Perjalanan malam ini diikuti keheningan yang terus berlangsung selama perjalanan. Aku malas memerhatikan jalan hanya mendengar musik dari sebelah earphone yang terpasang. Kedua pria dewasa di kursi kemudi dan penumpang hanya diam. Paman yang katanya suamiku di kursi kemudi, ia sesekali menatap ke arahku melalui kaca dashboard. Ayah dan anak itu hanya diam sejak tadi. Keduanya terlihat kaku sekali. Mungkin hubungan mereka tak baik?
Sebelum kami berangkat ke Jakarta, ayah menjelaskan kenapa jarak usia Yogi dan aku terpaut jauh. Ayah bilang Ayah mertuaku menikah setelah lulus SMA, sedangkan ayah menikah jauh setelah Paman Jun. Ayah dan mendiang ibuku menikah saat Om Yogi telah berusia sembilan tahun. Namun, ibu Yogi juga telah meninggal. Kami sama, sama-sama tak punya ibu. Hanya saja, jika dilihat dari sini, aku merasa lebih beruntung. Meski kami tak kaya, hubunganku dan ayah begitu dekat.
Jalanan yang gelap, hanya kilatan lampu yang seolah jadi teman mencegah kantukku. Sejujurnya, aku mengantuk sekali tapi, dunia khayal membuatku membayangkan hal-hal buruk. Sejak pertama kali mendengar bahwa akan ke Jakarta malam ini.
Bagaimana jika aku di tusuk diam-diam dan dibuang di jalan? Atau aku di bius lalu dijual sebagai gadis jalang atau semacamnya? Dan yang paling mungkin adalah mereka akan membuatku tidur lalu mengambil organ tubuhku dan menjualnya. Mungkin itu cara mereka kaya? Walaupun pada akhirnya ku tepis semua pikiran buruk, hal yang menjadi keyakinanku adalah ayah tak mungkin mengizinkan anaknya ikut bersama orang jahat yang mungkin akan menyakitiku. Iya 'kan?
Aku mengambil ponsel melihat banyak pesan dari sahabatku Tedi. Ibu Tedi dulu membuka toko roti di dekat toko nenek, tapi kemudian pindah ke Jakarta karena beliau menikah dengan pengusaha yang cukup kaya. Setelah itu kamu hanya berkomunikasi melalui chat atau video call.
_________
Anda:
Ted, sumpah ya hari ini tuh aneh banget :')
Tedong:
Reya
Rey
Reyaaaa
Aneh kenapa?
Hei, Lo jangan buat gue penasaran.
Heh! Lo baik-baik aja kan?
Anda:
Hmm, sampai sekarang gue masih oke oke aja.
Gue masih di jalan.
Tedong:
Ke mana?
Kenapa Lo lama bales chat gue?
Anda:
Suatu tempat.
Gue cerita lain kali,
sekarang gue capek banget.
Tedong:
Heh, Lo kok aneh anjir.
Kenapa? Reya? Ini pasti hal-hal yang engga baik? Reya?!
________
Aku dan Tedi bersahabat bahkan ketika aku belum memasuki taman kanak-kanak. Kami sering bermain di pasar bersama. Ia menunggu sang ibu dan aku menunggu nenek. Aku tau Tedi pasti kesal sekali karena chat dariku yang buat dia penasaran. Mungkin aku akan mengatakan padanya nanti. Setelah semua jelas dan bisa aku terima.
Jalan semakin sepi, dengan jejeran gedung yang mulai terlihat. Kami memasuki ibu kota. Penasaran, karena aku tak pernah datang lagi ke sini setelah dewasa. Kata ayah aku pernah ke Jakarta saat kecil. Saat ini rasa kantuk menyerang semakin brutal. Sejujurnya aku biasanya sulit tidur. Tapi mengapa aku sangat mengantuk kali ini?
"Paman, maaf."
Panggilanku membuat keduanya menoleh.
"Ada sesuatu Reya?" Tanya paman Jun diikuti senyum yang menunjukkan lesung di pipi kanannya. Aku rasa itu alasan ia terlihat awet muda.
"Paman apa ... enggak masalah kalau saya tidur?"
"Sebentar lagi kita sampai, tunggu sebentar lagi. Begitu sampai kamu langsung istirahat aja ya," jawab Paman Jun.
"Baik."
Aku berusaha keras menahan rasa ngantuk, rasanya sesekali bahkan aku terlelap sekejap.
"Kita sampai," kata Paman Jun.
Mobil melaju memasuki gerbang dengan halaman yang terhampar luas. Rumah megah yang buat aku ingin bersorak melihat rumah yang luar biasa ini. Aku rasa ini puluhan kali lipat luas rumahku. Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk yang besar, dengan warna broken white, kami turun. kemudian ada seseorang yang mengambil mobil dan entah membawanya ke mana.
Aku memasuki rumah saat Paman Jun dan Om Yogi berjalan mendahului. Di dalam sini bak istana, aku melihat kemegahan interior dengan tatanan yang luar biasa mewah dan apik. Sejujurnya, tak tau ini interior gaya atau model apa, hanya satu kata yang terus kupikirkan sedari tadi, Gila! Keren!
Rasanya keluarga ini benar-benar kaya, mungkin itu alasannya mengapa aku bahkan tak diperkenankan membawa pakaian dan bilang jika semua bisa dibeli nanti. Tapi, tetap saja andai aku bisa menukar itu dengan uang, aku akan memberikannya kepada nenek. Agar ia bisa membeli vitamin dan suplemen berkualitas baik, aku berharap nenek bisa panjang umur dan menemaniku hingga aku bisa membahagiakannya.
"Mbok bawa nona ke kamar ya" Titah paman Jun. Pada seorang wanita berusia 50 tahunan yang berjalan menghampiri setelah pintu terbuka tadi.
"Baik Pak." Wanita itu menghampiri lalu mengarahkan ku ke lantai atas.
Aku tak bisa memikirkan apapun setelah mendengar kata 'kamar' yang ada di dalam pikiranku hanyalah tempat tidur dan rekannya.
Mbok berjalan dengan cepat ke lantai dua dan aku hanya fokus mengikuti langkahnya. Tak menyangka di usianya saat ini ia masih bisa melangkah cepat seperti itu.
Ada sebuah kamar tak jauh dari tangga, ia segera membuka. Kulihat kamar bernuansa cream dan mocca dengan nuansa yang sangat manis, aku tak ingin banyak berkomentar.
"Terimakasih Mbok," ucapku.
"Nanti kalau ada apa-apa panggil Mbok Ma aja ya , Non."
"Baik Bi."
Mbok Ma namanya, ia berjalan ke luar lalu menutup pintu kamarku. Setelah mbok berjalan keluar, aku berjalan dengan cepat dan rebah ke teman tidur. Rasa kantuk ini harus segera dibayar.
"Nyaman," gumamku.
***
Aku telah bangun pagi ini, tapi belum ke luar kamar. Juga sudah mandi dan belum berganti pakaian karena tak membawa apapun. Aku duduk di tempat tidur sibuk bermain Instagram
Dan pagi ini benar-benar gila rasanya. Bagaimana bisa patuh begitu saja dengan pergi tanpa membawa apapun! Reya bodoh banget!
Pintu terbuka, aku bisa melihat mbok Ma yang tersenyum. Sepertinya ia sudah membaca kalau aku akan linglung pagi ini.
"Sudah bangun Non?"
Aku mengangguk dan berdiri cepat menghampiri Mbok. "Mbok, apa ada pakaian yang bisa saya pakai?"
Mbok Ma tersenyum lalu mengangguk, kemudian melangkah menuju lemari pakaian yang tepat berhadapan dengan tempat tidur. Ia segera membuka pintunya.
"Pakaian ini semua bisa Non pakai selama di sini. Sebelum berangkat ke apartemen."
"Apartemen?"
"Iya, Non kan bakal pindah ke rumah Mas Yogi, setelah nyonya besar mengizinkan nanti," jeals Mbok Ma.
Apartemen Mas Yogi? Tunggu, aku akan tinggal sama si Om itu? Iya aku memang katanya sudah menikah tapi apa harus tinggal bersama? Lagipula kami kan belum ijab Kabul?
Setelah Mbok Ma keluar kamar aku segera berganti pakaian. Sejujurnya, ini terlalu mewah bagiku. Pakaian bermerek dengan model masa kini sepertinya ini tak cocok denganku. Terlalu mewah dan mahal aku lebih suka pakaian lama ibuku. Hangat ... Aku masih bisa merasa sentuhannya di sana.
Setelah berganti pakaian aku menghubungi ayah dan nenek aku yakin mereka khawatir.
"Assalamualaikum, Ayah."
"Reya, enggak apa-apa kan? Sudah makan apa belum? Reya, maafin ayah ya?"
"Ayah aku baik-baik aja. Pastikan ayah dan nenek baik dan sehat juga, jangan minta maaf atuh, semua bukan salah ayah," ucapku menenangkan.
Ayah dan nenek terdengar sangat khawatir. Aku putuskan untuk tak berbicara terlalu lama, takut mereka semakin cemas jika bicara lama.
Aku kemudian berjalan turun, mencari dapur agar bisa membantu membuat sarapan. Tak pantas rasanya jika kau tinggal di rumah orang lain dan hanya asik tidur dan makan.
Sekarang bisa terlihat jelas bagaimana luasnya rumah itu bukan hanya itu mewah dan megah. Tapi rasanya suasana rumah ini begitu dingin, lebih baik rumah kami sederhana dan hangat. Dapur letaknya tak jauh dan bisa terlihat dari tangga. Aku berjalan mendekat dan segera membantu Mbok Ma dan seorang lainnya.
"Permisi," sapaku.
"Non, ngapain ke sini? di kamar aja nanti Mbok panggil kalau udah waktunya sarapan."
"Hai non saya Sari," sapa seseorang di sisi bibi Ma yang terlihat lebih muda.
"Halo kak Sari. Biar aku bantu ya."
Pekerjaan pagiku dimulai dengan menyenangkan, pertama kali memasak di dapur besar. Pagi ini sepertinya Mbok akan membuat Nasi goreng dengan potongan sayuran, omelette, juga kerupuk udang.
Aku menoleh merasa jika ada yang memerhatikan tapi nyatanya tak ada siapapun di sana.
Selesai memasak aku mencuci tangan. Seorang wanita paruh baya berjalan turun bibi Ma berbisik jika itu adalah nyonya besar. Jelas itu adalah Nenek dari Om Yogi, teman nenek dan kakekku. Wajahnya tegas dan terkesan layaknya antagonis, tapi ia cantik sangat cantik dengan tatanan rambut rapi dan pakaian elegan. Aku ingin membeli itu untuk nenek suatu hari nanti, nenek akan tampak cantik, pasti!
Tatapannya terarah padaku, ulasan senyum membuatku menarik kata-kata bahwa wajahnya terkesan antagonis, "Reya?" Tanyanya.
Aku berjalan menghampiri dan mengangguk ia berjalan mendekat lalu memelukku erat.
"Kamu cantik sekali sama seperti nenek dan ibu kamu dulu," pujinya.
Aku tak menjawab dan hanya mengangguk.
"Nenek senang punya menantu yang bisa diandalkan."
Menantu? Wah, mendengarnya membuatku kembali teringat jika kisa romansa masa kuliah di masa mudaku telah terhenti di sini. Tak ada kisah sakit hati karena diduakan, kisah malu karena digoda teman kampus. Aku ingin merasakan gelora asmara masa muda. Tapi, rasanya sia-sia aku adalah istri, dan ku ingatkan lagi sejak aku berusia dua tahun. DUA TAHUN!
****