu ada di dalam buku? Di dalam atau semacamnya, karena buku itu bereaksi dan memberi aku semua hal yang terjadi.
Ketika merasa masih bingung dan bertanya-tanya mengenai keanehan itu, secara perlahan Aku segera beranjak dari duduk dan meninggalkan perpustakaan.
Tubuhku masih agak lelah, segera saja kutaruh buku itu ke tempatnya lalu berjalan secara perlahan keluar dari perpustakaan, kulihat kedua tanganku yang terasa panas. Tak ada yang terluka, warna merah ini hanya akan bertahan selama beberapa menit saja, nanti juga akan hilang dengan sendirinya.
“Siapa anak yang digendong oleh papa? Tak ada dari mereka yang menyinggung statusnya, apa itu sepupu, anak adopsi, saudari jauh, atau kakakku.” Statusnya tak jelas, tapi aku mungkin akan memastikan jika dia bukan kakakku, jika iya, kenapa tak ada satu pun potretnya di rumah? Aku bahkan selalu merasa menjadi anak tunggal, tak pernah merasa memiliki saudari.
Aku berjalan menuju ruang tengah di mana kutinggalkan ponselku terakhir kali, aku mengisi daya benda itu. Saat sampai di ruang tengah, aku kaget karena tak seperti biasanya, si burung hantu ada pada tempat bertenggernya, ternyata dia tak melakukan perburuan seperti pada malam-malam biasanya.
Hal yang aneh dan membuatku bingung adalah, ia tampak sedang berjaga dan bersiaga terhadap sesuatu, ia seperti sedang melindungi telurnya dari pemangsa, oh tunggu dulu, ia jantan. Lalu untuk apa ia melakukan gelagat seperti itu?
Burung hantu itu tampak sedang waspada, tatapannya tertuju ke arah jendelaーyang harusnya pecah dan berlubangーdi mana itu merupakan tempatnya masuk keluar rumah jika kacanya kubuka, saat ini bahkan kaca itu tertutup. Padahal aku tak mau kejadian sebelumnya terulang lagi, tapi jika ia ada di dalam rumah, aku bisa tenang.
Si burung hantu sesekali memutar kepalanya, mengedarkan pandangan menyisir ke seluruh ruangan seolah sedang memindai ruangan tengah tersebut. Yang kusebut memutar, itu memang berputar 180 derajat.
Ya, setelah semua hal gila yang terjadi, melihat tingkah burung hantu salju yang seperti itu bukanlah suatu yang aneh dan perlu dipikirkan. Aku tak ambil pusing dengan itu, segera saja kuraih ponselku setelah melepaskan pengisi dayanya.
Aku memandang ponsel, rasanya agak kecewa juga karena tak mendapat kabar apa-apa tentang perkembangan insiden kecelakaan Liza. Meskipun lukanya tak sampai mengancam nyawa, tetap saja aku merasa khawatir padanya, apalagi aku belum mendapat kabar tentang apakah dia sudah sadar atau belum.
“Kenapa juga Liza harus mengalami kecelakaan?” Aku mengutuk diam-diam. Aku tak akan mengira jika jalan-jalan yang kulakukan akan membawanya pada kecelakaan semacam ini, itu membuatku kesal dan geram.
Aku menunggu pesan apa saja yang merupakan kemajuan dari kasus kecelakaan ini, sayangnya malam ini tak ada apa-apa, maka dari itu kulangkahkan kaki segera pergi ke kamarku, merebahkan diri di atas ranjang, kulemparkan sembarangan ponsel itu.
Hal-hal yang terjadi dan hari ini telah kualami benar-benar bisa membuatku gila, hal-hal abnormal dapat kulakukan dan terjadi di sekitarku, aku harap mentalku kuat, aku harap aku mampu menghadapi semua ini.
Aku melepas kacamata dan memejamkan mata untuk segera terlelap masuk ke alam mimpi.
***
Kubuka mata secara perlahan setelah kesadaranku mulai kembali sepenuhnya, mataku masih sedikit perih tapi mau tak mau aku harus bangun tidur lebih awal. Kugerakkan kepala untuk menoleh melirik jam pada ponsel yang sebelumnya kutaruh sembarangan. Tanganku berhasil meraih ponsel itu lalu kulihat jika saat ini jam menunjukkan masih sekitar jam lima seperempat, masih ada waktu untuk bersiap-siap. Hari ini ada kuliah pagi, maka dari itu aku segera bersiap-siap, mengganti pakaian dan sarapan dengan mie instan lagi, hanya itu yang kupunya sehingga itulah makananku saat ini.
Ada bagusnya malam sebelumnya aku tak memimpikan apa-apa lagi, sedikitnya agak tenang dan melegakan, tak ada pikiran-pikiran aneh dan abnormal yang akan kuingat terus-menerus. Hanya saja mengenai apa yang terjadi semalam malah membuatku masih bertanya-tanya, siapa identitas mereka? Sifat dan kepribadian mereka jelas sama persis dengan orangtuaku, mengenai perawakanーbukan hanya berdasarkan dari wajah saja—bentuk tubuh juga tingginya sama persis, aku tahu seberapa tinggi badan kedua orangtuaku, mereka benar-benar sama persis dengan apa yang ada dalam ingatanku.
Penampilan mereka benar-benar sama seperti terakhir kali aku melihat mereka, yaitu sekitar tiga sampai empat Minggu lalu, di mana itu adalah hari kecelakaan mereka. Aku mungkin bisa yakin jika mereka bukan orangtuaku jika menaksir dari hal tersebut.
Masalahnya, dikarenakan ketidakmungkinan keduanya tak menua sama sekali setelah berlalunya waktu, anggap saja anak kecil itu atau janin yang ada di dalam kandungan itu adalah aku, jika ditambahkan dengan usiaku, maka seseorang haruslah memiliki uban dan keriput. Oh tunggu dulu, jika kuingat-ingat lagi, orangtuaku tak memiliki uban dan keriput, mereka tampak masih berusia di akhir 30.
“Astaga, apakah itu memang visi dari orangtuaku? Mereka awet muda?” Aku tertegun sejenak, aku ingin memastikannya, tapi tiba-tiba saja ponselku berdering keras menyalakan alarmnya. Itu adalah tanda jika aku harus segera pergi, ada kelas pagi hari ini. Sekalipun aku penasaran, aku tak mau terlambat atau sampai melewatkan kelasku.
Aku segera memasukkan buku-buku sesuai dengan jadwalku hari ini dan segera berangkat dari rumah, kulihat burung hantu putih tersebut memperhatikanku, uh apa dia sama sekali tak tidur? Aneh.
“Selamat pagi.” Aku menyapanya, tak peduli apakah binatang itu paham terhadap bahasaku atau tidak.
Uh, Entah mengapa pagi ini rasanya sangat dingin. Apakah aku terkena flu atau masuk angin gara-gara kemarin hujan-hujanan? Tapi mana mungkin itu terjadi, maksudku saat ini aku merasa sehat saja, hanya merasa kedinginan. Rasa lelah dan lemas yang kurasakan kemarin sepenuhnya sudah hilang, bahkan luka-luka yang kudapat dari Meghan dan teman-temannya sama sekali tak kurasakan, mungkin semuanya sudah pulih hingga tak meninggalkan bekas apa-apa.
Jujur saja, setelah kemarin pulang dari universitas, aku tak memeriksa keadaanku, langsung membersihkan diri dan beristirahat, itu alasan yang membuatku tak tahu seberapa banyak luka yang kudapat.
Sekarang, setelah tak ada sepeda, sepertinya aku akan mulai menjalani hari di mana harus sering berada di halte dan menunggu lama bus yang akan menjadi transportasiku. Sebenarnya aku ingin membeli sepeda baru, hanya saja ... tak ada biaya tambahan. Mungkin saja jika aku berkeluh-kesah pada Liza, dia bisa membantuku.
Tapi dalam keadaan seperti ini, aku tak dapat melakukan apa-apa terhadapnya. Ditambah masih belum juga ada kabar tentang kondisinya.
Maka aku segera pergi jalan kaki menuju halte yang biasanya menjadi tempat tongkronganku saat menunggu bus. Hari ini cuaca terasa dingin lagi, bahkan hari kemarin hujan tiba-tiba turun dengan deras tanpa sebab, benar-benar musim panas yang gagal. Tampaknya tahun ini tak akan ada musim panas dan kemarau, keadaan dunia sudah benar-benar berada dalam kekacauan. Cuaca pun sudah tak dapat diprediksi lagi, cuaca musiman sudah berubah dan berganti dari yang seharusnya.
***