Chapter 29 : Pertemuan

1163 Words
Sudah 2 tahun lebih Verx berada dalam dimensi lain dan tak kunjung keluar. Alicia yang berada di Istana Dunia Bawah Laut menjadi sangat khawatir karena hal ini. Namun, Ben dan Sigerson terus meyakinkannya dengan mangatakan bahwa terdapat perbedaan waktu yang cukup lama antara dimensi tempat Verx berada dengan Dunia Bawah Laut. Sesekali Alicia nekad hendak masuk ke dalam dimensi lain untuk bertemu dengan Verx, tetapi Ben dan Sigerson tidak membiarkannya begitu saja. Selain itu, menilai dari kekuatan serta kemampuan Verx, mereka yakin kalau pemuda tersebut tidak akan mati semudah semut. Alicia pun terpaksa harus percaya serta terus berharap kalau Verx akan segera kembali. Kala waktu sore saat matahari sudah hampir terbenam, gadis itu duduk pada sebuah bangku taman seorang diri, mengenang saat-saat dirinya berpetualang bersama Verx. Angin berembus menyejukkan tubuh dan mengurai rambutnya. Penampilannya ini begitu memukau layaknya seorang puteri. *** Jauh di tempat lain, Verx berdiri di hadapan sebuah pintu melayang berwarna putih. Pakaiannya terlihat lusuh dan rambutnya begitu acak-acakan walau sudah ia potong menggunakan kekuatannya. Perlahan ia membuka pitu tersebut lalu masuk ke dalamnya. “Sudah berapa banyak pintu yang aku lewati hingga saat ini. Kuharap apa yang akan kutemui bukan gua busuk seperti kemarin.” Meski kakinya letih, ia masih tetap melangkah masuk ke dalam pintu. Ketika berhasil masuk, padang pasir tandus menyambut kedatangannya. Udara sangat panas ditambah begitu teriknya matahari pada waktu siang. Angin berembus kencang, menerbangkan pasir serta debu hingga menerpa tubuh Verx. “Sial! Kenapa malah padang pasir? Aku tidak membawa perbekalan apa-apa ....” Ingin ia menangis lalu kembali, tetapi sudah tak ada jalan kembali. Pintu telah tertutup dan hanya bisa dibuka dari arah lain. Berjalan beberapa langkah saja, Verx sudah sangat kelelahan dan haus. Napasnya terengah kemudian keringat membasuh habis dirinya. Beruntungnya, di depan sana tampak sebuah gua sehingga Verx mengandalkan sisa-sisa kekuatannya untuk melempar dirinya tepat di depan gua tersebut. Dalam gua, suhu udara jauh lebih baik daripada di luar. Verx berbaring dengan napas berat sebab kakinya sudah tak sanggup berdiri lagi. Tanpa sadar, pemuda itu terlelap di dalam gua ini hingga malam pun tiba. Bulan bersinar terang, suhu jauh lebih dingin daripada pada waktu siang. Verx bangun dari tidur kemudian mengintip keluar gua. Tidak ada hal yang terjadi, suasana begitu tenang dengan gemerlap bintang di angkasa. Tampaknya aman untuk melakukan perjalanan. Segera Verx keluar dari gua, melangkahkan kaki perlahan menyusuri padang pasir di bawah terangnya sinar rembulan. Sesekali angin berembus, tetapi Verx terus berjalan menyusuri jejak kaki hewan yang menuju turunan. “Sepertinya tadi ada hujan badai, sungguh beruntungnya diriku.” Selama beberapa saat berjalan, akhirnya Verx menemukan tangkup air di atas permukaan batu yang datar. Bergegas Verx menuju air tersebut kemudian meminumnya sedikit demi sedikit sampai habis. Betapa bersyukurnya ia ketika menemukan air karena sudah sangat kehausan. Namun, masalah belum juga reda, mendadak seekor monster besar muncul dari dalam pasir. “Beraninya kau ....” Sebelum sosok monster tadi terlihat, sebuah Lingkaran Sihir besar muncul di ujung kepalan tangan kanan Verx. Seketika ledakan terjadi membuat sang monster hancur terkena serangan telak dari pukulan Verx. “Mengganggu saja!” Napas Verx begitu terengah, tubuhnya sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanan ini. Di saat seperti itu, sebuah bola angin raksasa melesat cepat ke arahnya dari atas. Akan tetapi, Verx mengangkat tangannya ke atas, membentuk sebuah Lingkaran Sihir besar yang menghancurkan bola angin tersebut. Tidak berhenti di sana, dari empat arah berbeda, bola angin raksasa bermunculan dan menyerang Verx tanpa ampun. Verx merentangkan kedua tangan, empat buah Lingkaran Sihir raksasa pun berbenturan dengan bola angin itu. Gelombang angin dahsyat tercipta, pasir dan debu berterbangan ke segala arah menutupi pandangan Verx. Jauh di depannya, tampak seorang pemuda berjubah coklat tengah mempersiapkan Lingkaran Sihir besar. Mendadak tanah berguncang, keseimbangan pemuda berjubah itu kian goyah hingga Lingkaran Sihirnya hancur karena kehilangan fokus. Pasir berkumpul membentuk sebuah salib yang mengikat si pemuda hingga tak dapat bergerak lagi. Dari dalam kumpulan kabut, Verx muncul. Tatapan matanya begitu ganas seperti hendak memakan manusia. Sekali ia melangkahkan kaki, Lingkaran Sihir di telapak kakinya langsung aktif dan mengguncang tanah tempatnya berpijak. Ketika Verx semakin mendekat, rasa takut menghantui pikiran pemuda yang kini terikat di atas salib. “Siapa kau?” tanya Verx seraya menghentikan langkah. Keringat mulai bercucuran dari pemuda di atas salib. “A ... aku Sean ....” “Sean? Siapa yang menyuruhmu menyerangku?” Verx kembali mempertajam pandangannya. Sean hanya dapat menelan ludah, sekujur tubuhnya gemetar sehingga mulutnya tertutup rapat. Namun, sekali lagi Verx membentak, “Katakan! Atau aku akan membunuhmu sekarang juga!” Jelas Sean ketakutan, tetapi bukan karena kekuatan Verx melainkan hal lain. Kemudian sebuah suara berbisik padanya, 'Sean, biarkan aku bertemu dengannya.' 'Anda yakin, Tuan Collins?' 'Tenang saja, Sean. Aku akan membereskannya setelah dia sampai ke sini. Yang terpenting sekarang adalah keselamatanmu.' 'Baiklah, Tuan ....' Sean mengangguk, kemudian menatap Verx. “Tuanku ingin bertemu dengamu.” “Oh, ternyata dia tak ingin kau terluka.” Salib pasir yang mengikat Sean, hancur, kemudian pemuda itu berjalan seraya mengajak Verx. “Ikuti aku!” Verx tenang kembali dan membatalkan Lingkaran Sihirnya. Dengan santai ia berjalan mengikuti Sean. Cukup lama mereka melangkah, sampailah keduanya di depan sebuah pintu melayang berwarna putih. “Jika kau tidak takut, maka ikutilah aku.” Tanpa mau menggubris tanggapan Verx, Sean masuk terlebih dahulu ke dalam pintu. “Jadi kalau aku tadi terus berjalan, pintu ini yang akan kutemui?” Segera Verx melangkah masuk. Pemandangan indah terhampar di depan mata, embusan angin berhasil menggoyangkan rumput juga pepohonan. Verx begitu bersyukur setelah dapat keluar dari padang pasir dan sampai di sini. Semuanya sangat berbeda. “Jangan hanya melamun, ikuti aku!” bentak Sean. Mendadak sebuah tongkat tanah mencuat dari tanah menusuk jantung Verx. Seorang kakek tua berambut putih panjang muncul. “Tidak perlu repot, dia hanya seorang pemuda naif,” kata kakek itu pada Sean. “Kekuatannya jelas berbeda jauh dari Anda, Tuan.” “Kau pergi saja ke desa, biar aku yang membereskan sisanya.” “Baik, Tuan!” Sean membungkuk, memberi hormat sebelum akhirnya pergi. Sang kakek masih memandangi Verx, tatapannya tidak beralih ke tempat lain walau hanya sedetik. Kemudian sebuah gelombang angin dahsyat muncul, tetapi berhasil di tahan oleh kakek itu. “Hei, Tua Bangka....” Amarah Verx kian memuncak. “Aku baru saja datang dan kau menyambutku dengan cara yang tidak sopan. Apakah aku pantas diperlakukan seperti ini, hah?!” Gelombang angin dari Verx semakin kuat. Namun, pelindung angin milik sang kakek tidak kalah kuat dari serangan itu. “Wah, wah, wah, lihat ini, ada orang yang abadi ternyata.” “Tidak ada yang abadi, Tua Bangka!” “Jangan panggil aku begitu, panggil saja aku Tuan Collins.” “Cukup basa-basinya, Pak Tua. Kau sudah tahu apa tujuanku kemari, kan?” “Hahaha, aku sama sekali tidak mengerti maksud kedatanganmu, anak muda.” Verx membatalkan serangan gelombang anginya. “Ah terserah, kebohonganmu itu mudah terbaca.” Collins tersenyum, tetapi tidak lagi menyerang Verx secara tiba-tiba. “Kau berhasil menghancurkan Area Terlarang, lalu menekan Ben dan Sigerson, kemampuanmu cukup memukau.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD